Susur Pantai Jilid 5: Ciletuh-Ujunggenteng

Oleh: Mariana Putri (@marianaaputri)

Ini kali kedua saya ikut susur pantai bersama @komunitasaleut. Setelah Susur Pantai Jilid 4 terlewat begitu saja tanpa ada catatan perjalanan dan sekarang mulai lupa-lupa, kali ini saya bertekad untuk menulis catatan perjalanan. Minimal biar ingat terus sama kamu.

26 Januari

Izin untuk Susur Pantai sebenarnya sudah turun dari berminggu-minggu lalu, dan nggak ada halangan. Sialnya, pagi itu saya terbangun dengan keringat di punggung dan kening. Asma saya kambuh, dan ini nggak luput dilihat Mamake. Sebenarnya saya nggak terlalu khawatir, karena biasanya menuju siang bakal sembuh sendiri. Apalagi kalau dibawa jalan-jalan, malah makin sehat. Memang aneh.

Setelah packing amunisi susur pantai, sepulang kerja saya langsung meluncur ke Kedai Preanger, tempat kumpul peserta. Di tengah pertandingan Persib lawan entah siapa yang ramai hujatan, kami briefing sebentar, lalu delapan motor berangkat sekitar pukul 21.00. Partner saya di Susur Pantai kali ini adalah Tegar. Jajaka kasep asal Sarijadi yang hobinya nyekill bermain gitar.

Buah Batu-Caringin-Cibeureum-Padalarang dilalui dengan lancar. Sampai di Citatah, kami berebut jalan dengan truk-truk besar yang tampaknya baru keluar kandang. Jalanan padat merayap. Setelahnya hanya sekelebatan jalan, rumah dan kebun warga. Masuk ke kota Sukabumi, hawa dingin mulai menusuk. Saat motor lewat ke Selabintana, kami memutuskan untuk mencari penginapan. Pukul 01.30.

27 Januari

Hampir sejam mengubek-ubek kota Sukabumi, belum ada penginapan yang cukup untuk menampung 15 orang. Hujan turun dari gerimis sampai deras. Kami masih mencari penginapan, lalu datang Mang Agus dan Pahepi yang menyusul. Kami yang kadung kelelahan memutuskan untuk mencari tempat istirahat saja. Pilihan paling mungkin: mesjid/mushola.

Minimal jang ngalepengkeun awak,” kata Mang Irfan, urang Jampang.

Setuju.

Ia memimpin rombongan menuju pom bensin terdekat, untuk menumpang tidur di musholanya. Saya melirik jam, pukul dua lebih duapuluh menit. Setelah beres-beres sebentar, saya memilih posisi yang pas untuk tidur. Karpet mushola terasa begitu empuk dan saya langsung meluncur ke alam mimpi.

Saya terbangun waktu Mang Agus qomat. Ternyata sudah jam lima, kok rasanya sebentar. Selesai cuci muka dan sholat subuh, kami berkemas lagi. Tidak jauh dari situ, kami sarapan di warung. Gorengan, mie rebus, dan kopi jadi pengisi perut buat asupan tenaga karena perjalanan masih panjang.

@komunitasaleut
Beragam ekspresi perut kenyang habis sarapan. /Foto @komunitasaleut

Singkat cerita, motor-motor melaju dari Sukabumi ke arah Pelabuhan Ratu, di persimpangan menuju Simpenan, semua motor belok kiri, kecuali motor Gistha yang membawa Chacha. Namun drama penculikan berhasil digagalkan.

Dari Simpenan, kami melewati jalan menuju Pantai Loji. Saya pikir kami akan langsung ke Ciletuh, ternyata seharusnya kami belok ke jalan menuju Pantai Loji. Setelah putar arah dan sampai di jalan ke Pantai Loji, udara pantai mulai terasa.

Saya dan Tegar sepakat kalau momotoran lebih berkesan karena kita merasa lebih dekat dengan alam: jalanan berlubang, cipratan air hujan yang tergenang, gerimis tipis sampai hujan angin, tanjakan dan turunan, aroma manis gula atau hutan basah, dan udaranya. Merasakan peralihan udara dingin dataran tinggi sampai hangatnya udara pantai adalah salah satu kesenangan saya kalau ikut susur pantai.

View Pantai Loji dari saung

Di Pantai Loji, kami sekalian menunggu satu motor lagi: Mang Alexxx dan Mbak Nurul. Nggak berapa lama, mereka tiba. Sambil istirahat dan menunggu ikan bakar siap, saya dan beberapa teman naik ke Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa. Pengalaman pertama masuk ke komplek vihara ternyata seru. Banyak ornamen agama dan budaya yang melebur di altar vihara.

