Terasi Dalam Sejarah

Oleh : M.Ryzki Wiryawan 

“Ugh… kamu bau terasi…”

Anak-anak muda sekarang seringkali menggunakan istilah terasi sebagai bahan ejekan, tanpa mengenal apa itu terasi.. Jangankan sejarahnya, bentuknya saja mungkin tidak tahu. Nah, kebetulan ada satu daerah di Jawa Barat yang sejarahnya berkaitan dengan bahan makanan ini. Betul, daerah tersebut adalah Cirebon. Naskah-naskah Kuno yang membahas sejarah Cirebon tidak pernah melewatkan bahasan keunggulan terasi Cirebon dan peranan strategisnya dalam perkembangan kawasan Cirebon. Bahkan dalam salah satu versi disebutkan bahwa nama “Cirebon” sendiri berasal dari kata “cai” dan “rebon”, dua produk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan terasi.

Pelabuhan Cirebon diketahui telah ada sejak abad ke-14, pada zaman itu masih bernama Muara Jati, yang dikenal sebagai desa nelayan. Pelabuhan ini dikelola oleh syahbandar utusan dari raja Kerajaan Galuh yang bernama Ki Gedeng Tapa. Pada saat itu Muara Jati banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negeri, diantaranya adalah kapal-kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Komoditas yang di perdagangkannya adalah hasil pertanian, garam dan terasi.

Namun menurut manuskrip Purwaka Caruban Nagari karya Drs. Atja, suatu waktu Ki Gedeng Alang Alang yang merupakan keturunan dari Ki Gedeng Tapa mendirikan sebuah pemukiman yang berjarak 5 Km ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena kemuian banyak saudagar dan pedagang asing yang bermukim dan menetap di daerah itu, maka daerah itu dinamakan Caruban yang berarti ‘Campuran’ dari pribumi dan pendatang. Nama ini kemudian berganti menjadi Cerbon dan berganti lagi menjadi Cirebon. Menurut versi ini, masyarakat juga menyebut Cirebon sebagai Nagari Gede, yang kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan akhirnya “Grage”. Versi Atja ini jelas menyampingkan peran produk olahan laut Cirebon, yaitu udang-udang kecil (rebon), dalam sejarah Cirebon.

Dalam versi lain yang bisa lebih dipercaya, yaitu karya Sulendraningrat  “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon”, peran “rebon” dalam sejarah Cirebon mendapati porsi penting. Menurut Sulendraningrat, Terasi Cirebon merupakan buah karya dari Pangeran Cakrabumi (Cakrabuana), anak dari Prabu Siliwangi dan dikenal sebagai pendiri Cirebon. Konon sang pangeran diperintahkan gurunya, Ki Gedeng Alang-alang, untuk membuka hutan dan menanam palawija. Setelah itu ia juga diperintahkan untuk mencari rebon dan ikan. Rebon yang ditumbuk untuk menjadi terasi tersebut ternyata bisa disukai banyak orang. Desa tempat pembuatan terasi ini menjadi tempat yang sangat ramai oleh orang-orang yang mencari produk tersebut. Calon-calon pembeli yang berdesak-desakan tidak sabar dan berteriak “Oga age, geura age, geura bebek” (Cepat, cepatlah ditumbuk). Dari kata inilah akhirnya desa tersebut dinamai “garage” yang berubah menjadi “grage”. Panganan ini lantas menjadi kesukaan Raja Galuh, ia “terasih” oleh panganan yang dijadikan upeti tahunan oleh Cakrabumi ini. Dari kata “terasih” ini, maka rebon tumbuk itu disebut “terasi”.

Dari pengalama Cakrabumi memasak rebon, ternyata perasan air rebon yang dimasak lebih enak rasanya. Makanan yang disebut “petis blendrang” ini ternyata menjadi populer, sehingga dukuh “grage” itu disebutlah “Cirebon” yang artinya air rebon.[1]

Tidak lama kemudian datanglah utusan Palimanan Mantri Pepitu memeriksa desa itu, sudah ada 346 orang, Ki Cakrabumi lanas menemui mereka. Berkata jubir Mantri pepitu, “Hai tukang penangkap rebon, oleh perintah Sang Prabu engkau diharuskan mengirim pajak tiap-tiap tahun satu pikul bubukan rebon gelondongan, karena Sang Prabu terasih sekali dan minta kejelasan bagaimana membikin terasi itu.”

Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi (digaremi) lalu diperas, dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan perasan air rebon lebih enak, diberi nama petis blendrang.” Ki Mantri berkata, “Coba ingin tahu rasanya cai (air) rebon itu.” Cakrabumi segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon. Setelah masak lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Mereka lalu makan bersama dengan lauk pauk petis blendrang sambil saling berkata, bahwa cai (air) rebon lebih enak ketimbang gragenya (terasinya). Karena Ki Mantri pepitu mengumumkan kepada rakyat pemukiman/dedukuh baru itu, memberi nama Dukuh Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.

Tidak hanya itu, naskah lain yang memuat sejarah Cirebon, “Sajarah Cirebon” (Anam, 1986:41) juga menyebutkan sejarah Cirebon yang berkaitan dengan terasi. Pernyataan itu dimuat dalam kisah upacara pengangkatan Ki Pangalang-alang sebagai kepala desa yang disaksikan oleh para menteri utusan kerajaan Galuh sebagai berikut :

…Setelah selesai upacara pengangkatan, Cakrabui berpidato dan menganjurkan agar seluruh rakyat tunduk dan taat kepada perintah pimpinannya. Sebelum rombongan menteri pulang, mereka dijamu oleh Ki Cakrabumi, dalam jamuan itu disajikannya garagal (tumpukan rebon) dan mereka merasakan kenikmatannya. Kemudian, mereka berkata dengan bahasa Sunda “aduh, ngeunah teuing garagal teh” (aduh, enak sekali garagal ini). Kemudian, Ki Cakrabumi menjawab dengan bahasa Sunda pula, “mundak caina” (apalagi airnya). Lalu mereka berteriak minta cai-rebon (air rebon). Kemudian diberinya oleh Cakrabumi air rebon yang diberi bumbu petis. Mereka bertambah kenikmatannya sehingga ramailah di antara mereka mengucapkan cai-rebon, cai-rebon. Ucapan ini menjadi buah bibir mereka. Karena itulah , akhirnya, desa tersebut dinamakan desa Cairebonan...[2]

Inovasi sang Pangeran Cakrabuana tersebut, menurut Besta Besuki Kertawibawa dalam buku “Pangeran Cakrabuana – Perintis kerajaan Cirebon, telah menghidupkan kembali perekonomian di daerah. Ia secara tidak langsung telah menciptakan lapangan kerja yang sebelumnya tidak dilakukan oleh penduduk setempat, yaitu memproses udang rebon menjadi terasi dan petis, yang sangat disukai oleh orang-orang. Beliau dengan jeli telah menemukan dan memanfaatkan potensi sumber daya alam, berupa rebon yang sangat melimpah pada musim-musim tertentu di Cirebon. Menurut, Besta Besuki, makanan ini juga menjadi favorit orang Cirebon karena sebelumnya mereka hanya tidak memiliki banyak pilihan dalam hal santapan makanan. Mereka terbiasa memakan makanan seperti cacing dan makanan lainnya. Masuknya Islam selain itu juga menyebabkan mereka tidak bisa lagi memakan makanan yang terlarang dalam agama. Berdasarkan satu naskah, Raja Majapahit pernah mengeluhkan bahwa orang Islam menjauhi makanan-makanan yang selama ini menjadi kesukaan mereka :

“Semua akanan dicela, trancam cacing, pecel cacing, dihindari, dendeng tokek dan kera, bothok ular sawah, dan rase, lemang anak anjing, bekakak babi, babi hutan, katak dan anak tikus goreng. Becek lintah yang mentah, becek usus anjing hitam yang dikebirim kare kuwuk ‘kucing hitam’, bestik anak babi, itu dinamakan haram. Mereka sangat benci jika melihat anjing”[3]

Oleh karena itulah, penemuan Terasi dan produk olahan laut lainnya langsung menjadi favorit bagi penduduk yang baru mengalami transformasi dari agama Hindu ke Islam, dan terkena aturan yang melarang mereka memakan beberapa makanan yang sebelumnya dibolehkan. Bahkan terasi menjadi favorit bagi raja-raja Pajajaran yang saat itu masih memeluk agama Hindu.

