Oleh : Indra Rha
“Houtmanstraat ?”
Mendengar kata tersebut saya diliputi rasa penasaran. Di mana kawasan itu? Pengumuman @KomunitasAleut menyebutkan akan menjelajah sudut kota dengan nama Houtmanstraat pada hari Minggu, 24 November 2013.
Pagi-pagi saat udara terasa segar dan cerah, saya sudah siap di lokasi berkumpul yang ditentukan, yaitu di halaman PUSDAI. Seperti pada kegiatan-kegiatan ngaleut lainnya, hari ini pun kami mendapatkan banyak teman baru. Kami segera saling berkenalan dan akrab.
Nah.., ternyata inilah dia “Houtmanstraat,” yaitu Jalan Supratman sekarang. Jalan besar dengan suasana teduh karena rindangnya pepohonan. Dalam foto tahun 1920-an ini, Houtmanstraat masih terlihat lenggang dan gersang, belum banyak bangunan ataupun pepohonan. Tapi tentunya udara saat itu lebih dingin karena masih bersih dari polusi.
Secara umum di kawasan ini kami menemukan banyak rumah-rumah villa dari masa Hindia Belanda yang masih berdiri, meskipun rumah-rumah tersebut telah beralih fungsi menjadi tempat usaha seperti toko, café, restoran, hotel, dan kantor usaha lainnya. Jalanan dan trotoar yang rapi membuat para pejalan kaki nyaman berjalan. Tetapi begitu melewati kawasan depan Pussenif ada sedikit hal ganjil ketika melihat trotoar berpaving blok yang seharusnya buat pejalan kaki justru ditumbuhi pohon-pohon besar ditengah-tengahnya, dan pejalan kaki terpaksa memakai jalan tanah yang harusnya buat taman dan pohon.
Pussenif atau Pusat Kesenjataan Infanteri adalah kompleks markas TNI Angkatan Darat yang membawahi pasukan Infanteri atau pasukan pejalan kaki, termasuk di dalamnya Kostrad dan Kopassus. Mereka ini merupakan pasukan terbesar dan tempur utama di TNI AD. Pussenif menempati wilayah yang sangat luas di Jalan Supratman.
Di seberang kawasan Pussenif terdapat sebuah lapangan yang dulu bernama Houtmanplein, kemudian berganti menjadi Lapangan Ci Ujung dan sekarang Lapangan Supratman. Sudah sejak lama lapangan ini dipakai sebagai tempat berolahraga dan salah satu tempat bersosialisasi masyarakat.
Pada saat itu kami melihat kondisi taman sedang ada pembangunan. Di tengah lapangan ada galian dan penanaman pondasi batu untuk mendirikan bangunan. Memang beberapa waktu ini terdengar kabar bahwa lapangan ini akan dijadikan taman bertema Persib dengan konsep taman, lapangan, dan museum sepakbola.
Sedangkan di beberapa sudut lapangan rencananya akan didirikan patung-patung pemain bola legendaris yang pernah memperkuat klub Persib. Sayangnya rencana ini seperti tidak tersosialisasikan dengan baik, terlihat dari bentangan spanduk-spanduk berisi protes dan petisi penolakan pembangunan yang dilakukan.
Dari obrolan dengan warga setempat, kami ketahui bahwa ternyata mereka cemas bila terjadi perubahan fungsi lapangan yang akan menghambat atau malah menghilangkan kegiatan-kegiatan olah raga yang selama ini dilakukan masyarakat di sana.
Dari lapangan ini kami meneruskan perjalanan menyusuri bagian Jalan Supratman sebelah selatan. Di sini kami lihat masih ada beberapa tukang cukur rambut tradisional dengan tempat yang sederhana di DPR atau Di Bawah Pohon Rindang. Tarif sekali potong rambut hanya 5000-7000 rupiah saja. Kebanyakan tukang-tukang cukur ini telah puluhan tahun melakoni profesinya.
Pada waktu Jepang berkuasa, daerah Jalan Supratman termasuk kawasan interniran. Di sini banyak sekali bangunan lama yang dulunya dipergunakan sebagai rumah interniran, seperti Gedung Providentia yang terletak tidak jauh dari jalan raya.
Kompleks pusat aktivitas Biarawati Ursulin ini menempati wilayah yang cukup luas, di dalamnya terdapat sebuah kapel yang didirikan tahun 1933. Selain itu, masih ada bangunan-bangunan lain seperti klinik umum dan sekolah-sekolah mulai dari TK, SD, sampai SMA. Bangunan tertua dalam kompleks ini adalah SMP Ursula yang didirikan tahun 1927.
Kami mengelilingi lingkar luar kompleks Ursulin ini sampai ke bagian belakangnya di Jalan Bengawan. Di pinggir jalan, saya menemukan sebuah pohon yang sangat jarang ditemui di sini, yaitu pohon Matoa. Pohon ini adalah tanaman buah khas Papua. Wow.., saya sangat senang dan penasaran dengan buahnya yang konon rasanya seperti gabungan buah rambutan, lengkeng, dan duren! Saya lihat banyak buahnya yang masih mentah, berwarna hijau. Sayang sekali belum ada yang matang untuk dicoba, tapi saya berniat datang lagi minggu depan untuk melihatnya :-D.
Perjalanan Aleut! kami teruskan melewati beberapa taman lain, termasuk kawasan penjual tanaman hias yang dikelola oleh Koperasi dan Yayasan Bandung Berhiber. Akhirnya kami sampai di Taman Cibeunying, sebuah taman hasil revitalisasi yang terawat dengan baik. Di sini kami beristirahat, bertukar cerita, dan berdiskusi mengenai pengalaman barusan seputar Houtmanstraat dan sekelilingnya.
Salah satu diskusi kami membahas asal usul nama Houtman ini. Siapakah dia? Apakah Cornelis de Houtman, sang pionir Belanda yang datang ke wilayah Indonesia, atau mungkinkah dia Suzanne Houtman, dokter pertama dan orang Eurasia pertama yang kuliah kedokteran di Amsterdam, yang menikahi Sam Ratulangie dan tinggal di Bandung? Ataukah masih ada Houtman lainnya? Kami masih belum mendapat jawaban yang pasti…