Mencari Raden Saleh

Ditulis Oleh: Aditya Wijaya

Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.

Makam Raden Saleh di Bogor. Foto: Aditya Wijaya

Beberapa waktu lalu sedang ramai film mengenai Raden Saleh yang berjudul “Mencuri Raden Saleh”. Ada kisah yang tak kalah menarik dengan film itu. Bagaimana nisan Raden Saleh ditemukan kembali setelah lama terlupakan di Bogor.

Raden Saleh yang bernama lengkap Saleh Sjarif Boestaman lahir di Semarang tahun 1814. Dia berasal dari keluarga bangsawan yang berkerabat dengan Bupati Pekalongan dan Semarang.

Di usia dini dia sudah memiliki bakat seni lukis. Dia menerima pelajaran menggambar dan melukis pertamanya dari pelukis A.A.J. Paijen. Seorang pelukis Belgia yang ketika itu tinggal di Weltevreden.

Prof Reinward, seorang pelukis dan ahli botani yang dikenal sebagai perancang Kebun Raya Bogor, menaruh perhatian padanya. Gubernur Jenderal Van de Capellen, menganggapnya sebagai pemuda yang menjanjikan dan mendukungnya pergi ke Belanda atas biayanya bersama keluarga De Linge, yang sering dikunjungi Raden Saleh. Sumber: Tulisan Oom Snuffelaar di koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 28-06-1930.

Baca lebih lanjut
Iklan

Kropak 632

Oleh: Mooi Bandoeng (@mooibandoeng)

Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna.

Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya.

Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy.
______________________

Kropak 632 adalah sebuah naskah yang terdiri dari enam lembar lontar yang ditulis dengan tinta hitam dengan perkiraan pembuatan pada abad ke-15, lebih tua dari naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1518 M) atau Carita Parahyangan (1580 M). Naskah ini ditemukan di Kampung Ciburuy yang terletak di lereng Gunung Cikuray.

Adalah Karel Frederik Holle, pengusaha perkebunan teh Waspada, yang pertama kali menyebutkan keberadaan naskah ini dalam Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen (1869). Di situ Holle menyebut tentang tiga buah naskah Sunda kuno yang diserahkan oleh Raden Saleh ke Bataviaatsch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1867.

Naskah ini dikumpulkan oleh Jan Laurens Andries Brandes dan dicatat oleh Nicolaas Johannes Krom dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (Laporan Kepurbakalaan Jawa Barat) pada tahun 1914. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Karel Frederik Holle, kemudian dilanjutkan oleh Cornelis Marinus Pleyte dan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka (1917).

Penelitian awal tidak ada yang berhasil tuntas sehingga terbengkalai sampai kemudian Atja dan Daleh Danasasmita melakukan penelitian ulang pada tahun 1987. Atja dan Saleh memberikan judul “Amanat Galunggung” untuk pembahasan enam lembar naskah ini. Menurut Atja, inti naskah ini memang merupakan nasihat Rakeyan Darmasiksa kepada puteranya, Sang Lumahing Taman. Menurutnya nasihat itu berasal dari Penguasa Kerajaan Galunggung.

Lembar kelima kropak 632 ini menyuratkan nasihat yang belakangan ini sering disebut sebagai “kesadaran sejarah”. Dua baris dari lembar kelima ini sudah lama juga dikutip jadi moto kegiatan2 @KomunitasAleut selama ini: “Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke”.

*Salinan naskah di atas diambil dari “Amanat Galunggung” karya Atja dan Saleh Danasasmita.

 

Tautan asli: http://mooibandoeng.com/2016/01/26/kropak-632/