Oleh : Putri Destyanti Choerunnisa (@SockoJinki)
“Aleut Minggu Tanggal 23/12/12. Yuk ah! kita kenali bersama “lembaga keuangan dan bank tempo doeloe” di kota Bandung. Kumpul di depan gedung landmarak jalan braga pukul 07:30”
Begitulah kira-kira info yang saya baca pada timeline Komunitas Aleut di salah satu jejaring sosial pada hari sabtu. Saya mengikuti salah satu komunitas di Bandung yang mengupas tentang sejarah Kota Bandung. Namanya Komunitas Aleut – Komunitas Wisata sejarah dan budaya Kota Bandung. Komunitas ini memang selalu melakukan kegiatan rutinnya yaitu berupa jalan-jalan mengelilingi kota Bandung setiap hari minggu. Perjalanan mengelilingi kota Bandung ini tentunya dengan rute atau jalur yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tema. Seperti ngaleut kali ini. Hari minggu ini adalah ngaleut dengan tema lembaga keuangan atau bank tempo dulu di Kota Bandung. Bank-bank tempo dulu terletak dan tersebar di wilayah sekitar Braga-Asia Afrika, sehingga ngaleut kali ini mengambil titik start di depan Gedung Landmark di jalan Braga.
Diinformasikan bahwa para pegiat Aleut yang akan mengikuti perjalanan Aleut pada hari minggu ini diharuskan berkumpul pada pukul 07.30 pagi. Tapi, kenyataannya saya sudah sampai di depan gedung Landmark Braga pada pukul 07.15 pagi. Hahaha, entah saya yang terlalu bersemangat atau memang jam bergerak begitu lambat, sehingga ketika saya berjalan dilambat-lambatkan dari arah Balai Kota pun, saya tetap tiba di tempat tujuan terlalu pagi alias nyubuh 😀
Untunglah tidak jauh dari Gedung Landmark Braga tersebut terlihat Circle K. Karena waktu berkumpul kurang lebih 15 menit lagi, saya memutuskan untuk membeli sesuatu ke dalam mini market tersebut dan duduk disalah satu dari sekian banyak kursi yang disediakan oleh pihak Circle K disana. Sambil menikmati hot chocolate yang saya beli, saya tak henti-hentinya menengok ke belakang – tepatnya tepat ke depan Gedung Landmark, kalau-kalau sudah ada orang-orang dari komunitas Aleut. Saya memang anggota baru di komunitas ini sehingga sama sekali blank soal wajah para pegiat Aleut. Sebenarnya saya melihat seorang perempuan berjilbab yang berdiri tepat di hadapan Gedung Landmark Braga tersebut, sempat terbersit untuk menghampiri perempuan itu dan menanyakan padanya kalau-kalau dia juga merupakan salah satu pegiat Aleut. “Itu kali ya? Itu bukan sih?” pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itu terus berkecamuk di dalam pikiran saya. Saya memutuskan untuk tidak menghampirinya dan menunggui teman saya saja yang kabarnya masih berada di jalan (teman saya juga baru pertama kali mengikuti kegiatan ngaleut). Sambil menunggu, saya juga melihat seorang perempuan berambut panjang yang berjalan melewati Circle K, jalannya lambat-lambat dan tampak sedang memperhatikan keadaan disekitarnya. Saya juga punya feeling kalau perempuan tadi adalah salah satu pegiat Aleut yang lain. Tidak lama kemudian, kira-kira pukul 07.35, saya melihat ada seorang laki-laki yang memarkirkan motornya di depan Circle K. Lalu samar-samar saya melihat perempuan berkerudung yang saya lihat tadi menghampiri laki-laki tersebut. Tak lama kemudian, mereka duduk di salah satu meja Circle K tepat di belakang saya. Kali ini feeling saya mengatakan “memang benar orang-orang ini adalah dari Komunitas Aleut”, dan ternyata benar saja karena tak lama kemudian, laki-laki yang tadi pun menyapa saya dengan berkata “Aleut?”. Saya pun tersenyum mengiyakan dan bergabung dengan mereka berdua. Kira-kira sepuluh menit kemudian, satu persatu orang-orang pun berdatangan termasuk teman saya. Perempuan berambut panjang yang saya lihat juga tampak berjalan menghampiri kami. Ternyata memang benar, dia memang salah satu pegiat Aleut juga.
