Oleh: Rulfhi Pratama (@Rulfhi_Rama)
“Kring..Kring…Kring..’’ Suara alarm yang berbunyi dari HP tak bisa membangunkan saya agar tidak terlambat berangkat ngaleut ke Blok Tempe bersama Komunitas Aleut. Alhasil saya tak sempat bergabung dari awal walau saya sudah memacu kuda besi saya secepat Valentino Rossi. Saya tiba di Pasar Ulekan yang menjadi meeting point pukul setengah sembilan dan mendapati rombongan sudah berangkat Ngaleut. Untung saja salah satu rekan di men-share lokasi, jadi saya langsung meluncur menyusul mereka.
Di tengah jalan sebelum bertemu dengan rombongan saya bertemu dengan salah satu rekan yang memutuskan untuk jajan cilok. Tak kuasa mendengar kata cilok, saya pun memutuskan bergabung untuk ikut jajan. Ternyata cilok ini jadi favorit warga sekitar, banyak warga yang mengantri untuk jajan cilok ini, dan menurut Arfin cilok ibu ini kalo hari biasa dagang di sekolahan dan kalo weekend di sekitar Pasar Ulekan.

Cilok di Pasar Ulekan Pagarsih
Setelah cilok di tangan, kami pun segera bergabung dengan kawan-kawan yang sudah menunggu di depan. Di sini saya dan Aleutians lain mulai menelusuri gang demi gang yang ada di daerah Babakan Tarogong ini. Satu persatu warga sekitar kami tanya untuk menanyakan tempat yang bernama Blok Tempe sampai kami menanyakan ke seorang ibu-ibu yang sedang membantu mempersiapkan bahan makanan untuk dagangan anaknya.

Interaksi dengan Ibu yang sedang memotong kangkung
Ibu ini menuturkan bahwa Blok tempe ini dulu dikenal dengan banyaknya pembuat tempe di kampung ini. Namun ,sekarang sudah tidak banyak, mungkin tinggal satu dua saja. Sekarang ini Blok Tempe secara administratif berubah menjadi Babakan Asih yang katanya diambil kata “asih” karena warganya yang murah senyum dan penyayang. Kami pun bertanya kepada beliau letak lokasi yang temboknya banyak mural dan ada bale yang dibuat oleh RK. Ibu ini menunjukan lokasi yang katanya bale itu ada di RT 04.
Ibu ini sangat senang ngobrol terbukti beliau terus bercerita, bahkan mengenai dirinya dan kehidupannya. Sampai ibu ini mewanti-wanti Aleutian yang mayoritas lelaki untuk tidak mempermaikan perasaan wanita. Ahh ibu satu ini sangatlah terasa ibu-ibunya dari masalah dapur sampai masalah kehidupan semua diceritakan.
Setelah pamit kepada ibu yang sangat ramah ini, kami melanjutkan menelusuri gang yang sangat banyak persimpangan. Gang ini layaknya labirin, beberapa kali sudah kami bertanya kepada warga dan masih tetap saja tersesat. Tapi dengan tersesat kami jadi lebih banyak berinteraksi dengan warga sekitar. Langkah kaki ini terus melangkah dan mata terus sigap melihat tanda-tanda keberadaan bale dan mural-mural penghias tembok. Tak berselang lama kami menemukan mural itu, harapan kami akan menemukan bale itu semakin besar.
Tak jauh dari mural itu sedang diadakan sebuah festival , kami pun bertanya kepada satpam dan pemuda yang berjaga di pintu masuk. Satpam dan pemuda itu membenarkan bahwa di daerah ini memang benar ada bale yang dibuat RK. Pemuda itu menunjukan jalan lurus, belok kanan, dan belok kanan dan nanti akan menemui bale di sana. Terdengar mudah, tapi realitanya tetap saja kami tersesat karena saking banyaknya persimpangan. Mungkin kami perlu panggil peta-peta seperti Dora, namun sebelum seputus asa itu kami akhirnya mampu sampai ke bale.

Photo by Komunitas Aleut
Menurut akang yang sedang berada di sana, bale yang terbuat dari bambu ini digunakan untuk kegiatan masyarakat seperti ngaji anak-anak, posyandu sampai senam pagi. Tetapi bale ini tak cukup besar, lantas kami menanyakan masih adakah bale di kampung ini yang lebih besar. Dia menjawab masih ada katanya di RT 4, dengan ramah akang ini menawarkan untuk mengantar kami ke bale tersebut dan kami pun menerimanya dengan senang hati. Tak berselang kami pun sampe di bale yang cukup besar ini.

