Dari Stalking, Ikut Nangkring, dan Akhirnya Turut Ngabring

Oleh: Hendi Abdurahman (@akayberkoar)

Stalking

Medio tahun 2013 – 2014 twitter menjadi media sosial yang sangat saya gandrungi. Hampir setiap ada waktu senggang saya selalu membuka media sosial berlogo burung berwarna biru itu. Banyak sekali informasi yang saya dapatkan secara cepat dengan aplikasi ini. Kalaupun saya terlambat mendapatkan informasi terkini, saya tinggal scroll atau melihat trending topics. Tak terkecuali saat itu, saat di mana saya secara tidak sengaja dikenalkan pada Komunitas Aleut, komunitas pencinta wisata dan sejarah. Berawal dari retweet-an seorang follower yang sampai sekarang saya tidak ketahui, karena percayalah, andai saya tahu orang yang nge-retweet info tersebut saya akan sun tangan sambil mengucapkan terima kasih.

Saat itu juga saya langsung follow akun twitter Komunitas Aleut. Stalking menjadi sesuatu yang harus saya lakukan, bertanya sama Mbah Google yang selalu menjadi pananyaan hampir setiap orang ketika penasaran akan suatu hal. Yang bikin saya tertarik dengan Komunitas ini adalah adanya kesamaan kesukaan, yakni menyukai sejarah, terutama sejarah kota Bandung. Kota yang mempunyai ikatan batin dengan saya, kota yang selalu berbisik kepada saya, “Jangan cintai aku apa adanya, Kay!”

Nangkring

Suatu malam, entah kapan saya lupa, setelah mengumpulkan keberanian yang saya kira cukup, saya datang ke sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Solontongan 20-D. Saya sempat nyasar karena saat itu masih buta daerah ini, di perempatan Jalan Soekarno Hatta-Buah Batu, saya bertanya kepada seorang juru parkir yang mengarahkan untuk mengikuti jalur angkot berwarna hijau muda ke arah Jalan Kliningan. Sampai di pertigaan Jalan Kliningan – Karawitan saya salah belok, seharusnya belok kiri untuk menuju Jalan Solontongan, saya malah belok kanan ke arah Jalan Karawitan menuju Jalan Reog. Setelah bertanya kembali kepada para pemuda yang sedang ngopi, saya dirahkan untuk putar balik. Akhirnya saya menemukan sekretariat itu, sekretariat yang kemudian menjadi tempat saya bergaul, berkumpul, dan berkomunitas sampai sekarang.

Masih terbayang dalam ingatan saya ketika saya malu-malu untuk bertanya bagaimana cara bergabung dengan komunitas ini. Saya perhatikan ada beberapa orang yang sedang asyik berdiskusi di sekretariat yang juga sekaligus Kedai tempat berkumpulnya Komunitas Aleut ini. Setelah memesan minum saya ikut nangkring dan mencoba ngobrol tentang ketertarikan saya dengan komunitas ini. Saya mencoba meminjam buku untuk dibaca saat itu, bukan untuk membaca dan menamatkan isi buku tersebut, lebih kepada agar tidak terlalu kaku saja. Seorang pria bernama Irfan mengulurkan buku berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, karya Haryoto Kunto.

Berawal dari nangkring dan pertemuan itulah saya mendapatkan informasi dan semakin penasaran untuk ikut bergabung. Pertemuan yang membukakan pintu, pintu yang menunjukkan saya bisa kenal banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda.

Ngabring

Lalu datanglah moment itu, moment saya pertama kali ngaleut. Saya ingat betul ngaleut pertama kali itu bertajuk “Ngaleut Fokker Huis”. Ada kejadian agak lucu (bagi saya) yang saya alami ketika pertama kali ngaleut ini, tadinya saya kira ngaleut itu berjalan dari rumah langsung ke titik kumpul, untuk kemudian dilanjutkan berjalan beriringan dan membahas objek-objek bersejarah sesuai tema. Saya yang berpikir seperti itu meminta kakak mengantar ke titik kumpul. Di jalan saya berbisik kepada kakak agar tidak menurunkan saya tepat di depan titik kumpul, malu karena naik motor, hehehe… Namun…, ternyata teman-teman yang lain berkumpul di titik temu dengan menggunakan kendaraan, ada juga yang pakai kendaraan umum. Duh aingmah…
Untitled

Kesan pertama di Ngaleut perdana saya lebih kepada “oh kieu gening ngaleut teh”, diawali dengan sesi perkenalan, mengenali dan menyimak objek-objek sejarah di suatu tempat atau daerah, dan diakhiri dengan sesi sharing atau berbagi pengalaman. Setelah Ngaleut perdana itu, komunikasi saya dengan komunitas ini semakin intensif. Saya sering berkumpul di sekretariat untuk ikut berdiskusi, ikut Kamisan, ikut Kelas Literasi, dan banyak sekali kegiatan lainnya.

***

Sampai pada akhirnya saya merasa Aleut ini lebih dari sekedar Komunitas. Bagi saya Aleut ini seperti keluarga, sudah menjadi rumah kedua. Ternyata Aleut ini bukan hanya sekadar kelompok yang berjalan beriringan setiap hari Minggu, saya pribadi merasa kami “berjalan beriringan” setiap hari. Jujur saya terharu ketika seorang teman penggiat Aleut yang berasal dari Yogyakarta, bernama Nurul, bercerita bahwa Aleut ini baginya adalah tempat belajar yang sekaligus juga sudah dia anggap sebagai keluarga kedua, persis seperti yang saya rasakan. Yang bikin saya tersentuh ketika dia bilang “Saya orang Yogya, kerja di Bandung, saya sendirian di sini, tapi saya seperti menemukan keluarga baru ketika saya bergabung dengan Aleut, ikut kegiatan-kegiatan di Aleut, kelak bila saya sudah berkeluarga, Aleut akan tetap ada di hati saya” ujarnya.

Di ulang tahun ke-10 Komunitas Aleut ini, saya akan selalu berada dalam perjalanan beriringan, bukan hanya hari Minggu, tetapi beriringan setiap hari. Di rumah “mungil” dengan cinta yang besar ini saya akan ikut berkembang bersama-sama sahabat lain. Selamat Ulang Tahun, Komunitas Aleut!

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s