IMG_7204-01.jpeg  IMG_7179-01.jpeg

 

 

 

 

Dari puncak vihara, pemandangan langsung ke laut bisa terlihat. Saya dan Rizka berandai-andai punya rumah di sisi pantai.

Pemandangan dari puncak vihara ❤

Selesai berkeliling vihara dan foto-foto, kami turun karena perut yang mulai berteriak lapar. Setelah menunggu sambil ngemil kwaci, akhirnya ikan bakar, nasi liwet, sambel cobek dan kecap datang. Makan siang di sisi pantai Loji dengan backsound deburan ombak yang juara~

Mari makan!
Foto @komunitasaleut

Perut kenyang dan hati senang, tapi tanjakan lain sudah menunggu. Kami melewati jalan baru yang–ah pokoknya kamu harus coba sendiri. Berkali-kali saya memekik girang karena pemandangan di sebelah kanan. Kalau kata Mbak Nurul: indah tapi mematikan. Bibir laut yang begitu dekat ditambah jalan yang naik turun memang bisa jadi kombinasi berbahaya kalau kami tidak awas. Terlebih kalau gagal nanjak pas bawa boncengan. Dikekeaknya bisa sampai setahun ke depan!

Usai melewati jalur di Cibatu yang berkelok-kelok, kami mulai turun ke dataran yang lebih rendah. Dari jauh terlihat signage “Ciletuh Geopark”. Kawasan yang digadang-gadang sudah diakui oleh UNESCO sebagai geopark nasional ini memang luas dan memiliki banyak daya tarik alam.

IMG_7350

 

Curug Cimarinjung

Sepanjang perjalanan, kami melewati beberapa curug kecil yang lokasinya dekat sekali dengan jalan. Kami berhenti sebentar untuk mengambil foto. Airnya berwarna cokelat kemerahan mirip thai tea, konon disebabkan oleh aktivitas pertambangan emas di hulunya.

 

Salah satu Curug di Ciletuh /Foto: Tegar

Perjalanan masih berlanjut. Perut kenyang bikin ngantuk, maka saya dan Tegar mulai ngobrol ngalor ngidul. Sawah-sawah dan bibir pantai muncul di bingkai mata, tapi tidak lama. Motor-motor menanjak lagi menuju ke Panenjoan–spot untuk melihat pemandangan Ciletuh dari atas. Saat itu langit mulai gelap, padahal masih pukul empat sore.

IMG_7362
View dari Panenjoan

“Yuk yuk yuk…,” ajakan familiar untuk melanjutkan perjalanan. Kami akan menginap di Ujunggenteng dan jaraknya masih cukup jauh. Sebelas motor berpacu lebih cepat dari sebelumnya, seolah berkejaran dengan awan mendung yang siap tumpah. Tak berapa lama, hujan. Sekitar 23 km kemudian, kami sampai di Ujunggenteng bersama sisa-sisa hujan. Muram.

Beberapa tahun lalu saya dan seorang teman pernah iseng ke Ujunggenteng dengan berkereta dari Bogor, tapi waktu itu panas terik dan kami naik angkot. Jadi saat minggu lalu kesana lagi, rasanya seperti baru berkunjung. Kami segera mencari penginapan. Setelah tawar menawar dengan seorang warga, kami setuju menginap di rumah panggung dengan dua kamar dan satu kamar mandi.

Saya langsung tertarik ke sisi pantai. Beberapa teman sudah ada di sana, berfoto atau sekadar menatap garis horizon atau mengumpulkan kerang buat koleksi–yang meski kurang manfaat, toh masih saya lakukan juga. Pantainya sendu, tapi saya tetap suka. Saya jadi ingat waktu kecil punya ingin kalau meninggal nanti dikremasi dan dibuang saja abunya ke laut, sebelum dibantah oleh Mamake.

Pantai dengan karang dan cangkang kerang yang siap dipungut. ❤

Malam mulai turun, kami kembali ke rumah. Badan terasa lengket, tapi kamar mandi pasti penuh. Akhirnya saya tiduran di kamar, sampai jadinya tidur beneran. Kamar remang-remang plus suara debur ombak plus deru angin laut anehnya bikin tenang. Terbangun di tengah gelap, saya melihat jam, 19.30. Di luar masih ramai obrolan, lampu masih mati dan saya khawatir nggak bisa tidur lagi.

Seorang teman bilang, belum ke Ujunggenteng kalau belum merasakan mati lampu. Hampir tiap hari ada jatah mati lampu. Maka genset adalah koentji. Sayangnya, karena tegangan kurang stabil, charger ponsel dan kamera jadi konslet 😦 #lessonlearned: jangan menyolokkan kabel ke terminal listrik waktu mati lampu.

