Oleh: Aquinaldo Sistanto (@edosistanto)
Tahun 2013. Sebuah berita di surat kabar memaparkan adanya suatu perkampungan di Selatan Kota Bandung, yang menjadi habitat berbagai burung air. Blekok, kuntul sawah, kuntul kerbau dan sebagainya. Sudah tentu saya penasaran, maka saya pun menyempatkan untuk berkunjung dan melihat wujud fisiknya. Kampung Rancabayawak, begitulah nama kampung yang terletak di wilayah Cisaranten Kidul, Gedebage.Yang pertama kali saya lihat adalah sebuah perkampungan kecil, dikelilingi sawah, dengan sejumlah rumpun bambu setinggi bangunan tiga lantai. Di rumpun bambu itulah, berbagai jenis burung berukuran sekitar satu meter membangun sarang, menjalin kasih, membesarkan anak, bercengkrama, dan melepas lelah. Suasananya cukup ramai, apalagi saat senja, ketika burung-burung yang mencari makan dari suatu tempat nun jauh di sana kembali ke sarang. Sejujurnya, sebagai orang kota, saya takjub melihat suasana yang saya pikir hanya bisa disaksikan di kebun binatang. Saya pun mengulang kunjungan tersebut tahun 2015, dan suasana tersebut hampir tidak berubah, kecuali sawah yang saat itu sedang mengering.
24 Juni 2018, di Minggu yang mendung kelabu, saya mengulangi kunjungan tersebut. Kali ini tidak sendiri, tapi bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut. Hanya perlu sekitar 15 menit untuk mencapai Kampung Rancabayawak dari Pasir Jaya, lokasi sekretariat Komunitas Aleut. Sepanjang perjalanan, terhampar pemandangan yang cukup membuat resah. Sawah-sawah dikeringkan, perkampungan warga mulai hilang, semua dilakukan untuk sebuah ambisi besar pengembangan wilayah teknopolis. Kami tiba di Kampung Rancabayawak. Rombongan pun parkir di dekat pendopo, yang tiga tahun lalu belum berdiri. Di sekeliling kampung, lahan-lahan telah dikeruk untuk pembangunan perumahan mewah. Bahkan sawah hijau yang berada di dekat rumpun bambu tempat blekok bersarang telah dibentengi tembok beton.
Baca juga: Ratapan Burung Blekok
Rombongan pun disambut oleh Pak Ujang, tokoh setempat yang banyak berkiprah dalam konservasi Kampung Rancabayawak atau yang lebih dikenal dengan nama Kampung Blekok. Beliau pun bercerita, rombongan blekok, kuntul dan sejenisnya mulai datang pada tahun 70-an. Sikap awal warga adalah memburu dan menangkapi burung-burung tersebut karena khawatir akan membawa sesuatu yang kurang baik bagi kehidupan masyarakat. Tahun 90-an, sikap masyarakat mulai berubah, dan bersedia melindungi serta hidup berdampingan dengan “geng burung Rancabayawak”. Aktivitas konservasi di Kampung Blekok dijalankan secara swadaya oleh masyarakat. Komitmen untuk melindungi burung-burung pun ditetapkan, perburuan dan penebangan bambu dilarang. Kadang-kadang, ada beberapa orang yang iseng menyalakan petasan dan kembang api, menimbulkan kegaduhan yang mengganggu. Pak Ujang memaparkan bahwa selama hidup berdampingan dengan para burung, masyarakat tidak memperoleh gangguan yang berarti. Bahkan ketika wabah flu burung merebak, tidak ada satupun warga Kampung Blekok yang terjangkit virus mematikan tersebut.

Blekok, kuntul dan burung-burung lainnya sedang arisan / Foto Aquinaldo
Masih menurut Pak Ujang, awalnya area Kampung Blekok, baik habitat burung maupun perkampungan warga akan direlokasi untuk pembangunan danau retensi. Berkat perjuangan warga, akhirnya pihak pengembang dan pemerintah setempat sepakat untuk mempertahankan lahan Kampung Blekok, beserta sejumlah area di empat penjuru mata angin. Beliau pun mengajak rombongan Komunitas Aleut untuk melihat suasana dari atap masjid setempat. Seketika pula, salah satu anggota Aleut yang ternyata adalah warga setempat bergabung dengan rombongan.

