Oleh : Indra Pratama
Bandung, 21 Juni 1916, Nationaal Congres pertama dari Centrale Sarekat Islam dibuka oleh Tjokroaminoto. Dari rangkaian kata yang disusun, lembek, tiada kesan revolusioner terdengar, yang bisa memerahkan telinga para polisi di luar. Namun bagi para peserta kongres, kata-kata beliau menyiratkan sebuah hal sebuah harapan besar : pemerintahan sendiri.
“Tidak sekali-kali kita hendak berseru : Hilangkan Gubernemen!. Sebaliknja! kita berkata : Disamping Gubernemen, beserta Gubernemen dan guna menundjang maksud Gubernemen, kita hendak membenarkan haluan kearah jang baik.” . “Tapi meskipun bagaimana, rakjat harus bekerdja sendiri untuk menetapkan nasib peruntungannya.”
Oleh itu Tjokro mengajukan gagasan yang cukup radikal saat itu : pemerintahan sendiri, pembangunan Dewan Djajahan, sidang wakil-wakil rakyat, dewan-dewan daerah, serta hak pilih bagi rakyat. Kondisi saat itu tidak ada anggota bumiputera dalam Sidang Dewan Daerah, satu-satunya saluran parlementer, kecuali regent yang merupakan para priyayi pribumi, sedang hak pilih bagi dewan tersebut pun pun hanya terdapat pada masyarakat Eropa saja. Bayangkan betapa radikalnya ide tersebut waktu itu.
Ide Tjokro tersebut masih merupakan angan dari para pelaku pergerakan lainnya, namun siapa sangka, pada tanggal 16 Desember 1916, Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, menetapkan undang-undang berdirinya Volksraad, sebuah dewan perwakilan rakyat. Angin segar seakan berhembus kepada kaum pergerakan, terutama mereka yang mengusung jalur kooperatif. Namun harapan itu harus tertunda sekitar setahun lamanya, maklum saja, undang-undang itu hanyalah basa-basi belaka, tidak ada maksud pemerintah untuk menyeriusinya.
Namun keinginan kuat kaum pergerakan berhasil memaksakan berdirinya Panitia Nasional (Nationaal Comite)pada 1 Agustus 1917, yang berusaha menyeriusi perumuskan Volksraad, dan lebih jauh lagi, undang-undang mekanisme pemilihan anggota dewan. Panitia ini terdiri dari tokoh-tokoh Sarekat Islam, Budi Utomo, dan perhimpunan-perhimpunan lain. Didalam perumusan ini juga menetapkan Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis sebagai kandidat anggota Volksraad kelak.
Akhirnya sidang pertama Volksraad diselenggarakan tanggal 18 Mei 1918. Dengan komposisi anggota 39 orang, dimana 15 orang mewakili golongan pribumi (10 orang melalui pemilihan dan 5 orang diangkat pemerintah) dan 23 orang ( 9 orang dipilih dan 14 orang diangkat) mewakili golongan Eropa dan Timur Asing serta satu orang ketua sidang yang dipilih langsung oleh Kerajaan Belanda. Kondisi komposisi Volksraad diakui oleh Limburg Stirum secara pribadi dalam pidato pembukaannya, belumlah sempurna, dan akan ia coba tambah komposisinya. Terlihat bahwa secara personal, Limburg Stirum menyukai ide parlemen ini. [1] Dengan surat keputusan Baginda Raja tanggal 11 Oktober 1920, jumlah anggota anggota Volksraad bertambah lagi menjadi total 49 orang. Dengan rincian 20 orang pribumi (12 dipilih dan 8 diangkat), dan 28 bangsa Eropa dan Timur Jauh.
Gedung Volksraad di Pejambon
Beberapa anggota awal Volksraad
Sejak awal berdirinya Volksraad, anggota-anggota pribumi menempatkan diri sebagai golongan oposisi, namun menjadi pihak yang dominan.[2] Berbagai ide dan gagasan yang menjadi uneg-uneg kaum pribumi terlontar dari para anggota. Namun pada awalnya mereka belumlah tampil sebagai satu kesatuan, meskipun secara formal tergabung dalam Fraksi Indonesia. Masih ada pertentangan internal fraksi, terutama menyangkut kepentingan golongan, etnis, dan agama.[3]
Pandangan Limburg Stirum yang secara pribadi pro Volksraad, menjadi bumerang bagi kedudukannya. Kaum konservatif di Tweede Kamer Belanda, yang dikepalai oleh Mr.D.Fock, mencela kebijakan-kebijakan pro parlemen dari Limburg Stirum, menganggap bahwa Limburg Stirum telah memberi jalan bagi para “pengacau” kedudukan kolonial. Pendapat itu ternyata mampu menggoyangkan kedudukan Limburg Stirum sebagai gubernur jenderal, maka tahun 1921, berakhirlah jabatan Limburg Stirum sebagai gubernur jenderal, dan dirinya secara tidak mengejutkan diganti oleh Mr.D.Fock.
