Oleh: Wisnu Setialengkana (@naminawisnu)
Salah satu yang sering terjadi bila kita memasuki bulan Suci Ramadhan adalah sebuah pertanyaan:
“Shalat Tarawihnya berapa rakaat? Sebelas atau Dua Tiga?”
Iya kan? Bahkan kita sendiri yang terkadang bertanya hal tersebut.
“Mesjid kita berapa rakaat shalat Tarawihnya tahun ini? Masih sama kaya tahun lalu? Masih dua tiga rakaat?”
Dan setiap tahun pertanyaan ini selalu berulang. Gagal move on? Ah, tidak juga. Saya sih berpendapat itu soal pilihan yang didasarkan oleh keyakinan masing-masing. Termasuk juga dengan mereka yang yakin untuk ikut pilihan keluarga atau sahabat-sahabatnya pada saat shalat Tarawih bareng.
Shalat Tarawih (kadang-kadang disebut Teraweh atau Taraweh) adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai “waktu sesaat untuk istirahat”. Waktu pelaksanaan salat sunnat ini adalah selepas Isya’, biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid. Fakta menarik tentang salat ini ialah bahwa Rasulullah saw. hanya pernah melakukannya secara berjama’ah dalam 3 kali kesempatan. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. kemudian tidak melanjutkan pada malam-malam berikutnya karena takut hal itu akan menjadi diwajibkan kepada umat muslim. (Wikipedia)
Kalau soal sejarah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih saya yakin sudah banyak yang menulisnya.
Kembali ke soal Sebelas atau Dua Tiga. Saya sih menjalankan shalat Tarawih dengan jumlah sebelas rakaat, 8 rakaat ditambah 3 rakaat Shalat Witir. Keluarga pun banyak yang menjalankan seperti itu, juga diantara para sahabat terdekat.
Kenapa memilih sebelas rakaat? Jawabannya kembali kepada pilihan yang didasarkan oleh keyakinan. Titik tanpa koma. Jikalau memang ada alasan lain, saya memilih shalat Tarawih dengan sebelas rakaat karena biasanya dalam pelaksanaan shalatnya tidak ngebut. Bacaan surat-suratnya tidak terburu-buru. Saya juga sangat menghargai pilihan karena keyakinan dari yang menjalankan shalat Tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak dua tiga.
Mesjid tempat saya tinggal yaitu di Komplek Megabrata Bandung dari tahun 1982 hingga saat ini mengalami perubahan dalam jumlah rakaat shalat Tarawih. Di awal-awal komplek berdiri dan saat belum memilik mesjid (warga Komplek melakukan shalat termasuk shalat Tarawih di salah satu rumah kosong di komplek), jumlah rakaatnya berjumlah sebelas. Seingat saya, karena saya juga masih kecil pada tahun itu, dalam penentuan rakaat shalat Tarawih dilakukan dengan cara demokratis.
Para warga, terutama Bapak-Bapak menentukan pilihan dengan cara voting. Pilihan jumlah rakaat dengan suara terbanyak itulah yang akan menjadi jumlah rakaat untuk shalat Tarawih. Dan pada saat itu suara terbanyak adalah yang memilih jumlah rakaat sebelas untuk shalat Tarawih. Semuanya menghargai keputusan ini.
Setelah komplek kami memiliki sebuah mesjid yang baik untuk warganya, maka kembali diadakan diskusikan kembali soal jumlah rakaat shalat Tarawih. Cara yang sama masih digunakan untuk memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih. Voting dilakukan, dan jumlah sebelas rakaat memperoleh suara terbanyak.
Seiring berjalannya waktu, pengurus mesjid dan warga komplek berubah, termasuk perubahan jumlah shalat Tarawih. Saya tidak mengingatnya sejak kapan perubahan itu dan apakah dengan pola penentuan jumlah rakaat shalat Tarawih masih dengan cara mengambil suara terbanyak atau langsung ditentukan oleh pengurus Mesjid.
Saya sendiri tetap melakukan shalat Tarawih di mesjid komplek. Bedanya, saya hanya melaksanakan delapan rakaat kemudian melanjutkan tiga rakaat shalat Witir di rumah. Saya bukanlah satu-satunya orang yang melakukan hal ini. Jumlahnya cukup banyak, sehingga apabila selesai shalat Tarawih rakaat ke-8 maka jumlah jamaah akan berkurang cukup drastis. Bahkan konon banyak punya yang akhirnya lebih memilih shalat Tarawih sendiri dirumah atau berpindah mesjid.
Sudah hampir 4 tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya di Komplek Megabrata karena memang diberikan rezeki punya rumah tinggal sendiri. Tidak jauh sih dari rumah orangtua, hanya berkisar 2 km saja. Saya tinggal di kawasan Batu Raden Ciwastra, namanya Batu Raden Techno Regency, sebuah komplek baru yang belum memiliki mesjid untuk warganya. Jadi kalau mau shalat berjamaah di mesjid, kita bergabung dengan mesjid di kawasan Komplek Batu Raden. Jaraknya hanya sekitar 500 meter dari rumah. Di Mesjid ini jumlah rakaat shalat Tarawihnya adalah sebelas rakaat. Sejak saya berpindah rumah sampai saat ini, jumlah rakaat tersebut tidak berubah. Jamaah yang melaksanakan shalat Tarawihnya penuh. Alhamdulillah.
Saya pernah tinggal dan melewati bulan Ramadhan di Singapura selama 4 tahun. Soal shalat Tarawih, selama saya tinggal di sana, mau saya shalat di mesjid manapun, termasuk Mesjid Sultan, jumlah rakaatnya adalah sebelas. Saya juga pernah mendapatkan rezeki untuk menikmati 15 hari akhir Ramadhan di Madinah dan Mekkah. Shalat Tarawihnya yang saya ikuti berjumlah sebelas rakaat.
Satu hal yang juga perlu diingat bahwa shalat Tarawih itu adalah shalat Sunah. Kadang banyak yang melupakan itu. Kadang kita berdebat soal jumlah rakaat shalat Tarawih atau lebih mementingkan shalat Tarawih tapi tidak melaksanakan shalat Isya sebelumnya, bahkan shalat-shalat fardhu lainnya. Ironis kan?
Apakah gara-gara perbedaan jumlah jadinya timbul perpecahan? Apakah jadinya antar tetangga jadi bertengkar? Saya pikir sih tidak ya. Semuanya berjalan biasa saja, normal saja kehidupan sehari-harinya. Meski ya harus juga diakui, ada yang berpindah mesjid untuk melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah rakaat yang sesuai dengan keyakinannya. Tapi hanya itu saja, tidak sampai pindah komplek dan tidak mau lagi bertegur sapa dengan tetangga.
Jadi, manakah yang benar: sebelas atau dua tiga rakaat? Menurut saya sih sih yang salah yang ga shalat, padahal memiliki waktu dan kesempatan untuk shalat. Itu jawaban saya dari dulu ketika ada yang bertanya soal jumlah rakaat. Titik tanpa koma.
Tautan asli: http://wisnusetialengkana.blogspot.com/2015/06/sebelas-atau-dua-tiga.html