Aleutians istirahat sejenak di Bale, photo by Komunitas Aleut
Setibanya di bale ini kami beristirahat sejenak. Beberapa kawan membeli minuman dan makanan ringan di sebrang bale ini. Di sekitar bale terlihat kesibukan warga yang sedang memperbaiki tower air. Kami pun mencoba mengajak salah satu pemuda di sekitar bale untuk ikut berkumpul dan mengobrol mengenai Blok Tempe. Kang Iwan menuturkan ‘’Di sini dulunya kawasan beling, bahkan kalau ada yang ngapel di daerah sini kami pukuli da kumaha atuh pemuda di dieu mah, ku sorangan teu beunang, ari ku batur ulah’’, yang kemudian kami sambut dengan tawa.

Warga Blok Tempe, photo by Komunitas Aleut
“Sebelumnya sudah banyak yang ingin mengubah keadaan di daerah sini, namun cara yang disampaikannya kurang tepat, sehingga pemuda di sini melawan balik. Bahkan seorang ustadz sekalipun pindah dari blok tempe. Namun diantara kami ada satu orang kawan yang bisa dibilang lebih maju yaitu Kang Reggy Munggaran. Kang Reggy melakukan pendekatan dengan kami secara santai tak ada istilah menggurui, semua dilakukan dengan obrolan santai”, tutur salah satu warga. “Ceuk Kang Reggy mah, ‘arurang teh pemuda sakirana kudu berguna jang lingkungan sekitar’, Ketika itu kami menyadari mau sampe kapan kami terus begini?”, lanjutnya. Obrolan in ditutup oleh celetukan Kang Miki: ‘’ayeuna mah barudak geus jadi preman pensiun”.
Setelah para pemuda tergerak untuk membangun kampungnya sendiri, Kang Reggy meminta bantuan Kang Emil yang saat itu adalah ketua BCCF (Bandung Creative City Forum) untuk mendukung program di Blok Tempe. Program pertama yang dilakukan pemuda Blok Tempe adalah membuat sumur resapan, maklum saja dulu daerah ini jadi langganan banjir karena lokasinya yang dekat dengan airan Sungai Citepus.
Setelah banjir teratasi, pembangunan Blok Tempe menyentuh ke aspek fisik berupa ruang publik. Ruang publik yang diwujudkan berupa Bale Bambu ini berasal dari udunan warga dan beberapa donatur. Yang menarik dari Bale ini ada sebuah cap telapak tangan di depan Bale dengan tulisan Kartoon Ervat yang merupakan singkatan dari Karang Taruna Erte Ovat.

Cap Tangan, photo by Komunitas Aleut
Kang Emil dan Blok Tempe bisa dibilang tumbuh bersama-sama. Di sinilah awal Kang Emil memproklamirkan dirinya sebagai calon Walikota Bandung dan mendapatkan dukungan penuh dari Blok Tempe. Berkat Kang Emil dan kerja keras serta kemauan dari pemuda Blok Tempe, kini Blok Tempe dikenal di seantero Indonesia dan di dunia karena prestasinya. Bahkan tak jarang Blok Tempe jadi tempat studi banding para pelajar asing dan lokal ataupun komunitas.

Blok Tempe, photo by Komunitas Aleut
Dari Blok Tempe saya dapat banyak pelajaran berharga, betapa pentingnya sebuah pembenahan mental daripada hanya fokus membenahi fisik semata. Karena dari mental yang kuat akan tumbuh kebersamaan, keramahan, dan semangat untuk terus belajar yang menjadi nilai berharga seperti yang dimiliki warga Blok Tempe. Tak perlu takut gagal hanya karena masa lalu yang kelam selama ada kemauan untuk berubah menjadi baik pasti akan ada jalan dan akan membuahkan hasil. Seperti ayat dalam Al-Quran, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa-apa yang pada diri mereka”.
Tautan asli: https://mudabebas.blogspot.co.id/2016/11/ngaleut-ke-blok-tempe-yang-bukan-tahu.html