Susur Pantai #5 Ciletuh: Dimulai dari Solontongan, Berakhir pula di Solontongan

Ciletuh

Susur Pantai #5 Ciletuh | Foto Hendi Abburahman

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Minggu malam yang dingin. Jalan Solontongan 20-D yang beberapa hari ke belakang sepi tiba-tiba kembali ramai dengan berderetnya beberapa motor dan tampang orang-orang yang kelelahan. Mereka selonjoran sambil menceritakan pengalaman-pengalaman seru yang telah mereka lewati. Meski dengan muka letih, gelak tawa masih saja berhamburan. Sebagian membuka handphone, sebagian menyulut rokok, dan sebagian lainnya menunggu makanan yang sedang dipesan. Sedangkan motor-motor yang terparkir sudah tak ingin lagi bergerak. “Cukup 544 kilometer yang kami tempuh,” begitu ujarnya. Meski sebagian motor-motor itu sadar, kilometer akan bertambah karena mereka harus bergerak ke rumahnya masing-masing.

Waktu terus berjalan, satu persatu orang-orang pulang, begitu juga dengan motornya. Saya mengantar Rizka menuju Surapati. Setelahnya, saya kembali ke Solontongan. Rokok habis, sedangkan malam kian larut. Pertanda Indomaret Karawitan harus didatangi. Sebelum bergegas menuju Indomaret, saya meraba saku celana, dan uang masih ada. Maklum, selama perjalanan, Bi Kania yang menjadi partner saya dalam susur pantai kali ini sudah seperti Bibi Lung yang mengayomi si Yoko.

Tiga jam sebelum mengantar Rizka ke Surapati, saya masih mengolok-ngolok Agus yang kedinginan di daerah Sperata. Dia berhenti dan meminta untuk dibonceng karena merasa sudah tak kuat membawa motor. Memang, malam itu dingin menusuk. Aip, orang yang Agus panggil untuk berhenti dan meminta bertukar kemudi malah melaju. Entah tak terdengar karena memang cuaca sedang dingin-dinginnya, atau Aip menduga Agus ini berhenti untuk mengisi bensin, karena memang motor yang dikendarai Agus berhenti tepat di depan warung yang sekaligus menjual bensin eceran.

Rombongan pun terpecah, untuk kemudian menyatu lagi di Ciwidey bawah (dalam pikiran saya Ciwidey terbagi dua: atas dan bawah). Saya termasuk ke dalam beberapa motor yang menunggui Agus. Suasana berubah menjadi khawatir. Padahal sebelum Agus kedinginan dan minta dibonceng, kami sempat tertawa dan merasa bahagia karena berhasil melewati tanjakan curam nan berlumpur. Awalnya kaget, bisakah motor-motor kami melewati tanjakan itu. Nyatanya, usaha memang perlu, hasil lihat belakangan. Dan benar saja, tanjakan berlumpur itu akhirnya bisa kami lewati. Semua senang, sorak-sorak bergembira – bergembira semua sudah bebas negeri kita…. ~

Tak jauh dari tempat saya berdiri, Irfan melontarkan satu kalimat dengan lantang, “Djeladjah Priangan…” yang dengan otomatis dilanjutkan oleh Mey, “Alus alus alus…”

Hmm… Okey.

Ya, kami memang melewati Cianjur Selatan dengan cuaca hujan yang sudah satu paket dengan dingin (tapi tidak dengan sepi). Tak jarang kami melewati jalanan yang cukup terjal. Beberapa kali botol minum seorang kawan jatuh karena menghantam lubang cukup besar. Saya yang membonceng Bi Kania pun sering beradu helm karena mesti ngerem secara mendadak. “Sorry Bi, jalanna euweuh piliheun euy,” ujar saya kepadanya.

Sebelum masuk Ciwidey, Curug Citambur sudah terlihat dari kejauhan. Tumpahan airnya begitu besar. Dari titik tertentu kami berhenti untuk mengeluarkan handphone dan kamera untuk mengabadikannya. Cianjur Selatan memang menawarkan pemandangan yang segar di mata. Bahkan dalam salah satu kesempatan perjalanan lain ke Cianjur Selatan ini, saya sempat melihat bukit atau gunung yang berbentuk seperti patahan Lembang. Patahan Lembang cabang Cianjur, begitu saya pernah bergumam.

Tak hanya pemandangannya saja yang bagus, daerah Agrabinta jadi jalur yang saya sukai karena memiliki jalan tanpa gijlegan. Sebelumnya, saya pernah pula melewati jalanan ini dalam susur pantai sebelumnya, namun saat itu cuaca sedang panas, sedang tak cantik-cantiknya. Berbeda dengan kali ini yang disuguhi gerimis.

