Oleh: Deris Reinaldi
Ngaleut kali ini bertema “Mapay Jalan Satapak” yang berarti menyusuri jalan setapak. Menurut kabar akan menyusuri sungai Ci Kapundung ke arah selatan dari Jl. Asia Afrika, melihat perumahan di sekitar serta mengunjungi pengrajin tradisional. Terbayang dalam benak saya sih ya menyusuri pinggiran sungai dengan memasuki gang-gang seperti yang dulu pernah dilakukan ketika nyusur Ci Kapundung pada 3 bulan yang lalu.
Namun ini tidak seperti itu. Acara dimulai di Titik 0 Kilometer di Jl. Asia Afrika, tepatnya di depan Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat. Acara dimulai dengan memperkenalkan diri terhadap seluruh pegiat, lalu dimulailah perjalanan “mapay jalan satapak” ini.
Ketika memasuki Jl. Pangarang, banyak sekali hotel-hotel kecil. Perjalanan kemudian berlanjut ke dalam gang. Tak jauh dari mulut gang saya melihat sebuah papan nama pengrajin. Saya pikir perjalanan hanya numpang lewat saja ke tempat pengrajin itu dan juga saya tidak tahu tempat kerajinan apakah itu. Pokoknya tidak terbayang.
Kemudian tibalah di tempat pengrajin yang bernama “A. Ruchiyat Wooden Puppet & Mask”. Dari luar rumah ini terlihat sepi. Saya kira sih cuma lewat saja, tapi ternyata kami juga masuk ke dalam. Ketika memasuki rumahnya, ternyata banyak wayang golek di sana dengan berbagai macam bentuk dan rupa. Ada juga galeri tempat menjual wayang dan cinderamata yang sangat bagus.
Pemilik rumah wayang ini, Bapak Tatang, mempersilahkan kami duduk. Lalu Pak Tatang menjelaskan awal memulai usaha pembuatan wayang ini hingga sejarah pewayangan dan sejarah-sejarah lain yang berhubungan dengan Bandung. Usaha pembuatan wayang ini mulai dirintis pada tahun 1935 oleh Aki Soma. Lalu pada tahun 1955, usaha ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Bapak Ruchiyat. Sekarang ini usaha pembuatan wayang dilanjutkan oleh Bapak Tatang, cucu dari Aki Soma.
Kayu untuk membuat wayang berasal dari pohon albasiah dari kebun milik sendiri di Soreang. Apabila akan dibuat wayang, maka pohon albasiah itu lalu didiamkan dengan posisi disandarkan setelah ditebang selama 4 hari agar getah dan airnya turun. Sebagai tahap awal pembuatan, kayu dibentuk oval agar mudah memprosesnya. Cara pembuatannya ada yang dipahat dan ada yang diukir. Terdapat beberapa pisa khusus untuk mengukir wayang.
Usia wayang dapat terlihat dari warna kayunya. Wayang yang sudah menghitam artinya merupakan wayang buatan tahun 1950-an, sedangkan wayang yang warnanya masih putih masih baru. Warna wajah wayang pun bermacam-macam, karena setiap warna menandakan karakter dari masing-masing wayang. Kalau merah wataknya temperamen dan jahat, kalau warna merah jambu wataknya setengah jahat, apabila putih wataknya baik.
Setelah Pak Tatang menjelaskan mengenai seputar wayang, saya menyempatkan untuk melihat galerinya. Di dalam galeri dipajang hasil karya pak Tatang yang bagus dengan harga jual yang bermacam-macam. Selain wayang, ada juga cinderamata yang dijual di sini. Waw, ngiler juga liat hasil karya Pak Tatang, tapi apa daya isi dompet ini tidak bersahabat. Tapi saya tertarik dengan pulpen berornamen wayang dan saya hanya membeli pulpen berwarna ungu. Wayang buatan pak Tatang ini biasanya dipesan ketika ada pergantian duta besar.
Saya baru tahu dengan keberadaan pengrajin wayang ini dan baru tahu juga namanya meskipun saya sering ke Jl. Pangarang. Wayang “A. Ruchiyat Wooden Puppet & Mask” ini adalah salah satu dari beberapa industri kecil dan menengah di Bandung. Industri seperti ini perlu dikembangkan lagi dan juga dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, hasil kebudayaan Sunda ini dapat tetap terjaga dan juga dapat meningkatkan perekonomian urang Bandung.
Perjalanan berlanjut lagi ke rumah Pak Haji Anda di Jl. Rana. Haji Anda merupakan kerabat dari Inggit Garnasih, mantan istri presiden pertama RI, Soekarno. Setiba di sana, ternyata itu rumah itu kini dihuni oleh anak dari Haji Anda, yaitu Pak Bambang. Keluarganya terlihat cukup sederhana, yang tercermin dari kondisi rumahnya. Kemudian Pak Bambang bercerita tentang ayahnya. Haji Anda yang mengurusi surat cerai Soekarno dengan Inggit Garnasih. Haji Anda juga yang menampung Inggit Garnasih di rumahnya pasca bercerai dengan Soekarno. Haji Anda merupakan teman Haji Sanusi, bekas suami Inggit. Melalui Haji Sanusi pula Haji Anda mengenal Inggit Garnasih. Istri dari Haji Anda merupakan pelanggan tetap produk yang dijual Inggit seperti bedak dan makanan. Saking dekatnya, Inggigt sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Keluarga H. Anda.
Pak Bambang menceritakan sikap keteladanan dari Haji Anda. Semasa hidupnya, Haji Anda hidup dalam kesederhanaan. Beliau bisa dikatakan baik hati, tidak sombong dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Siapapun beliau sapa tanpa mengenal status sosialnya. Pak Bambang bercerita bahwa ayahnya sering menyuruh tukang becak yang lewat untuk makan dirumahnya, ada yang sedang berjalan melewati rumahnya lalu hujan, beliau pasti menyuruh untuk berteduh dulu dirumahnya, maka tak heran apabila Inggit ditampung dirumahnya meskipun tidak ada hubungan darah.
Kini rumah haji Anda dalam keadaan yang memperihatinkan. Rumahnya yang terletak di Jl. Lengkong Besar sekarang sudah rusak, bisa dibilang seperti puing-puing. Padahal itu rumah peninggalan zaman Belanda. Cukup disayangkan.
Sumber foto: Deris Reinaldi
Tautan asli: https://derisreinaldi.wordpress.com/2015/03/10/hal-yang-tersembunyi-menjadi-tampak/