28 Januari

Paginya, udara dingin yang berhembus lewat celah-celah bilik membangunkan saya. Setelah cuci muka dan sikat gigi, saya langsung main di pantai. Tapi cuma sebentar, karena tiba-tiba air hujan mengguyur deras. Kami langsung ngibrit ke dalam rumah. Setelah mandi dan sarapan nasi uduk, kami berkemas lagi dan tak lupa menyiapkan dresscode di Susur Pantai 5: jas hujan. Tegar sudah siap dengan si kuda besi imut. Saat hujan reda, kami tancap gas lewat jalur Cianjur Selatan. Hujan deras. Gerimis.

Huma sejauh mata memandang.

Sampai di Agrabinta, hujan berhenti. Pertama kalinya saya melewati padang huma yang cukup luas. Selepas pemandangan huma, kami melewati hutan jati, sengon, dan karet sampai berhenti di sebuah warung nasi–yang dikunjungi juga waktu Susur Pantai #2. Makan siang kali ini spesial karena menemukan gulai turubuk! Kata Abang, masakan khas daerah selatan, kembang tebu muda yang dimasak bumbu gulai. Teksturnya mirip daging ikan dan rasanya enak!

Coba tebak, yang mana gulai turubuk? /Foto @Komunitasaleut

Selesai ishoma, kami lanjut ke arah Tegalbuleud, menepi sebentar di warung lalu makan cuankie dan minum kopi untuk menghangatkan perut. Kami masuk ke jalan kecil khas perkampungan yang menanjak dan berbelok-belok dengan kabut yang mulai turun. Jalanan berlubang kami hantam hingga motor di depan tiba-tiba berhenti. Curug Citambur terlihat di ujung pandangan.

Jalan lain ke Citambur

Saat memandang berkeliling ada beberapa curug lain yang terlihat. Lewat dari Citambur, kami dihadang tanjakan tanah. Boncengan turun dulu. Satu per satu motor melaju naik hati-hati. Hawa dingin kembali menusuk tulang karena kami sudah sampai di daerah Rancabali.

Kami harus terus bergerak untuk melawan dingin. Hujan rintik dan kabut mengiringi perjalanan kami melalui jalur perkebunan teh. Jarak pandang yang pendek karena terhalang kabut membuat kami merapatkan dan mengatur ulang barisan: Pak Abang-Rizka, Mangir-Makmey, Mang Alexxx-Mbak Nurul, Pahepi-Ervan, Aip, Tegar-saya, Akay-Bibi, Gistha-Chacha, Kang Novan, Mang Agus-Pinot.

Ketika kami mulai masuk ke komplek perumahan perkebunan teh Spérata, motor Mang Agus tiba-tiba berhenti. Cahaya rembulan menerangi wajahnya yang pucat pasi.

Kunaon, Gus?!” seru Tegar.

Aing geus teu kuat ngabonceng, tukeran lah,” sahutnya dengan gigi gemeretuk dan badan gemetar. Saya masih aja ingin ketawa waktu melihat Mang Agus kedinginan, tapi syukur berhasil ditahan. Maaf, Mang.

Sementara itu, 5 motor di depan kami sudah hilang dari pandangan. Untungnya, kami berhenti tidak jauh dari warung. Mang Agus segera melepas jas hujan yang memang sudah ditembus air hujan sedari tadi, menggantinya dengan jaket dan kaos kaki Tegar, tapi tetap tidak meredakan serangan hypotermia. Kami pun bergegas menuju ke warung, Bibi Kania langsung memesan bandrek dan susu. Sementara Mang Agus mendekat ke pembakaran.

Setelah beberapa lama, kondisinya membaik. Kami melanjutkan perjalanan lewat jalur yang sudah familiar, turun ke arah kota Bandung. Di sekitar Ciwidey, kami bergabung dengan lima motor lain yang setia menunggu di warung nasi. Suasana mulai cair meski badan tetap kedinginan. Tegar menawari saya pisang yang langsung saya terima. Biar ada energi, katanya.

Setelah merasa cukup beristirahat, kami menuntaskan sisa perjalanan susur pantai. Soreang-Kopo dilalui tanpa hambatan, sampai di persimpangan Jl. Soekarno-Hatta, saya pindah ke motor Mbak Nurul yang langsung tancap gas ke Cimahi. Mari kita pulang! Selesailah ±544 km perjalanan susur pantai terdingin dan terbasah yang tap-mantap-mantap! Sampai ketemu di susur pantai berikutnya.

Tautan asli https://maraputri.wordpress.com/2018/02/06/susur-pantai-jilid-5-ciletuh-ujunggenteng/#more-265

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s