Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Deuis Raniarti.
Karel Albert Rudolf Bosscha datang ke Pulau Jawa pada tahun 1887. Awalnya ia datang untuk membantu pamannya, Kerkhoven, mengelola perkebunan Sinagar, namun pada akhirnya ia mengelola perkebunan miliknya sendiri di Pangalengan. Setelah menuai kesuksesan, Bosscha dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Berbagai sumbangannya terus dikenang dan manfaatnya bisa dirasakan hingga sekarang. Salah satu jasanya dalam bidang pendidikan adalah pendirian Vervoloog Malabar, yaitu sekolah untuk kaum pribumi, khususnya anak para pekerja perkebunan Malabar. Sekolah ini didirikan di tengah Perkebunan Teh Malabar pada tahun 1901.

Pada hari Sabtu lalu, 24 Oktober 2020, saya dan beberapa kawan dari Komunitas Aleut momotoran ke Pangalengan hingga Ciwidey, momotoran ini adalah kelanjutan dari kegiatan “Belajar Menulis”. Seluruh peserta diberi tugas membuat catatan dan liputan tentang berbagai hal yang ditemui dalam perjalanan, seperti sejarah kina dan Kebun Cinyiruan, Kebun Teh di Malabar dan Pasirmalang, tokoh-tokoh seperti KAR Bosscha atau FW Junghuhn, sampai ke pengenalan kawasan-kawasan perkebunan di sekitar Pangalengan-Ciwidey. Dalam tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika berkunjung ke Vervoloog Malabar.
Kami tiba pukul 12 siang saat cuaca sedang mendung, malah tak berapa lama setelah kami memarkirkan motor, hujan pun turun. Kami bergegas menuju pelataran bangunan sekolah. Bekal nasi dan lauk yang kami beli dari sebuah warung nasi di gerbang masuk Malabar, menemani kami saling bertukar cerita tentang pengalaman momotoran yang baru setengah jalan. Sementara itu, hujan mulai reda, berganti kabut yang datang menghampiri.

Setelah selesai makan dan bercerita tentang kesan perjalanan Momotoran Pangalengan, kami berpencar melihat keadaan di sekitar Sekolah. Entah kapan Vervoloog Malabar ini berganti nama menjadi SD Malabar. Bangunan Sekolah yang bisa kita lihat sekarang ini bukanlah bangunan aslinya, melainkan replika dari bangunan lamanya. Bangunan asli dari sekolah ini hancur ketika Pangalengan dilanda gempa bumi besar beberapa tahun lalu. Sekarang, bangunan sekolah ini sudah tidak digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar, karena telah didirikan bangunan sekolah baru tepat di belakang bangunan ini.


Berada di tengah perkebunan teh menjadikan suasana di sekitar sekolah ini terasa sejuk ditemani pemandangan yang indah. Pada sisi kanan sekolah, kita bisa melihat tiga gunung yang berdekatan, ketiga gunung itu adalah Gunung Windu, Gunung Wayang, dan Gunung Bedil.
Saya beranjak dari bangunan lama untuk melihat bangunan sekolah yang baru. Sekolah ini bernama SDN Malabar 04. Ketika saya tiba di depan sekolah, tidak terlihat ada kegiatan belajar-mengajar. SDN Malabar 04 mengikuti aturan pemerintah agar pada masa pandemi ini melakukan kegiatan sekolah dari rumah. Tak heran saat ini tak ada seorang siswa pun terlihat di lingkungan sekolah.

Sebenarnya, sebelum perjalanan hari ini, saya sudah mencoba mencari beberapa sumber bacaan tentang Vervoloog Malabar, namun informasi yang saya dapatkan sangat minim. Kebetulan saat saya datang ke SDN Malabar 04 sedang ada Pak Heri. Beliau mengaku bertugas sebagai Pembantu Umum yang kadang-kadang juga mengajar PJOK di situ. Dari Pak Heri saya mendapatkan sedikit informasi tambahan, di antaranya tata letak hingga fungsi bangunan Vervoloog Malabar di masa lalu.
Dari penuturan Pak Heri, bangunan Vervoloog Malabar yang kondisinya saat ini terlihat mengenaskan kadang masih digunakan, walaupun hanya untuk rapat atau bila ada kegiatan tertentu saja. Bangunan ini memang sudah beberapa kali mengalami renovasi akibat rusak karena bencana alam.

