Oleh: Ridwan Hutagalung
RAA Martanagara (1845-1926) adalah Bupati Bandung periode 1893-1918. Karena bukan berasal dari trah Bandung, maka ia mendapat julukan Dalem Panyelang.
27 Juni 1893, seorang Patih yang bertugas di Afdeling Sukapura Kolot diangkat menjadi Bupati Bandung yang kesepuluh, Raden Adipati Aria Martanagara. Ia menggantikan Bupati Bandung kesembilan, Raden Adipati Kusumadilaga, yang wafat dua bulan sebelumnya.
Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena RAA Martanagara bukanlah seorang berdarah Bandung. Selain itu, Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara yang sudah bertugas menggantikan pekerjaan bupati sehari-hari juga merasa kecewa dan marah karena beranggapan telah terjadi penyerobotan hak dalam meneruskan kepemimpinan di Kabupaten Bandung. Raden Rangga Somanagara adalah menantu Bupati Bandung Wiranatakusuma IV atau Dalem Bintang.
Raden Rangga Somanagara merasa seharusnya dialah yang menggantikan Kusumadilaga sebagai Bupati Bandung. Kekecewaan membuat kalap. Somanagara dibantu beberapa kroninya melakukan beberapa percobaan pembunuhan, baik terhadap bupati yang baru maupun pejabat-pejabat Belanda di Bandung.
Upaya pembunuhan dengan peledakan menggunakan dinamit ini berhasil digagalkan oleh polisi Hindia Belanda saat itu. Para perusuh langsung dibuang ke beberapa daerah di luar Pulau Jawa. Tetapi Martanagara tidak lantas merasa tenang karena pembuangan ini. Ia menyiapkan pasukan Sumedang di daerah Soreang. Pergaulan dengan kalangan menak Bandung dipererat dengan mendirikan Parukunan di depan Pendopo Kabupaten. Secara rutin Martanagara mengadakan kegiatan hiburan di Parukunan dan mengundang segenap menak Bandung untuk hadir. Dengan begitu, Martanagara mendekatkan dirinya kepada kalangan menak Bandung.
Martanagara segera menunjukkan kemampuan dan pengabdiannya sebagai bupati dengan melaksanakan banyak pekerjaan dalam mengembangkan Kabupaten Bandung. Pada tahun pertama kepemimpinannya, Martanagara mengganti atap-atap rumah penduduk yang menggunakan bahan ilalang dengan genting.
Rumah-rumah di Bandung pada akhir abad ke-19 memang kebanyakan masih berdinding bilik dengan atap ilalang, hanya sekitar 25% saja yang sudah menggunakan tembok dan genting. Martanagara mendatangkan beberapa ahli pembuat bata dan genting dari luar Bandung untuk melatih penduduk agar mampu membuat genting sendiri.
Mulut Jl. Merdekalio dari arah Jl. Pajajaran. Foto @mooibandoeng.
Salah satu pusat pembuatan genting dan bata itu berada di wilayah Balubur Hilir yang kemudian bernama Merdika Lio, sesuai dengan aktivitas di sana. Lio adalah tempat pembakaran untuk membuat genting atau bata, sedangkan “merdika” atau “merdeka” adalah status para pekerja di lio tersebut yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Dengan begitu, nama jalan Merdeka yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda menjadi jelas tidak mengacu pada kemerdekaan RI, melainkan kepada nama kawasan permukiman masyarakat pembuat genting ini. Sebuah jalan baru di sebelah barat Merdikaweg pun diberi nama Nieuw Merdika, belakangan diganti menjadi Burgermeesterkuhrweg, dan sekarang Jl. Purnawarman.
Sebetulnya lokasi pembuatan bata dan genting di Bandung tidak hanya berada di Merdika Lio, tapi ada juga di lokasi lainnya. Sila tebak :-))
Martanagara juga mendorong penduduk Bandung untuk melakukan penanaman singkong secara intensif. Banyak kebun dibuka di wilayah Bandung. Beberapa sisa rawa ditimbun tanah dan dijadikan area perkebunan, sawah, atau kolam ikan. Ingat nama Situ Saeur? Nah itu juga salah satu hasil karya Martanagara. Ia menimbun (disaeur) bekas danau dengan tanah agar dapat dijadikan lahan garapan.
Ia juga membangun beberapa jembatan yang melintasi Ci tarum, mulai dari Cihea, Sapan, sampai Majalaya, dan membuat selokan-selokan serta jaringan irigasi di Gunung Halu (Solokan Dalem).
Di tengah kota Bandung, Martanagara mengerahkan penduduk Lebak Gede untuk membuat jaringan kanal dengan memanfaatkan aliran air dari sungai Ci Kapundung. Pada satu titik di sekitar Lebak Gede, dibuat satu saluran baru ke arah timur sebagai jalan utama kanal menuju kawasan tengah kota. Aliran baru ini kelak dikenali sebagai sungai Ci Kapayang.
Sungai baru ini bermula dari aliran Ci Kapundung dan akan bermuara di beberapa tempat lain, di antaranya kembali ke Ci Kapundung seperti di sekitar Lengkong Tengah (Jl. Sasak Gantung). Muara lainnya dapat ditemui di aliran Ci Kapundung Kolot (dua aliran), dan di aliran Ci Hapit di sekitar Taman Cilaki.