“Kayanya sesama Aleut ini emang ada sinyalnya ya di atasnya, bisa keliatan yang mana yang Aleut yang mana nggak..” tutur saya pada perempuan berjilbab di hadapan saya yang ternyata bernama Tri.
Sekitar pukul setengah sembilan, perjalanan pun dimulai. Sebelum berangkat, saya dan para pegiat aleut lainnya berkumpul di pelataran Bank yang terletak tepat disebrang Gedung Landmark Braga. Disana kami berkenalan satu sama lain. Kemudian juga terdapat penjelasan alias sharing singkat mengenai Gedung Landmark Braga di hadapan kami. Ternyata, Gedung Landmark ini dulunya merupakan sebuah toko buku bernama Van Dorp. Dari segi arsitektur, Gedung Landmark ini mempunyai ukiran atau ormamen Dewa Kala di atasnya. Sejajaran Gedung Landmark ini juga memiliki apa yang disebut Arcade yaitu trotoar yang memiliki atap, sehingga para pejalan kaki atau orang-orang yang belanja di sekitar situ akan terhindar dari hujan serta panas matahari. Setelah penjelasan selesai, perjalanan pun dilanjutkan.
Selanjutnya saya melintasi rel kereta api dan berhenti di hadapan Bank Indonesia gedung lama. Dulunya, sebelum dibangun Bank, lahan tersebut merupakan sebuah tanah lapang tempat “nongkrong” tuan-tuan tanah perkebunan dan anak-anak muda keturunan ningrat yang tengah bersantai. Dahulu Braga memang dikenal sebagai kawasan gemerlap dimana Bangsa Belanda dan Bangsa Pribumi keturunan bangsawan seringkali menghabiskan waktu untuk berbelanja atau sekedar berjalan-jalan. Karena itulah pada tahun 1917 Bank Indonesia pun dibangun dengan tujuan untuk menyimpan uang-uang Bangsa Belanda dan juga tuan tanah perkebunan, serta demi melancarkan perekonomian Indonesia. Dari segi arsitektur, Bank Indonesia gedung lama ini memiliki gaya Renaisance yang masih kental, dapat terlihat dari pilar-pilar besar dan panjang yang juga terdapat ukiran di atasnya. Kabarnya pilar-pilar tersebut juga didesain tanpa tulang (tidak ada besi yang menancap di tengah-tengah pembuatan pilar).
Usai mengunjungi Bank Indonesia, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan melewati jalanan sekitar Balai Kota, melewati Gereja Katredal yang megah, dan pada akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang namanya terukir di tembok gedung. Gedung tersebut dulunya merupakan Bank Pacific. Sayangnya tak banyak informasi yang didapatkan dari Bank ini. Saya dan para pegiat Aleut pun hanya dapat menerka-nerka aktivitas apa yang dipakai di gedung tersebut, karena memang dari depan pun gedung tersebut tampak tidak terawat. Penuh coretan dari tangan-tangan jahil di temboknya. Bicara soal arsitektur gedung, Gedung bekas Bank Pacific ini tentunya masih kental dengan gaya arsitektur Belanda yang dapat dikenali dari tembok-temboknya yang tebal.
Perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalan Asia Afrika. Saya dan para pegiat Aleut kemudian berhenti di depan Bank N.I Escompto Mij. Bank ini merupakan bank pertama yang ada di kota Bandung. Bank yang dibangun tahun 1857 ini dipercaya oleh para pengusaha perkebunan yang ada di wilayah Bandung dan sekitarnya. Bank ini ada jauh sebelum Bandung ditetapkan resmi menjadi kota. Dan pada tanggal 19 Mei 1900, Bank N. I. Escompto Mij ini dipindah ke Jalan Braga dan akhirnya Pada tanggal 29 Januari 1912, Bank N. I. Escompto Mij, pindah ke gedung baru di sudut timur jalan Asia Afrika dan jalan Banceuy – di sisi timur kantor pos Bandung sampai sekarang. Gedung ini di bangun dengan gaya arsitektur Art Nouveau yang kaya dengan ornamen penghias gedung.
Hari semakin siang, dan memang ternyata waktu sudah menunjukan pukul 11 siang. Pegiat aleut sudah resah dan gelisah. Pertama karena rasa capek berjalan, dan yang kedua karena perut yang minta diisi. Akhirnya salah satu pegiat Aleut mengusulkan untuk beristirahat di tempat Goreng Pisang Simanalagi yang letaknya di Dalem Kaum. Saya dan pegiat Aleut pun melewati pasar tas dan sepatu Dalem Kaum sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan. Warung Pisang Goreng Simanalagi memang menjadi tempat langganan Komunitas Aleut jika kebetulan jalur atau rute perjalanan ngaleut melewati kawasan Dalem Kaum. Disana kami makan gorengan yang tersedia termasuk pisang goreng yang rasanya enak dan berbeda dari pisang goreng lainnya. Sambil menikmati hidangan, tak lama kemudian si empunya warung yang ternyata bernama Pak Victor, mendekati kami. Kami pun menjelaskan tentang siapa kami, kemudian kami meminta beliau untuk menceritakan sejarah berdirinya warung pisang goreng Simanalagi ini. Ternyata usaha warung pisang goreng ini merupakan warisan turun temurun dari ibunda Pak Victor tersebut. Berdiri sejak tahun 1948, warung pisang goreng ini memang sangat diminati baik oleh Bangsa Asing seperti Belanda, Amerika, Jepang, hingga Turki dan juga Bangsa Asli Indonesia alias pribumi. Kabarnya, nama Simanalagi ini berasal dari ungkapan “Warung Pisang Goreng yang mana lagi yang punya kualitas rasa yang enak selain disini. Yang mana lagi…”. Hehehe, lucu ya ^^
Selesai beristirahat dan memanjakan perut, ngaleut pun dilanjutkan dengan menjelaskan soal Bank Saudara yang letaknya memang tepat dihadapan warung Goreng Simanalagi.
Titik finish ngaleut kali ini adalah di Makam Boepati. Disana pegiat aleut di pandu oleh seorang kuncen makam dan diperbolehkan untuk melihat-lihat makam-makam para Boepati dan juga makam-makam para pedagang seperti Tamim dan Asep Berlian. Selesai bercerita tentang sejarah para orang-orang terkenal tersebut, pegiat Aleut kemudian mengadakan sharing sejenak mengenai kesan dan pesan dari ngaleut minggu ini sebagai finishingnya.
Menurut pribadi, ngaleut kali ini benar-benar sarat makna dan informatif. Tidak hanya mengetahui sejarah bank dan lembaga keuangan yang tujuannya untuk melancarkan serta menstabilkan perekonomian Indonesia, tetapi juga mengetahui sejarah dibalik kesuksesan warung pisang goreng Simanalagi serta dapat memetik amanat perjalanan para Boepati dan Pedagang terdahulu sewaktu mereka masih hidup di dunia. Saya yang tadinya benar-benar buta dan tidak mengetahui sama sekali mengenai sejarah Bank Tempo Dulu di Bandung, kini menjadi tahu. Ya, “dari tidak tahu menjadi tahu”, merupakan tujuan dari suatu pembelajaran. Saya tidak sabar mengikuti ngaleut minggu selanjutnya ^^.
Original post : here