Oleh Asep Ardian
Dari Cadas Pangeran, ke Cut Nyak Dhien, sampai ke tempat peristirahatan terakhir raja-raja Sumedang.
Sebelum melakukan perjalanan ini, saya mengenal Sumedang hanya dari kesenian Kuda Renggongnya, yang ketika saya kecil sesekali mengikuti iring-iringan Kuda Renggong jika di daerah saya ada orang kaya yang disunat. Setelah beranjak dewasa, pandangan tentang Sumedang sedikit bertambah setelah mendengar beberapa kisah tentang Kerajaan Sunda yang berhubungan dengan latar sejarah Sumedang.
Saat ikut momotoran dengan Komunitas Aleut ini, mantap sudah, saya dapat mendengar dan melihat jauh lebih banyak lagi.
Perjalanan kami mulai jam 07.30 dari Bandung dengan rombongan berjumlah lima motor. Sabtu pagi itu cuaca Bandung begitu cerah, dari daerah Ancol, kami menyusuri jalanan Soekarno Hatta yang lengang, melintasi jalanan Cibiru, lalu lewat UNPAD, Cileunyi, dan menyusuri jalanan berkelok Bandung-Palimanan yang sejuk. Lalu sampailah kami di tempat tujuan kami yang pertama, sebuah monumen di Cadas Pangeran.

Dua patung berwarna tembaga berdiri tegak di antara dua jalur jalan. Jalan Cadas Pangeran baru dan Cadas Pangeran lama. Keadaan sekitar tugu cukup bersih dan terawat, saya tak melihat vandalisme ataupun tebaran sampah. Warung-warung berjejer di sebelah kiri jalannya. Jika kita beristirahat di sana, mungkin akan begitu khidmat menikmati secangkir kopi dengan sesekali mengobrol dengan warga setempat tentang mitos-mitos yang beredar di sana. Namun sayang, kami tak sempat ngopi, karena kami harus langsung menuju ke tujuan selanjutnya yang tak jauh dari sana, yaitu patok pembangunan Cadas Pangeran.
Tak jauh dari sana terlihat dua lereng indah yang mengapit jalanan yang tak begitu lebar. Di sisi kanannya terlihat sebuah patok berwarna oranye mencolok yang didirikan untuk mengenang pembangunan jalan tersebut. Dan rombongan kami berhenti di sebelah kanan jalan.

Karena kontur jalan yang berkelok, membuat kami harus berhati-hati jika parkir di tempat ini, tempatnya cukup sempit, apalagi mendengar dari polisi setempat bahwa suka ada kendaraan yang melawan arus dari arah Sumedang yang mengakibatkan sering terjadi kecelakaan.
Kami pun turun dan memperhatikan patok yang menempel di tebing batu itu:
“ONDER LEIDING VAN RADEN DEMANG MANGKOEPRADJA EN ONDER TOEZICHT VAN PANGERAN KOESOEMADINATA AANGELEGT 1811 DOORGEKAPT 26 NOVEMBER TOT MAART 1812”
“DIBAWAH PIMPINAN RADEN DEMANG MANGKOEPRADJA DAN DIBAWAH PENELITIAN PANGERAN KOESOEMADINATA, DIBUAT PADA TAHUN 1811 DIBOBOK DARI TANGGAL 26 NOPEMBER SAMPAI TANGGAL 12 MARET 1812.
Di sana kami mendapatkan beberapa cerita tentang Cadas Pangeran ini, bukan tentang “oray koneng yang menelan Kang Yana” yang sempat viral, melainkan soal bagaimana Cadas Pangeran ini terbentuk, kerja rodi, terutama soal sejarah Daendels dan Pangeran Kornel. Kita bisa menggali lebih dalam tentang sejarah tersebut dari beberapa catatan dan buku-buku. Yang terpenting yang harus digaris bawahi adalah seperti kata teman saya di sana bahwa: “Kita belajar sejarah bukan untuk memihak mana yang benar dan mana yang salah, tapi kita belajar soal nilai dan pelajaran yang bisa diambil dari sejarah tersebut”.
Di sana bukan hanya ada patok, di belakang tebing terdapat sebuah anak tangga yang cukup curam dan licin, di pinggirnya disediakan sebuah kawat baja untuk membantu kita naik ke atas. Cukup menyeramkan memang, apalagi ketika melihat sisi kanan yang berupa jurang dan di bawahnya langsung jalan raya. Jika kita berhasil naik, di atas ada sebuah saung dan dua petilasan yang tak bernama.
Kami melanjutkan perjalanan ke tujuan kami yang ketiga, yaitu rumah singgah pahlawan nasional dari Aceh yang tiada lain adalah Cut Nyak Dhien. Rumah itu berada tak jauh dari Alun-alun Sumedang, letaknya di jalan Jl. Pangeran Soeriaatmadja No.17, Kotakulon, Kec. Sumedang Selatan., Kabupaten Sumedang.

