Banyak Hal yang Tidak Kuketahui tentang Pangalengan

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh : Madihatur Rabiah

Sekilas terdengar suara melewati gendang telingaku :

Biippp….biipp…biip….

Alarm telah membangunkanku dari peristirahatan semalam …..

Oh, haii.. Kenalin aku adalah anak Jakarta yang bermigrasi sementara waktu ke Bandung dalam keperluan perkuliahan. dan baru-baru ini mengenal satu komunitas yang sedikit banyaknya memiliki peran sumbangsih bagi Kota Bandung dalam meyadarkan betapa pentingnya melihat dan mengetahui lebih dalam sejarah dari suatu tempat dan lingkungan sekitar.  Tak banyak hal yang kutahui tentang Bandung karena aku masih baru saja mengenal Kota Kembang ini. Saat  aku mengenal Komunitas Aleut, sehentak kubertanya pada diri ini, dan sempat terbersit sebuah lirik lagu:

“Open your eyes “

“Open your eyes”

“Open your eyes, look up to the sky and see ………”

Kata-kata dari lagu Bohemian Rhapsody – Queen itu terngiang dalam benak dan menyadarkanku bahwa ternyata banyak hal yang belum kuketahui dalam kehidupan ini. Ditambah lagi aku yang baru sedikit saja mengenal Bandung. Semenjak mengikuti program momotoran ke Pangalengan-Ciwidey bersama Komunitas Aleut kemarin, aku baru merasakan memotoran keliling salah satu daerah terkenal di Bandug ini, dan mendapatkan banyak hal dari sana.

Sabtu pagi, 24 oktober 2020, perjalanan ke Pangalengan melewati banyak tempat yang baru kukenal, di antaranya, Banjaran –Kertamanah – Pangalengan – Malabar – Pasir Malang – Cileunca – Gambung – Ciwdey – Buahbatu.

Tak berapa jauh dari sekretariat Aleut, kami belok ke pom untuk mengisi bensin. Yang bensinnya masih penuh menunggu, agar perjalanan dapat tetap beriringan bersama-sama. Lalu kami memasuki kompleks Batununggal, keluar di Moh. Toha, seterusnya ke arah Banjaran. Aku menikmati sekali segarnya udara dalam perjalanan pagi hari itu.

Di dekat Jembatan Cikalong, Bang Ridwan meminta rombongan berhenti sebentar untuk mendengarkan penjelasan tentang kawasan yang akan kami lalui, juga tentang gunung-gunung yang terlihat di sekitar kita. Salah satu gunung itu adalah Gunung Tilu. Mengapa dinamakan Tilu? Tilu itu itu dalam bahasa Sunda bermakna tiga, dan terlihat memang bahwa ada tiga puncakan di atas gunung itu. Di baliknya adalah kawasan Ciwidey yang nanti sore akan kami lewati dalam perjalanan pulang ke Bandung. Gunung lainnya adalah Gunung Malabar. Ada banyak puncak di Gunung Malabar, salah satunya yang disebut Gunung Puntang. Di belakang Gunung Malabar terletak wilayah Pacet-Majalaya-Garut. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke tempat pertama kalinya pohon-pohon kina ditanam dan dikembangkan dalam sebuah perkebunan, yaitu Cinyiruan, Kertamanah. Di sini terdapat tugu peringatan seratus tahun penanaman kina. Tokoh utama yang mengembangkan kina ini adalah Franz Wilhelm Junghuhn.

Monumen Kina di Cinyiruan. Foto: Ridwan.

Lokasi kunjungan selanjutnya adalah Pusat Penelitian Teh dan Kina yang tidak terlalu jauh letaknya dari perkebunan Cinyiruan. Masyarakat setempat menyebut lokasi ini sebagai Chinchona,  nama Latin pohon kina. Menarik sekali mengetahui berbagai latar sejarah dari banyak hal yang terlihat dalam perjalanan ini. Apalagi kata Abang Ridwan sudah lama sekali Komunitas Aleut tidak berkunjung ke tempat tersebut.

Berikutnya, ke makam Bosscha, pengusaha perkebunan yang terkenal, Perkebunan Teh Malabar. Aku mulai mengagumi sosok ini ketika melihat prasasti di depan makamnya. Disebutkan di situ bahwa Bosscha memberikan begitu banyak sumbangan untuk pembangunan Kota Bandung, di antaranya pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng (dikenal sebagai ITB sekarang), Societeit Concordia, peneropongan bintang di Lembang, dan katanya masih banyak lagi yang tidak disebutkan di situ.

Setelah kami membungkus bekal makan siang kami masing-masing di warung dekat perkebunan, kami pun menuju makam KAR Bosscha. Di sini ada sedikit cerita tentang latar tokoh ini dan apa saja perannya di masa lalu. Lalu kami melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak yang suasananya seperti di tengah hutan, banyak ilalang tinggi di sepanjang jalan ini. Di atas, langit terlihat semakin gelap. Sepertinya akan datang hujan.

