Oleh: Vecco Suryahadi
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke.
Pepatah Sunda di atas tetap terpatri dalam pikiran setiap kali mengikuti kegiatan @KomunitasAleut: “Ada masa lalu, ada masa kini, tidak ada masa lalu maka tidak ada pula masa kini.”
Pukul 07:30, kami sudah berkumpul di depan Museum Sribaduga untuk melaksanakan kegiatan ngaleut hari ini, yaitu menelusuri salah satu jejak masa lalu Kota Bandung di kawasan Inhofftank. Seluruh peserta sudah siap dengan perlengkapan masing-masing, buku catatan, pensil, kamera, dan tentunya bekal semangat dalam mencari jejak Inhofftank.
Inhofftank sebetulnya penyesuaian lokal untuk Imhofftank (dengan “m), yaitu istilah bagi suatu instalasi pengolahan air limbah yang dahulu pernah didirikan di sekitar Tegallega. Selama ini jejak yang kami ketahui hanya berupa nama jalan saja. Hari ini kami akan cari jejak fisiknya.
Pukul 08:00, kami mulai memasuki kawasan Imhoftank, mulut jalan Inhoftank terletak di sebelah pintu barat Museum Sribaduga. Belum lama berjalan, kami sudah menemukan banyak selokan yang telah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah. Di beberapa jalur kanal tampak aliran air berwarna hitam pekat. Trotoar sudah tumpang tindih dengan badan jalanan, sampah berserakan di mana-mana.
Di tengah perjalanan akhirnya kami dapat menemukannya, suatu bangunan yang tinggal berupa puing-puing. Sisa bangunan yang diam terhimpit permukiman yang sekarang marak mengepungnya. Berapa lama lagi sisa bangunan ini mampu bertahan?
Puing-puing Inhofftank, sekarang menjadi tempat jemuran warga.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari warga, instalasi Imhofftank ini dulu sangat besar, kira-kira seluas kawasan Inhofftank sekarang. Banyak manfaat yang didapatkan dari keberadaan Imhofftank, mengurangi air limbah, membersihkan air kotor, menghasilkan energi gas untuk menjalankan bis sekolah, sampai membuat pupuk.
Belakangan katanya banyak mahasiswa yang datang ke lokasi puing-puing bangunan ini untuk keperluan studi. Kami juga mendapatkan informasi bahwa di bawah puing-puing ini masih terdapat bangunan bekas kolam penampungan sedalam 11 meter.
Foto bersama di atas Bendung Ranjeng dan Kali Ci Tepus.
Pukul 09:45, kami mengunjungi sebuah pintu air yang terdapat di sekitar sini, yaitu Bendung Ranjeng. Pintu air ini mengatur aliran kali Ci Tepus yang mengalir di bawahnya. Sedih rasanya melihat keadaan pintu air ini, penuh sampah dan tikus. Pintu air ini seperti sedang menunggu kehancurannya sendiri.
Pukul 10:30, kami sudah memasuki Jl. Muarasari yang terletak di sebelah pintu air. Sebelumnya kami dengar kabar dari warga sekitar bahwa di jalan itu terdapat makam seorang Penghulu Bandung tempo dulu. Jabatan Penghulu dulu cukup penting, dialah yang mengurusi semua persoalan masyarakat yang berhubungan dengan keagamaan (Islam).
Dengan membawa rasa penasaran kami susuri jalan Muarasari, dan setelah bertanya ke sana-sini akhirnya ketemu! Di sebuah lokasi yang agak tersembunyi dan sepi, kami temukan makam-makam yang dimaksud.
Makam Penghulu Bandung, R.H. Abd. Rahman.
Ada dua makam yang terlihat menonjol dibanding makam-makam lainnya, masing-masing atas nama R.H. Abd. Rahman dan N.R. Salbiyah. Kuncen makam yang kami temui mengatakan hal yang sama, R.H. Abd. Rahman adalah Penghulu Bandung tempo dulu. Lalu kami membuat beberapa foto untuk dokumentasi @KomunitasAleut.
Pukul 11:00, kami sudah tiba kembali di Museum Sribaduga. Perjalanan menyusuri gang di kawasan Inhofftank cukup membuat lelah, tetapi hati kami senang karena berhasil mendapatkan sejumlah informasi.
Sambil beristirahat, kami mengumpulkan foto-foto dokumentasi yang sudah kami buat selama perjalanan. Tidak lupa juga pada bagian akhir ini kami berbagi cerita pengalaman selama perjalanan.
Kami selalu berharap agar setiap peserta ngaleut selalu mendapatkan manfaat dan informasi baru seputar Kota Bandung. Pengalaman-pengalaman ini nanti akan kami bagikan lagi melalui situs http://www.aleut.wordpress.com untuk seluruh warga Bandung.
Salam.
_____
Foto-foto oleh Budi Yasir, Hani Septia Rahmi, dan Adira Oktaroza.