Rumah ini tampak berbeda dari rumah lain di sekitarnya. Letaknya sedikit menjorok ke dalam, halamannya cukup luas, dinding bangunannya dari papan kayu yang dipernis, dan di sana kami disambut oleh Ibu Nenden, selaku pengelola dan pewaris rumah tersebut. Secara kepemilikan masih berada di tangan keluarga Ibu Nenden sepenuhnya. Perawatan rumah dilakukan dengan menerapkan syarat-syarat umum perawatan cagar budaya sesuai status rumah tersebut saat ini. Ibu Nenden adalah generasi ketiga, setelah neneknya, turun ke ibunya, dan sekarang beliau yang bertugas menjaganya.
Sebenarnya bangunan itu cukup luas, terdapat ruang tamu, beberapa kamar, ruang tengah dan bagian dapur. Namun kami dan pendatang lain hanya diperbolehkan singgah di ruang tamunya saja. Di tengahnya terdapat dua pilar dari kayu yang menyangga rumah tersebut dan belum diganti sama sekali sejak rumah itu awal berdiri. Di sudut ruangannya terdapat lemari, dan di sudut dinding yang lain terdapat dua buah replika senjata rencong dan foto-foto Cut Nyak Dhien.
Ibu Nenden menjelaskan bahwa rumah itu pernah disinggahi Ibu Prabu selama dua tahun lamanya (orang-orang di sana dahulu menyebut Cut Nyak Dhien sebagai Ibu Prabu sebagai tanda hormat). Belum jelas siapa yang dahulu menentukan rumah itu menjadi rumah singgah Cut Nya Dhien, yang pasti ibu Nenden menjelaskan bahwa alasan dulu Cut Nyak Dhien dapat menetap di rumah itu karena bangunannya dulu memang paling layak untuk menerima tamu yang istimewa. Rumahnya lebih lega dan bagus dari rumah-rumah yang lain. Walaupun semasa tinggal di rumah ini Cut Nyak Dhien tidak bisa melihat, namun beliau berkegiatan mengajar mengaji anak-anak di sana. Makanya Ibu Nenden pun mengajar ngaji juga, meneruskan kegiatan Cut Nyak Dhien. “Biar kebagian berkah,” begitu ungkapnya.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Alun-Alun Sumedang. Ada monumen lingga berbentuk kubah yang menjadi bagian sejarah Kota Sumedang. Di bagian baratnya terdapat bangunan Masjid Agung yang berdiri tegak dengan latar Gunung Palasari yang masih hijau. Bagi saya sendiri, melihat Masjid Agung Sumedang mengingatkan pada ikatan masjid dari Jawa Tengah ke Jawa Barat yang mempunyai bentuk atap yang hampir sama. Mulai dari masjid Cirebon, Demak, Sumedang, Masjid Agung Majalaya, dan di Alun alun Bandung, yang dulu pernah mempunyai bentuk yang sama. Istilah umumnya untuk atap seperti itu adalah Bale Nyungcung.

Selanjutnya kami ke tempat kelahiran tahu sumedang. Jaraknya hanya lima menit dari Alun-alun, yaitu Tahu Bungkeng. Sekitar 105 tahun yang lalu, di sinilah tahu sumedang pertama kali diperkenalkan. Hebat juga usaha ini bisa bertahan selama itu, apalagi mengingat masa sekarang ini usaha-usaha kuliner umumnya hanya mampu bertahan beberapa tahun saja, termasuk usaha kuliner yang dijalankan oleh keluarga.
Kebetulan di sini kami juga bertemu dengan salah satu generasi penerus yang mengurus tokonya sekarang. Kami sempat berbincang ngalor ngidul. Sungguh saya kagum pada keteguhan keluarga ini memelihara tradisi. Menurut saya meneruskan dan mempertahankan suatu usaha secara turun temurun seperti ini adalah hal yang sangat tak mudah. Bukan hanya butuh ketekunan, tapi juga semangat pengabdian.