Berfoto di depan makam KAR Bosscha. Foto: Aleut.

Sebelum hujan turun, kami berhenti di sebuah bangunan yang tampak rusak berat. Katanya bangunan berdinding bilik dengan atap berlubang-lubang besar itu bekas sekolah SD Malabar yang didirikan oleh KAR Bosscha pada tahun 1901. Sepertinya bangunan ini rusak parah oleh kondisi cuaca selama ini, apalagi usinya sudah sangat tua. Tak heran bila sekarang tampak kumuh, reot, dan tak layak untuk digunakan sebagai sarana belajar-mengajar.

Hujan turun deras. Kami berteduh di bawah bangunan ini sambil membuka bekal masing-masing. Ponco dan matras digelar untuk alas kita duduk. Sambil makan kami berbincang mengenai perjalanan yang baru saja ditempuh. Lumayan, ketawa-ketawa dan bikin kita semakin akrab. Seru sekali rasanya, dapat merasakan kegiatan layaknya studi tour secara gratis. Selain happy kami juga dapat banyak pengetahuan dari sekeliling yang kami  lalui.

Tawa bahagia pun telah ditularkan kepada sesama peserta yang terus saling melontarkan lelucon. Lucunya,  saat makan di situ sebenarnya banyak sekali lalat mengganggu, tapi mungkin karena moment berkumpul sambil menyantap makanan itu sangat nikmat, lalat-lalat pun tidak begitu kami pedulikan hehee…

SDN Malabar yang kondisinya rusak parah. Foto: Aleut.

Usai hujan, kami diberi waktu untuk eksplorasi sekitaran. Dilanjut lagi dengan eksplorasi bekas rumah KAR Bosscha yang tampak tua namun kokoh dan indah, apalagi di sekelilingnya ada taman dengan bunga-bungaan yang cantik. Di sini pun hujan turun lagi dengan derasnya, tapi perjalanan momotoran masih harus terus berlanjut.

Berikutnya, kami menuju Situ Cileunca melalui jalur yang katanya tidak biasa, yaitu Perkebunan Pasirmalang. Sepanjang jalanan ini kami terus diguyur hujan yang turun dengan derasnya.

Lalu kami tiba di Situ Cileunca. Air hujan yang ditampung di danau ini dialirkan dan diolah di tempat lain sebagai sarana pembangkit tenaga listrik (PLTA). Bahkan juga konon diolah untuk air minum warga Bandung, tentunya setelah melewati berbagai proses yang dikerjakan oleh PDAM. Aliran sungai setelah keluar dari danau ini juga dijadikan sarana wisata petualangan arung jeram. Nama sungainya, Palayangan.

Badan mulai terasa menggigil, sedangkan hujan sepertinya belum akan berhenti. Kami mampir ke sebuah warung yang katanya langganannya Komunitas Aleut. Ya, lumayan sekali di sini bisa menghangatkan badan dengan minuman panas dan tentunya mi instan hehe..

Situ Cileunca saat hujan turun dengan derasnya. Foto: Reza.

Setelah perjalanan yang cukup panjang dan sebagian terasa ekstrim ini, ternyata teman-teman masih mau menambah petualangan . Maka disepakati untuk perjalanan pulangnya akan memotong Gunung Tilu yang tadi pagi baru saja kami dapatkan ceritanya dalam perjalanan ke Pangalengan. Di jalur jalan ini sama sekali tidak ada penerangan, jadi hanya mengandalkan cahaya dari lampu motor kami saja. Jalanannya jauh dari kata bagus, berbatu-batu, banyak lobang dan gengan air, sementara hujan tidak juga berhenti. Ya, walaupun seperti itu kondisinya, ternyata bagian ini malah menambah keseruan keseluruhan perjalanan hari ini. Menyenangkan, sekaligus melatih mental karena harus menghadapi jalanan hutan yang sangat gelap dan banyak jurangnya. Kepekaan untuk saling memperhatikan sesama dalam rombongan pun jadi lebih terasa.

Kawasan Riunggunung sebelum memasuki hutan Gunung Tilu. Foto: Reza.

Lebih dari satu jam kemudian, kami sudah keluar dari Gunung Tilu, masuk ke Gambung, dan terus ke Ciwidey. Jalan pulang ke sekretariat Aleut yang walaupun terasa lelah, tapi juga membahagiakan. Setelah mengobrol sebentar aku pun berpamitan untuk pulang ke kosan di Cibiru. Aku harus segera beristirahat karena besok pagi ada kegiatan Aleut lainnya yang harus kupersiapkan juga bersama kawan-kawan lainnya, yaitu ngaliwet yang akan didokumentasikan oleh sebuah televisi.

Terimakasih aleut telah secara tidak langsung menyadarkanku untuk lebih buka mata terhadap alam dan dunia kita sendiri, bahwa banyak sekali keajaiban dan keunikan yang perlu kita ketahui dan kita pelajari. Ini jalan-jalan yang sangat bermanfaat bagiku.

Sekali lagi, thank you, Aleut..

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s