Seingat Pak Heri, bangunan lama dari Vervoloog Malabar terdiri dari enam kelas, ditambah satu Ruang Guru dan satu Ruang Serbaguna. Saat ini yang tersisa hanya tiga ruangan saja. Bangunan ini tidak langsung menyentuh tanah, melainkan dengan konsep panggung. Terlihat ada beberapa batu penyangga bangunan di bagian bawahnya. Konstruksi penyangga bangunan masih menggunakan material yang asli, namun bagian bilik dan atapnya sudah diganti dengan yang baru.
Sambil bercerita, Pak Heri mengingat-ngingat bentuk asli sambil memetakan lokasi ruangan-ruangan Vervoloog Malabar pada zaman dulu. Bangunan lama membentuk persegi. Ada ruang kelas yang saling berhadapan. Bila dilihat dari bangunan yang tersisa sekarang, Ruang Guru berada di sebelah kanan, di sebelah kiri adalah Ruang Serbaguna, dan di bagian tengah adalah lapangan yang biasanya digunakan untuk upacara dan kegiatan olahraga. Bangunan Kelas 1, 2, dan 3 masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Secara umum saat ini kondisi bangunan ini menyedihkan. Atapnya berlubang-lubang mengkhawatirkan. Beberapa atap seng terlepas, mungkin akibat angin yang cukup kencang. Menurut Pak Heri, penggantian atap sudah beberapa kali dilakukan, tapi karena faktor cuaca dan angin yang kencang, atap-atap itu lagi-lagi rusak. Sepertinya harus dipikirkan model dan bahan atap yang kuat yang dapat bertahan dalam kondisi cuaca di wilayah itu.

Bangunan ruang kelas selain Kelas 1, 2, dan 3, sudah tidak terlihat lagi. Lokasinya berada di seberang ruang kelas yang masih terlihat sekarang, terpisahkan oleh lapangan. Bangunan Serba Guna berada di sisi kiri bangunan sisa, masih terlihat sisa pondasi bangunan lamanya. Di lokasi ini sekarang tumbuh sebuah pohon yang bisa digunakan untuk berteduh. Jika sedang berdiri di samping pohon ini, kita bisa melihat Gunung Nini di kejauhan.

Sebelah kanan bangunan adalah bekas Ruang Guru, bangunannya memang sudah tidak terlihat lagi. Menurut Pak Heri, ada pihak yang tidak bertanggungjawab membakar bangunan tersebut pada sekitar tahun 2004/2005. Karena bangunannya sudah tidak ada, maka bila hari sedang tidak mendung kita dapat melihat rangkaian Gunung Windu, Gunung Wayang, dan Gunung Bedil dengan jelas. Sebelum mengakhiri obrolan, Pak Heri menganjurkan agar saya menemui seorang guru yang sekarang sudah jadi kepala sekolah di SD ini, karena beliau merupakan salah satu lulusan dari Vervoloog Malabar.
Saya sampaikan ucapan terima kasih seraya pamit kepada Pak Heri, lalu beranjak untuk bergabung dengan kawan-kawan lain di teras Vervoloog Malabar. Lain waktu saya akan mengunjungi Bapak Kepala Sekolah SDN Malabar 04 untuk berkenalan dan mendengarkan cerita darinya.
***
Alhamdulillah pernah mengenyam pendidikan di SDN Malabar 2 (peninggalan Tuan Bosscha)
Wah..
Apakah masih menyimpan dokumentasi saat bersekolah dulu?