Apresiasi Film “Le Grand Voyage”

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)

 Siang ini Aleutians nggak jalan-jalan menyusuri Kota Bandung. Kali ini kita menyusuri kehidupan (tsaaahh) melalui apresiasi film. Ya, Le Grand Voyage adalah film yang dipilih untuk menghabiskan waktu sambil menunggu info adzan Maghrib di timeline Twitter (ha..ha.. generasi zaman sekarang..)

Berikut profil singkat Le Grand Voyage

Directed by Ismaël Ferroukhi
Produced by Humbert Balsan
Written by Ismaël Ferroukhi
Starring Nicolas Cazalé,
Mohamed Majd
Distributed by Pyramide Distribution
Release date(s) September 7, 2004
Running time 108 minutes

Le Grand Voyage adalah sebuah film berbahasa Perancis tentang perjalan seorang ayah dan anaknya menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Film ini diawali dengan kesibukan sang anak, Reda, yang tengah memperbaiki sebuah mobil. Setibanya di rumah ia mendapat kabar bahwa ia harus menggantikan kakaknya menyupiri sang ayah ke Mekah. Hal ini karena kakaknya, Khalid, ugal-ugalan di jalan sehingga SIM nya dicabut. Jadilah dengan berat hati ia menemani sang ayah menempuh perjalanan tersebut.

Berangkat dari Perancis, perjalanan sejauh 5.000 km itu pun menjadi sebuah perjalanan panjang dengan banyak ibrah (hikmah). Namun jangan salah, meskipun membahas mengenai perjalanan haji ayah Reda, namun dimensi keislaman dalam film ini tidaklah menjadi hal yang paling ditonjolkan. Film ini mengangkat Islam dari sudut pandang yang berbeda.

Ayah Reda adalah seorang muslim Maroko yang telah tinggal di Perancis selama 30 tahun. Reda sendiri lahir di Perancis. Maka dalam film ini akan terlihat bagaimana sang ayah tidak memaksa anaknya untuk shalat seperti yang sering kita temui di budaya ketimuran. Sepanjang film, setiap kali sang ayah shalat maka Reda nampak hanya memandangi saja, tidak ikut shalat dan tidak diajak pula oleh sang ayah. Kepergiannya ke Mekah pun benar-benar hanya mengantar, tidak ada sedikitpun niat untuk sekalian ikut berhaji bersama ayahnya.

Perjalanan 5.000 km tersebut sering diwarnai ketegangan. Dalam konflik yang ditampilkan di film ini kita akan menemukan tentang perbedaan generasi tua dan generasi muda. Dimulai dari cara mereka menikmati perjalanan, sang ayah memandang perjalanan ini sebagai bagian dari ibadahnya, sedangkan sang anak ingin menjadikan perjalanan ini sebagai sebuah pesiar atau jalan-jalan. Selain itu Reda yang sejak awal memang tidak dengan ikhlas mengantar sang ayah pun menjadi gampang emosi. Perjalanan ini memberinya rasa tertekan. Reda pun sempat marah pada sang ayah saat mengetahui bahwa ayahnya telah membuang telepon selular miliknya ke dalam tempat sampah.

Ketegangan kembali terjadi saat mereka sempat nyasar dan memiliki pandangan masing-masing tentang arah jalan yang harus mereka tempuh. Reda lebih banyak menggunakan kemampuan membacanya dan menggunakan petunjuk peta sedangkan sang ayah mengikuti petunjuk alam yang bisa dibacanya. Kemudian di tengah jalan mereka pun mendapat “penumpang khusus” yakni seorang wanita bisu yang membantu mereka menemukan jalan ke Beograd. Namun Reda tak menyukai kehadiran wanita tersebut, hal ini memunculkan perdebatan di antara ayah dan anak tersebut.

Setelah meninggalkan wanita bisu tersebut di sebuah penginapan, Reda dan ayahnya kembali melanjutkan perjalanan, namun ternyata mereka terjebak hujan salju saat menuju kota Sofia. Saat menunggu hujan salju reda, Reda kembali bertanya pada ayahnya tentang mengapa mereka harus menempuh perjalanan ini jika bisa menempuhnya dengan pesawat terbang? Dan inilah jawaban sang ayah,

“Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar. Itulah sebabnya, lebih baik naik haji berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat.”