Awal pemerintahan D.Fock merupakan kondisi sulit bagi pemerintah kolonial. Gerakan pemogokan pekerja yang dibidani tokoh-tokoh komunis seperti Sneevliet, Sosrokardono dan Semaoen beberapa tahun ke belakang telah menjadi sebuah gerakan yang besar di tahun 1921. Fock mencoba menggunakan dan menekan Volksraad untuk menyudahi aksi pemogokan, dengan ancaman bahwa setiap pemogokan yang bermotifkan aksi politik (non-ekonomi) akan langsung dilibas oleh pemerintah.
Volksraad ternyata pada zaman D.Fock masih merupakan parlemen basa-basi, Volksraad hanya ditujukan sebagai penasihat pemerintah, sedangkan proses pembuatan undang-undang tetap dipegang gubernur jenderal bersama dengan dengan Raad van Indie.[4] Tahun 1925 lewat peraturan pemerintah Volksraad diberi kewajiban dan hak legislatif ; bersama gubernur jenderal merancang kebijakan, mengamandemen atau menolak rancangan undang-undang dari gubernur jenderal, serta memiliki hak interpelasi dan hak pengajuan petisi.
Gedung Raad van Indie, juga di Pejambon
Pergerakan nasional di Volksraad baru terlihat nyata pada masa Gubernur Jenderal Jhr. Andries Cornelis Dirk de Graeff yang memerintah mulai tahun 1926. Segala tekanan dan intervensi pada masa D.Fock menjadi sebuah ujian yang mampu mempersatukan kaum pergerakan pribumi di Volksraad. Tahu 1929 keanggotaan kaum pribumi di Volksraad meningkat menjadi 30 orang dari total 60 anggota. Memanfaatkan momentum ini, pada tahun 1930 kaum pergerakan membentuk sebuah fraksi di Volksraad yang berhaluan nasionalisme bernama Fraksi Nasional. Fraksi ini bisa disebut simbol pergerakan nasionalisme pertama kali bersatu di Volksraad. Fraksi ini diketuai oleh Moh.Hoesni Thamrin, dan beranggotakan antara lain Oetojo, Dwidjoseno, Datoek kajo, Mochtar, Nja’ Arif, Soeankoepon, Pangeran Ali, Soeradi dan Soeroso. Kelompok ini bertentangan kuat dengan Fraksi Vaderlandse Club, yang beranggotakan orang-orang Belanda pro kolonial.
Suasana sidang Volksraad, ada yang ngantuk gak ya?
Mulai inilah Volksraad sebagai corong perjuangan menuju Indonesia merdeka mulai membara. Gerakan-gerakan makin radikal. Para anggota pribumi lain mulai mengkuti langkah bersejarah Jahja Datoek Kajo, yang sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad selalu menggunakan bahasa Indonesia, bahasa persatuan menurut Kongres Pemuda ke II tahun 1928. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar “Jago Bahasa Indonesia di Volksraad“.
Jahja Datuk Kajo
Pada tahun 1936 Fraksi Nasional kembali membuat ulah yang menggemaskan hati Gubernur Jenderal saat itu De Jonge. Saat itu dunia sedang dilanda kelesuan ekonomi, yang dikenal dengan Zaman Malaise. De Jonge membuat kebijakan yang membuat susah kaum pekerja untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan. Kebijakan ini terang saja memicu reaksi keras Fraksi Nasional. Para pemuka fraksi seperti Soetardjo, Dr.Ratulangie, Dr.Moelia, Oto Iskandar di Nata, Hoesni Thamrin dan Soeroso mencela kebijakan tersebut, dimana kaum pekerja kebanyakan adalah orang pribumi, golongan yang mereka wakili. Namun kali ini reaksi ini berhasil dipatahkan oleh pemerintah.
Masih di tahun yang sama pergerakan untuk memaksakan pemerintahan dan parlemen sendiri untuk Hindia Belanda makin keras. Segala macam keabaian pemerintah terhadap nasib pribumi mendorong Soetardjo untuk membuat sebuah petisi, yang dikenal sebagai Petisi Soetardjo, yang meminta pemerintah Belanda membuatkan suatu konperensi yang beranggotakan kaum pribumi dan Belanda yang sama kedudukannya, yang mengusahakan rancangan Indonesia merdeka. Petisi ini berhasil disepakati di tingkat nasional dengan suara 26 dari 36 anggota Volksraad yang hadir. Namun usulan ini ditolak oleh Den Haag, dan kembali upaya untuk merdeka kandas. Namun di kemudian hari, terkuaklah fakta bahwa dalam petisi itu tidak disokong oleh perundingan dan konsolidasi yang mantap, sebuah pelajaran bagi anggota fraksi.