Kami berhenti untuk beristirahat di warung yang sama saat susur pantai sebelumnya. Dengan perut yang sudah lapar, kami melahap menu yang ada di warung tersebut. Saya dan Irfan menjadi yang terdepan. Jengkol menjadi menu pertama yang saya hantam, berpadu bersama tahu dan sambal dan diakhiri dengan kopi dan sebatang rokok. Hmmm… Agrabinta, jengkol, kopi, dingin dan sepi kalian. Perpaduan yang cociks.

Satu hari sebelum  saya menyantap jengkol, saya dan kwan-kawan lainnya sedang gelap-gelapan di rumah bilik sewaan di tepi pantai Ujunggenteng. Awalnya tempat ini menjadi tempat yang mengerikan buat saya. Angin super kencang, listrik mati, dan suara ombak yang kantun. Sempat terlintas untuk kabur memacu motor yang ada di depan. Apalagi saya sempat mendengar cerita si aa (pemilik rumah sewaan) kalau sebelumnya ada yang menyewa  tapi kabur karena cuaca yang mengerikan.

Perlahan-lahan ketakutan saya sirna karena melihat beberapa kawan lainnya tetap tenang –disertai angin yang mulai melambat. Percayalah, ternyata rasa tenang seseorang bisa menular. Malam itu kami beristirahat sambil ngopi dan juga ngobrol ke sana kemari. Hingga akhirnya semua mulai terlelap, hanya menyisakan saya dan Aip yang masih terjaga. Bisa saja saya mencumbunya, tapi untungnya setan pun kedinginan dan lebih memilih tidur. Lama-lama, rasa kantuk menerpa juga. Dengan jas hujan berwarna hitam milik entah, saya mulai terlelap. Hanya ada Aip dan sepi.

Paginya, saya terbangun dalam keadaan listrik sudah menyala. Terbukti dengan baterai handphone yang terisi penuh. Saya baru ingat, semalam Aip ikut tethering pakai handphone saya. Mungkin sebagai bayarannya, dia mengecaskan hape saya. Oke.

Sebelum bergegas untuk pergi ke titik selanjutnya, beberapa orang berduyun-duyun pergi ke pantai. Ujunggenteng kali ini berbeda dengan beberapa tahun lalu saat saya mendatanginya bersama kawan sepermainan. Ramai, bahkan banyak pungutan liar. Bisa jadi karena cuaca yang sedang jelek. Kali ini, Ujunggenteng seperti pantai mati tanpa pengunjung lain. Hanya ada kami.

Sehari sebelum saya ketakutan di pantai Ujunggenteng, saya dan kawan-kawan lainnya menyusuri kawasan Geopark Ciletuh. Meski kerap kali ke Sukabumi, Ujunggenteng atau pun Pelabuhan Ratu, baru kali ini saya menyusuri kawasan ini. Menyantap ikan entah, tapi enak. Hmm… ikan yang langsung disantap dari penjual di sekitar pantai memang selalu beda. Dan ikan Pantai Loji lagi-lagi membuktikannya. Selama susur pantai satu sampai empat, susur pantai kali ini menjadi salah satu yang saya suka. Jalanan yang bervariasi, pinggir jalan menghadap laut, tanjakan dan turunan yang curam.

Malamnya sebelum saya memakan ikan di Pantai Loji, saya terkapar di Jalan Didi Sukardi. Tepatnya di pom bensin yang telah tutup, tapi tidak dengan musholanya. Untuk sementara, mushola yang kami datangi berubah fungsi—menjadi tempat istirahat. Maklum, kelelahan mendera kami karena malam itu kami tak mendapatkan penginapan yang bisa menampung belasan orang. Apalagi sebelumnya perjalanan dari Bandung diiringi hujan yang tentu menambah rasa lelah kami.

Semangat dan antusias saya dan kawan-kawan masih terjaga karena ini belum sampai setengah perjalanan. Untuk mengusir kantuk dan tetap menjaga konsentrasi berkendara, sepanjang jalan saya ngobrol banyak hal bersama Bi Kania. Apalagi saat masuk Citatah dan Cianjur Kota,  konsentrasi memang harus maksimal karena banyak truk-truk besar berhimpitan. Belum lagi “geng motor” dengan suara klakson yang mengganggu. Jujur, bikin risih sih, karena dengan terpaksa saya harus sedikit melaju agak pinggir untuk mempersilakan mereka.

Dua jam sebelum saya kesal dengan para “geng motor” itu, saya sudah dibuat kesal oleh Persib Bandung yang saya tonton di Solontongan 20-D. Untungnya kawan-kawan segera datang untuk kemudian bergegas pergi.

Tautan asli https://blogakay.wordpress.com/2018/02/07/susur-pantai-5-ciletuh-dimulai-dari-solontongan-berakhir-pula-di-solontongan/

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s