Jika kita mau memahami lebih jauh kalimat ini maka banyak pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya. Hal ini kita bahas di akhir tulisan ini saja.

Di lain waktu mereka kembali mendapat penumpang tambahan yakni seorang pria asal Turki bernama Mustapha. Pria itu membantu mereka menyelesaikan masalah saat pemeriksaan paspor ketika akan memasuki Turki. Setelah mengetahui niat mereka untuk naik haji, Mustapha mengajak dirinya sendiri untuk ikut dalam perjalanan itu. Ayah Reda tidak menyukainya meskipun Reda sendiri sangat menyukai pria tersebut. Ternyata penilaian sang ayah tidak salah. Musthapa memang memiliki maksud buruk. Musthapa membawa lari uang yang mereka siapkan di perjalanan.

Ketegangan ini menyurut saat mereka semakin dekat dengan kota Mekah. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan yang juga melakukan perjalanan darat menuju tanah suci ummat Muslim tersebut. Rombongan itu berasal dari berbagai negara ada yang dari Mesir, Lebanon, Sudan maupun Suriah. Dalam moment ini terlihat bagaimana umat Muslim merasa bersaudara meski pun mereka berasal dari negeri yang berbeda (terutama mengingat mereka memiliki tujuan yang sama yakni menunaikan ibadah haji).

Dalam seluruh rangkaian dalam film ini kita menemukan banyak hikmah diantaranya bahwa sebenarnya dalam hidup ini yang paling penting adalah proses bukan hasilnya. Manusia jika disibukkan hanya pada hasil atau tujuan akhir saja dan melupakan prosesnya, maka kita tidak akan bisa mengambil hikmah apapun dan belajar dari proses itu. Proses inilah yang akan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik.

Dalam film ini ada moment di mana sang ayah berkata kepada Reda, “Kamu bisa membaca dan menulis, tapi kamu buta dalam membaca kehidupan”. Inilah salah satu pelajaran yang bisa diambil oleh generasi muda dari generasi tua. Generasi masa kini cenderung lebih menyukai kepraktisan dan kadang lupa menikmati dan belajar dari proses yang ditempuh saat berusaha meraih tujuan. (saya sendiri pun masih harus belajar banyak tentang hal ini (^_^)v)

Selain itu film ini juga menarik karena ada sedikit kontradiksi antara sikap sang ayah yang cenderung tidak ingin dibantah dan sikap tolerannya saat anaknya memilih untuk tidak ikut shalat seperti dirinya. Ini mungkin lebih ke budaya. Bagi orang Indonesia dan budaya ketimuran, agama seorang anak menjadi hal yang bisa dicampuri oleh orang tua. Orang tua dianggap berhak menentukan sikap anaknya dalam beribadah. Namun bagi budaya barat, hal terkait agama itu menjadi hak privat yang tidak bisa dicampuri bahkan oleh orang tuanya.

Ya, film ini menjadi film yang menarik untuk ditonton sambil ngabuburit. Kita mungkin bisa sekalian memaknai bahwa puasa yang kita (umat muslim) jalani tidak semata-mata menunggu bedug maghrib melainkan proses yang kita alami di antara adzan subuh hingga adzan maghrib. Proses saat merasakan lapar dan haus yang dirasakan oleh mereka yang terpaksa berpuasa karena tidak punya uang untuk membeli makanan, sehingga kita bisa belajar lebih banyak tentang berempati.

Puasa yang kita jalani seperti sebuah proses pemurnian yang dialami oleh air laut sebelum turun menjadi hujan. Tinggal bagaimana kita menjalani dan belajar dari proses itu. Ya, hari ini sekian isi kepala saya yang berhasil “diaduk” dalam Kinealeut hari ini. Semoga besok-besok bisa tetap belajar lebih banyak lagi.

Sumber :

http://en.wikipedia.org/wiki/Le_Grand_Voyage

Dimuat juga di :

http://www.filosofilandak.blogspot.com/2013/07/apresiasi-film-le-grand-voyage.html

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s