Sutarjdo Kartohadikusumo
Pihak pemerintah rupanya menganggap Volksraad sudah berubah menjadi sebuah ancaman politis. Sikap-sikap Fraksi Nasional dirasa makin mengganggu kebijakan-kebijakan pro kolonial. Ditambah ancaman Perang Dunia II yang mulai berkecamuk, membuat pemerintah menginginkan sebuah ketertiban internal, dengan sebisa mungkin membungkam Fraksi Nasional. Upaya pertama adalah ketika pada tahun 1940 ada paksaan dari pemerintah untuk memberikan hak Volksraad untuk mengamandemen anggaran belanja pemerintah kepada College van Gedelegeerden (Dewan Perutusan). Paksaan tersebut ternyata berujung pada rencana pemerintah untuk memperkuat angkatan lautnya untuk menghadapi perang. Sedangkan kaum nasionalis menganggap bahwa terlibat dalam peperangan bukanlah sesuatu yang berharga.
Upaya membungkam Volksraad juga mulai dilakukan secara kasar. Pengekangan terhadap pers dan gerakan-gerakan nasionalisme berujung pada penggeledahan rumah para aktivis secara keras. Januari 1941 dilakukan penggeledahan terhadap rumah Hoesni Thamrin. Penggeledahan ini diikuti dengan penawanan terhadap Thamrin, yang saat itu sedang sakit keras. Pada hari ketiga penahanannya, Mohammad Hoesni Thamrin meninggal dunia. Pernyataan resmi pemerintah menyatakan Thamrin bunuh diri, namun rekan-rekan aktivis yakin bahwa ia dibunuh di penjara.[5]
M.Husni Thamrin bersama istri
Tekanan terhadap Fraksi Nasional makin berat setelah pada Juni 1941 keluar suatu rencana undang-undang tentang kewajiban milis bagi penduduk pribumi non-Belanda (Dienstplitch ordonnantie voor onderdanen niet-Nederlanders). Pemerintah berdalih sudah waktunya para penduduk pribumi untuk turut berperan membela tanah airnya dari bencana. Tentunya bukan peran pembelaan tanah air seperti itu yang dikehendaki kaum nasionalis. Oto Iskandar di Nata si Jalak Harupat pun turun membela kepentingan rakyat pribumi dengan pidato-pidato yang pedas, namun tidak berhasil membatalkan rencana penuh tekanan ini.[6]
Oto Iskandar di Nata
Hingga pada akhirnya Hindia Belanda direbut Jepang tahun 1942, para politisi nasionalis ini teguh berjuang di Volksraad, bagaimanapun tekanan yang mereka dapat dari pemerintah kolonial. Dan gaya politik kooperasi mereka di zaman Jepang dan zaman Revolusi diikuti oleh para pemimpin pergerakan non kooperasi di zaman Belanda, seperti yang dilakukan Soekarno dan Hatta.
Banyak yang menyatakan mereka yang berjuang di jalur diplomasi dan kooperasi ini sebagai mereka yang pengecut. Namun jalur apapun memiliki peran yang sama besar dalam pergerakan, dan tidak boleh dihilangkan dalam sejarah bangsa.
Catatan Kaki
[1] Tatacara pemilihan anggota Volksraad bisa dilihat di http://www.dpr-ri.org/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=55&Itemid=59
[2] Stokvis, J.E. 1918. De Taak (article).
[3] Mangoenkoesoemo, Tjipto. De Indier (article).
[4] Sebuah badan penasihat untuk pemerintah Hindia Belanda, terdiri dari seorang asisten gubernur jenderal dan empat orang anggota, tahun 1928 komposisi anggotanya ditambah lagi satu orang asisten gubernur dan dua orang anggota, ketiganya harus seorang pribumi. Hingga 1925 berfungsi sebagai pembuat undang-undang bersama gubernur jenderal, setelah itu hanya menjadi penasihat gubernur jenderal, yang membuat undang-undang bersama Volksraad.
[5] Cici Asiya Ilyas. 2011. Hari-Hari terakhir Husni Thamrin (resensi buku). http://cintebetawi.blogspot.com
[6] Koch, D.M.G. 1951. Menudju Kemerdekaan. Jajasan Pembangunan Djakarta
Mencerahkan