Ditulis oleh: Deuis Raniarti
Agenda Momotoran Komunitas Aleut kali ini dibuka untuk umum, namun pesertanya dibatasi. Temanya Momotoran Lembang dan sekitarnya, jadi di kawasan dekat-dekat saja. Poster diposting tiga hari sebelum hari H dan ada google form yang harus diisi oleh peserta yang mendaftar, dengan catatan: “Apabila mendadak tidak dapat hadir, sila konfirmasi maksimal H-1 ke admin via nomor whatsapp atau DM ke Instagram @KomunitasAleut.
Jika sudah konfirmasi hadir, namun batal saat hari-H tanpa kabar atau alasan yang jelas, Aleutian tidak dapat mengikuti kegiatan Komunitas Aleut selama 3 bulan ke depan, karena kuota peserta terbatas. Mohon bertanggung jawab atas kuota yang telah diambil.” Catatan tersebut disematkan di akhir google form, alasannya tentu saja agar peserta disiplin dan bertanggung jawab dengan pilihannya. Pasalnya pada kegiatan-kegiatan Aleut sebelumnya, ada beberapa orang yang tidak bertanggung jawab seenaknya saja tidak konfirmasi bila tidak bisa hadir, sementara banyak orang tidak kebagian kesempatan karena kuotanya telah mereka ambil.
Peserta Momotoran berkumpul di Sekretariat Komunitas Aleut pada Minggu pagi, 9 Januari 2022. Tak disangka, peserta yang daftar hadir semua. Ternyata catatan akhir yang jadi pengingat pada google form itu bermanfaat juga, hehehe. Sebelum berangkat, saya menjelaskan dulu rencana kegiatan hari ini, mulai dari teknis Momotoran di Komunitas Aleut, materi pengantar untuk kegiatan hari ini, serta rencana rute perjalanan. Mengapa rencana rute? Karena bisa saja tidak semua kita jalani, let it flow~


(Kanan: Makan R. Oto Iskandardinata, Kiri: Makam 9 Pahlawan Bandung Timur dan makam anak Pak Oto)
Tujuan pertama adalah ke makam Oto Iskandardinata di Pasir Pahlawan, Lembang. Dalam kompleks makam ini, selain makam Pak Oto, ada juga 9 makam Pahlawan dari Bandung Utara, serta 1 makam anak Pak Oto. Beberapa nama yang dimakamkan di sini diabadikan menjadi nama jalan di Kota Bandung. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Mang Alex, Pak Oto meninggal di Mauk, namun jasadnya tidak pernah ditemukan. Pasir dari Mauk dibawa ke Pasir Pahlawan dan dilakukan pemakaman secara simbolis.
Tujuan berikutnya, tak jauh dari Observatorium Bosscha, ada rumah keluarga Ursone di Baruajak yang sekarang dijadikan kedai kopi. Cuaca tidak panas dan tidak hujan, di sini kami ngampar dan mendengarkan Mang Alex bercerita macam-macam, seputar sejarah Kota Bandung dll. Saya yang duduk di atas beanbag sedikit terbawa suasana nyaman alias tunduh. Untunglah ada segelas minuman dingin yang mampu membuat saya segar kembali. Oh ya, seingat saya Mang Alex bercerita tentang Ursone, ia adalah pendatang berkewarganegaraan Italia yang memiliki peternakan dan sentra susu sapi di daerah Lembang, ia juga pemilik Bandung Milk Centre yang berada di Jalan Aceh.


Usai ngalor-ngidul seputar sejarah dan dongeng-dongeng yang berhubungan dengan Kota Bandung, kami melanjutkan perjalanan ke arah Jayagiri, tujuannya adalah Cagar Alam Junghuhn. Perjalanannya tidak terlalu jauh, melewati jalan utama dan pusat keramaiannya Lembang.
Di sini Mang Alex menceritakan biografi singkat serta peran Junghuhn dalam berbagai bidang untuk Hindia Belanda. Selain karena kontribusinya dalam pengembangan tanaman kina di Hindia Belanda, Junghuhn yang sebenarnya berkebangsaan Jerman itu juga terkenal sebagai seorang Naturalis, ia seorang peneliti, fotografer, botanikus, dokter bedah, dan lain-lain. Oh ya, sekadar mengingatkan, di lokasi Cagar Alam Junghuhn ini banyak sekali nyamuknya, jadi alangkah baiknya menyiapkan dan memakai lotion anti nyamuk terlebih dahulu sebelum berkunjung ke sini.

Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah benteng yang terletak di puncak Gunung Putri. Ternyata di atas sana ada pos tiket. Menurut penjaga loket, kami cukup berjalan selama kurang lebih 40 menit menyusuri jalan yang sudah diberi pagar sampai atas, lalu belok ke kiri setelah menemukan gazebo. Kami mulai berjalan sambil berbincang, lalu langkah pun semakin pelan seiring dengan nafas yang sudah mulai sesak. Untung saja tak banyak barang yang saya bawa di dalam tas, hanya potongan semangka merah dan kuning serta air minum saja, jadi beban pundak tidak terlalu berat. Lain halnya dengan Mang Alex yang membawa banyak buku tebal dan berat. Beberapa kali tasnya dibawa oleh teman perjalanan.
Setelah cukup jauh melangkah, ternyata bentengnya tak juga kami temukan. Tak ada petunjuk jalan ataupun peta lokasi. Beberapa teman bepencar mencari kemungkinan jalan lain, namun hasilnya nihil. Teman paling depan bertemu dengan sepasang muda mudi yang sedang foto prewedding, mereka ditemani seorang fotografer. Kami bertanya jalan menuju benteng, tapi katanya masih jauh kalau dari sini, mending jalan lewat Jayagiri. Oalaaah.. Jadi ini bukan jalan utama menuju benteng? Ya tak apalah, seluruh peserta Ngaleut kali ini memang belum pernah ada yang pernah ke benteng Jayagiri, walaupun sebenarnya angkatan sebelum kami cukup sering mendatangi benteng ini. Jadi kami nikmati saja perjalanan yang sudah kami tempuh ini, selalu ada hal menarik lainnya kok, misalnya itu tadi, spot prewedding haha..
Kami pun bergegas turun dan mencari tempat yang kondusif untuk sharing sebelum mengakhiri perjalanan hari ini. Pada sesi ini para peserta menceritakan kesan selama mengikuti perjalanan yang mungkin saja berbeda dengan kesan yang didapat oleh rekan lainnya, walaupun seperjalanan. Hal yang cukup menarik, jumlah peserta yang terbatas ternyata membuat kami jadi cepat akrab walaupun sebenarnya baru pertama kali bertemu. Lebih mudah cair. Lebih mudah juga dalam menyerap pengetahuan, cerita, dan pengalaman bersama. Sekian perjalanan kali ini, sampai bertemu di kegiatan berikutnya.

* * *