Adapun apakah Terasi benar-benar merupakan inovasi sang Prabu Cakrabuana itu masalah lain. Makanan ini sebelumnya telah dikenal di kawasan asia tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran makanan ini ke seluruh kawasan antara lain disebabkan oleh sifatnya yang tahan lama dan praktis untuk dimakan. Konon makanan ini kerap dijadikan bekal oleh para pelaut yang akan melakukan perjalanan panjang dan lama.

Tidak menutup kemungkinan bahwa Pangeran Cakrabuana mempelajari cara pembuatan trasi ini dari orang-orang Cina yang mengadakan perdagangan dengan penduduk Jawa. Sebagaimana diketahui, kontak antara orang Cina dan Jawa telah berlangsung lama sebelum itu, dan sangat dimungkingkan adanya trasnfer ilmu pengetahuan dan budaya yang menyebabkan masuknya produk-produk luar pulau ke Jawa. Sebagaimana diceritakan Rumphius bahwa Orang Cina Gresik telah biasa mengolah udang rebon untuk dijadikan terasi dan belacang. Rumphius mengatakan bahwa :

There is also another kind of small shrimp which at certain times of the year leave the sea in such multitudes to be thrown on the beach, that they cover it and make it look purple-red. One finds them the most on Java’s beaches… It also happens often that one encounters such floes in th Java Sea, when it seems that one is sailing through blood. The Javanese and Chinese living in Grissek know how to catch these little shrimps in great quantities, to crush and pickle them, and make the same kind of brown paste, which they call bolastjang. (E.M. Beekman, 1993, 51).

Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa, semangat untuk pembentukan kawasan ekonomi baru, masuknya agama Islam, sumber daya alam Cirebon dan kontak dengan bangsa Cina telah menjadi faktor-faktor utama yang menjadikan Terasi Cirebon sebagai produk unggulan di kawasan tersebut. Kemahsyuran Cirebon sebagai daerah penghasil makanan olahan dari hasil laut tersebut sempat menjadi bahan ejekan dari Daendels untuk menghina pejabat Cirebon, ketika ada seorang pangeran Cirebon yang menentang kebijakannya, “Lu ini terlalu bodoh, gua au ajar sama lu… Lu orang Cirebon akan udang terasi, mengapa mengajar gua orang yang makan daging dan minyak sapi?” (Denys Lombard Jilid 1, 1996:218-219). Namun anehnya banyak juga orang Eropa yang jatuh cinta kepada makanan ini, sebagaimana dilukiskan oleh E.du Perron “di mana banyak orang Eropa maupun keturunannya yang akhirnya kembali ke negeri asalnya tetap menyukai makanan khas Indonesia, seperti sambal terasi dan krupuk udang yang disajikan oleh restoran-restoran Indonesia seperti yang ada di Paris.”[4]

Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa sejarah perkembangan Cirebon selama berabad-abad tidak bisa dilepaskan dari peran anugerah Tuhan yang hanya dilimpahkan kepada kawasan itu, berupa udang rebon yang bisa diolah menjadi terasi dengan kualitas utama. Kini, Masikah kita menyepelekan makanan istimewa ini?

[1] Nina Lubis Dkk. “Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat”. Alqaprint, Jatinangor –  2000 . Hlm. 206

[2] Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum. “Sunan Gunung Jati”. Humaniora, Jatinangor – 2002. Hlm 244

[3] Besta Besuki Kertawibawa,” Pangeran Cakrabuana  – Sang Perintis Kerajaan Cirebon”. Kiblat, Bandung- 2007. Hlm. 162. mengutip Siti Maziyah, “Kontroversi Serat Gatholoco”. Warta Pustaka ,  Yogyakarta – 2005. Hlm. 98-99

[4] Ibid. Hlm. 167

Iklan

2 pemikiran pada “Terasi Dalam Sejarah

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s