Setelah perut cukup terisi, kami pergi ke salah satu masjid yang cukup bersejarah juga bagi Sumedang, Masjid Tegalkalong. Selesai melaksanakan sholat dzuhur, kami mendapat cerita tentang tragedi kelam yang pernah terjadi di masjid ini akibat peperangan antara Kerajaan Sumedanglarang dengan Kerajaan Banten.

Berikutnya, kami ke permakaman Pasarean Gede, tempat peristirahatan terakhir Pangeran Kornel, Pangeran Santri, dan beberapa tokoh sesepuh Sumedang yang lain. Pasarean Gede berada di Jalan Prabu Geusan Ulun dan masuk ke sebuah gang. Kita akan melihat gapura yang besar. Halaman parkirnya tak begitu luas, mungkin cukup hanya untuk 6 mobil kecil saja.
Yang “unik” dari pemakaman ini adalah adanya “uang pendaftaran” ketika kita akan terus masuk ke dalam pemakamannya. Di sana ada dua orang ibu yang berjaga ramah, menanyai kami dari mana dan segera menyuruh salah satu dari bu-ibu di sana untuk memanggil kuncen. Harga ini tak ditentukan berapa, akan tetapi sepanjang pengalaman saya berziarah ke beberapa permakaman bersejarah, hanya di permakaman inilah saya disodori uang pendaftaran.

Setelah selesai akan urusan pendaftaran, kami menaiki beberapa anak tangga, dan sampai di tanah tertinggi di komplek pemakaman tersebut. Di sini ada sebuah bangunan yang tengah direnovasi, di dalamnya terdapat beberapa makam. Salah satunya makam Pangeran Santri. Tak beberapa lama datanglah kuncen yang bernama Pak Nana. Beliau memperkenalkan diri dan dengan sangat ramah menjawab apapun yang kami tanyakan, sambil beberapa kali mention keluhan tentang tidak adanya bantuan pemerintah untuk memperindah pemakaman tersebut, sehingga sebagian besar dilakukan secara mandiri. Mungkin itulah sebabnya di depan terdapat uang pendaftaran, digunakan untuk membangun permakaman para leluhur Sumedang tersebut.
Pa Nana baik dan ramah, kami tidak hanya mendapat cerita tentang makam-makam yang ada di sana, tapi juga diajak ke bagian bawah, ke makam Pangeran Kornel.
Topografi dari komplek pemakaman tersebut mempunyai arti tersendiri. Pak Nana menjelaskan bagian tertiggi dari kuburan adalah tokoh tertua dan terpenting dari semua makam-makam yang ada di sana, lalu turunan-turunannya dikuburkan semakin ke bawah.
Hari semakin sore dan kami menuntaskan perjalanan ini dengan kunjungan ke Gunung Puyuh, berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Cut Nyak Dhien.
Menuju makam Cut Nyak Dhien dari arah gerbang masuk, hanya perlu jalan lurus terus sampai turun dan menemukan gapura bertuliskan “MAKAM PAHLAWAN NASIONAL TJUT NYAK DHIEN” Setelah masuk, di sana masih banyak makam-makam lain selain makam Cut Nya Dhien, salah satunya adalah makam KH. Sanusi yang dulu menerima Cut Nyak Dhien di Sumedang.

Bangunan makam Cut Nyak Dhien begitu indah, dinaungi oleh ukiran-ukiran kayu. Di sini kami bertemu kuncen yang bernama Pak Asep. Dari beliau kami mendapatkan sejumlah informasi baru dan sebuah cerita yang agak bertentangan dengan apa yang sebelumnya kami dengar berkaitan dengan rumah singgah Cut Nyak Dhien. Menurutnya rumah singgah Cut Nyak Dhien yang sebenarnya adalah yang sekarang sudah menjadi toko jahit Eka Jaya dan bukan tadi pagi kami datangi. Entahlah, kami tidak atau belum punya informasi lain selain yang sudah kami dengar hari ini saja.
Sebenarnya usai dari makam Cut Nyak Dhien kami juga mampir ke kompleks makam bupati-bupati Sumedang, memang tidak terlalu lama karena hari sudah sore, dan langit Sumedang kian mendung. Ada beberapa cerita kami dapatkan di sini, tapi ya buat kisah lain kali saja. Sekarang kami akan pulang kembali ke Bandung dengan hati yang senang karena sudah berkesempatan menyusuri beberapa tempat yang bersejarah di Sumedang.

Foto Masjid Tegalkalong: Komunitas Aleut/Aditya Wijaya
* * *