Suasana di atas atap masjid, dengan kubah yang berwarna-warni / Foto Aquinaldo
Dari atap masjidlah, kami bisa berada di ketinggian yang hampir setara dengan habitat para burung. Yang kami lihat di daun hijau bambu adalah burung-burung berwarna putih, yang kebanyakan adalah kuntul. Ada yang berdiam di sarang, ada juga yang berterbangan menjelajahi langit mendung. Dan dari ketinggian itulah, kami bisa melihat lahan-lahan bertanah coklat, truk-truk pengangkut tanah, traktor dan tanda-tanda mengganasnya pembangunan. Nyaris tidak ada pepohonan, sawah maupun semak-semak yang tersisa.
Walaupun menghadapi tekanan pembangunan yang semakin mendekat, Pak Ujang mengatakan bahwa masih ada sejumlah usaha untuk mempertahankan Kampung Blekok. Usaha-usaha yang memerlukan kerja sama dari berbagai unsur masyarakat. Yang paling terbayang adalah menciptakan brand Kampung Blekok sebagai kampung wisata ekologis di Kota Bandung. Masyarakat sekitar dapat terlibat dengan mengelola usaha pendukung, misalnya rumah makan. Rumah makan tersebut dapat menyajikan makanan yang menjadi ciri khas Kampung Blekok. Salah satu yang pernah dikembangkan adalah telur asin, yang dihasilkan oleh bebek peliharaan warga setempat, yang dijual seharga Rp 3000 – Rp 5000 per butir. Hasil penjualannya dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi lokal dan konservasi habitat blekok. Di tengah suasana diskusi, saya berceletuk ke Pak Ujang mengenai peran pemerintah dalam konservasi Kampung Blekok. Pertanyaan yang sangat berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah, di mana Gubernur Jawa Barat dan Walikota Bandung, yang wilayah administrasinya meliputi Rancabayawak, tinggal hitungan tiga hari. Yang beliau katakan hanyalah pemerintah setempat hanya menyatakan secara normatif mengenai keinginan untuk membantu konservasi.
Baca juga: Kampung Rancabayawak Penjaga Terakhir Blekok di Bandung
Tak terasa pukul 17.00 datang menghampiri, dan saat itulah burung-burung kembali pulang. Langit Kampung Blekok terlihat mulai ramai. Awalnya hanya belasan ekor, lama-lama membeludak menjadi ratusan. Mereka berkicau riuh, terbang berputar sebelum akhirnya mendarat mulus di sarang masing-masing. Suaranya berisik tapi merdu, khas kicauan alamiah. Sangat nikmat untuk didengar, tidak seperti kegaduhan ujaran kebencian dan berita bohong menjelang Pemilihan. Tak pelak, masing-masing dari kami pun menoleh ke atas langit yang gaduh, dan tidak sedikit pula yang merekam gambaran tersebut dalam foto maupun video.

“We’re going home, sweetheart!” / Foto Aquinaldo
Suasana tersebut mengingatkan saya pada suatu adegan di Jurrasic World, ketika gerombolan Pteranodon berterbangan memenuhi langit setelah kandang yang menjadi tempat tinggal mereka hancur diterjang Indominus rex. Ramai dan bising sekali, seolah-olah menggetarkan langit. Bedanya, Pteranodon di Jurrasic World hanyalah fiksi belaka, sedang kuntul dan blekok di Rancabayawak adalah adegan nyata. Sekedar info, blekok, Pteranodon, Tyrannosaurus dan buaya (bukan buaya darat) merupakan anggota Archosauria, namun hanya golongan burung dan buaya yang masih tersisa. Ah, saya jadi merenung, apakah burung-burung di Rancabayawak akan bernasib sama dengan kerabat Mesozoiknya, atau, dengan usaha dari siapapun yang peduli, akan bertahan beberapa lama lagi?
“Extinction is a rule, survival is an execption”
Carl Sagan
PS: Kami pulang setelah salat magrib, dan mendapati sepeda motor kami mendapat “hadiah perpisahan” dari burung-burung penghuni Rancabayawak
Baca juga artikel menarik lainnya mengenai Bandung
(komunitasaleut.com – edo/upi)