Aliran Ci Kapayang dibuat agar dapat mengairi area kebun singkong penduduk dan sejumlah taman yang berada di tengah kota, di antaranya Taman Balaikota (Pieterspark), Taman Maluku (Molukkenpark), dan Taman Cilaki (Tjilakiplein).
Pada aliran Ci Kapundung yang menjadi mulut kanal, dibuat bendungan untuk menaikkan permukaan air agar dapat mengisi kanal, untuk mengatur alirannya dibangun sebuah pintu air. Kanal mengalir ke wilayah Sabuga (Sasana Budaya Ganesha) lalu berbelok ke arah selatan melewati bagian belakang kompleks Kebun Binatang Bandung. Aliran di sepanjang kawasan ini dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi kebun, membuat kolam (pemancingan) ikan.
Pada bagian kanal yang mengalir di bawah tanah, dibuat juga bak-bak pemantau kelancaran aliran. Dari sekitar Pelesiran, kanal mengarah ke dua jurusan, yang satu kembali ke Ci Kapundung, satu lagi mengarah ke belakang Rektorat ITB (Jl. Tamansari 64). Di sini kanal Ci Kapayang mulai bercabang-cabang.
Dengan berjalan kaki menyusuri aliran Ci Kapayang, kita dapat melihat bahwa seantero kota Bandung ini dihubungkan juga oleh kanal-kanal yang berukuran lebih kecil (selokan), ada yang bermuara di Ci Kapayang, ada juga yang memulai alirannya dari Ci Kapayang. Ukuran kanal-kanal ini umumnya cukup besar dan memberi petunjuk besarnya aliran air yang datang dari ketinggian Bandung ke daerah-daerah yang lebih rendah.
Dalam dua kali penyusuran aliran Ci Kapayang di tengah kota, ada beberapa hal menarik yang ditemui. Yang paling jelas adalah bertambahnya fungsi kanal Ci Kapayang sebagi penampung limbah rumah tangga. Dengan mudahnya dapat kita temui saluran-saluran pembuangan dari rumah-rumah yang langsung mengarah ke kanal. Air kotor dari toilet, cucian, buangan oli, deterjen, semua bergabung di kanal Ci Kapayang dan terbawa berkeliling kota.
Di kawasan sehijau Taman Cilaki saja serakan sampah hasil kerukan bertumpuk di tepi saluran, masih ditambah pula dengan sampah-sampah baru hasil karya para pengunjung taman. Jajaran warung yang padat di kedua sisi luar taman ini dari mana mendapat air bersih? Ke mana mereka membuang air kotornya?
Taman kota seharusnya menyediakan kesegaran bagi para pengunjungnya. Sayang sekali pengunjung Taman Cilaki tidak mendukung fungsi ini, sebagian dengan santainya merusak fungsi taman ini. Bayangkan bila taman dengan jalur kali di tengahnya itu bersih, bakal sangat menyenangkan menikmati pemandangan aliran air bersih di sini. Atau mungkin seperti zaman para penjajah dulu, dengan riang dan tanpa takut orang bisa turun main air bersih di kali.
Coba lihat muara Ci Kapayang di sekitar Sasakgantung. Memandangnya saja bikin ngeri, bagaimana pula mau bermain di sana? Biarpun begitu, kelompok masyarakat yang tidak punya pilihan, terpaksa melakukannya juga, bermain air kotor dan menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga.
Kanal di lingkar luar kompleks Balaikota Bandung. Foto Nia Janiar.
Ini cerita Ibu Nunu, warga Gg. Rathkamp yang sudah lama tinggal di daerah tepi kanal Ci Kapayang. Katanya, pada masa kecilnya kali Ci Kapayang itu sangat jernih airnya, biasa dipakai untuk mandi dan mencuci, berbeda sekali dengan kondisi sekarang yang kotor dan berbau. Bahkan pada musim hujan saat aliran air sedang tinggi, rembesan air bisa muncul dari bawah ubin dan menggenangi lantai rumahnya.
Sepertinya pipa-pipa saluran pembuangan yang diarahkan ke Ci Kapayang tak mampu menembus aliran, malah sebaliknya, pipa-pipa itu menjadi jalan masuk air dari Ci Kapayang ke rumah-rumah dan mengakibatkan rembesan yang muncul dari bawah ubin.
Di sisi lain, bila Ibu Nunu dan masyarakat sekitar tidak membuang limbah ke aliran Ci Kapayang, lalu ke mana mereka akan membuangnya? Apakah apakah ada saluran alternatifnya? Dalam program ngaleut mendatang, kami akan coba menelusuri tentang masalah ini.
_____________________________________
Hasil catatan bersama Komunitas Aleut
Pengumpul Data dan Foto
Ariyono Wahyu
Arya Vidya Utama
Gilang Purnama
Hani Septia Rahmi
Hani Septia Rahmi
Irmayanti
Nia Janiar
Nunis Rezia Mustika
Ridwan Hutagalung
Sherly Marcelina
Sita Ariana Pangestu
Vecco Suryahadi
Yane Kristina
Penulis
Ridwan Hutagalung – Komunitas Aleut
November, 2013
Reblogged this on beybillybalabala.
Ping balik: Ngaleut Ci Kapayang 10.11.13 | rarofficial's Site