#PojokKAA2015: Semangat KAA di SMP Negeri 2 Bandung

Oleh: Gita Diani Astari (@gitadine)

Saya berdiri di depan gerbang sekolah bernuansa hijau yang membawa kesan segar, mengamati suasananya. Semangat penyemarakan Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika sangat terasa, dengan dipasangnya bendera-bendera negara peserta KAA 2015 di halaman depan. Tiga van yang membawa para delegasi dari Myanmar, Thailand, dan Sri Lanka terparkir rapi. Dengan arahan seorang pria bersenyum ramah yang mengenakan iket, saya masuk ke area Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bandung.

Sejak pagi, beberapa siswa SMP 2 dan tim delegasi internasional menampilkan bakat dan kebudayaan mereka di aula sekolah. Meskipun penampilan mereka menarik (tarian salah satu tim delegasi internasional bahkan termasuk akrobat!), semakin lama kursi penonton semakin kosong dengan siswa-siswi yang berjalan keluar-masuk ruangan. Beberapa yang duduk di bagian belakang ruangan pun kurang fokus karena berbincang-bincang dengan teman-teman mereka. Hal ini saya sayangkan, karena bisa dianggap kurang menghargai penampilan indah yang disuguhkan.

Begitu acara selesai pukul 12, para delegasi segera bergerak keluar ruangan agar dapat berangkat ke lokasi jadwal mereka selanjutnya, yaitu Meet & Greet di Paris van Java dan Cihampelas Walk. Namun sebelum mereka pergi, dengan senang hati mereka berpose untuk para siswa dan guru. Tak lupa selfie yang sangat “kekinian”! Baca lebih lanjut

Iklan

Sepetik Kisah Teh di Priangan

Oleh : M. Ryzki Wiryawan @sadnesssystem

Dapatkah anda membayangkan hubungan antara wanita-wanita cantik yang hingga saat ini menjadi ciri khas Bandung dengan sejarah teh di Priangan ? Tahukah anda apabila negeriini bisa merdeka karena teh ?  Tampaknya kita menganggap remeh hubungan antara sejarah teh di Priangan dengan kehidupan kita saat ini. Peninggalan kejayaan teh Priangan tidak hanya terlihat dari hamparan permadani hijau perkebunan teh yang masih mewarnai kawasan Priangan saat ini.  Teh adalah komoditas yang merubah sejarah Indonesia (Hindia Belanda pada masa lalu). Wah mulai lebay nih…  

Sejarah masuknya teh di Priangan udah dimulai dari zaman VOC alias Kompeni.Saat itu teh sebagai komoditas dagangan sudah dibawa oleh para pedagang Tionghoa asal Kanton dan Fokien yang berlabuh di Batavia. Seperti diketahui, orang-orang China sudah memiliki tradisi meminum teh sejak ribuan tahun lalu. Orang – orang Belanda di Hindia Belanda sendiri diketahui memiliki tradisi minum teh yang biasanya dilakukan saat sarapan pagi.

Penanaman pohon teh pertama di tanah Jawa sendiri tidak dapat dipastikan. Namun pada tahun 1691 Dr. Valentijn, seorang sejarawan terkemuka, menemukan sepucuk tanaman ini di kebun milik Gubernur Jenderal  J. Champhuis yang terletak di NieuwPoort Batavia. “…allerlei zeldzame gewasschen,jonge thee boomkens nit China als aalbessen boomkens…”, ujarnya yang berarti “ Terdapat tiga jenis tanaman langka, pohon teh muda asal China setinggi pohon kismis”. Sejak penyebutan oleh Valentijn tersebut, cukup lama waktu yang dibutuhkan bagi pemerintah kolonial untuk memberi perhatian lebih pada tanaman teh.

Dalam satu surat tertanggal 15 Maret 1728 yang dikirimkan kepada Kompeni oleh salah seorang direkturnya di Belanda, tercatat usulan untuk memulai perdagangan dan penanaman komoditas teh di Jawa, mengingat orang-orang Eropa lainnya terbukti telah berhasil mendapatkan keuntungan besar lewat perdagangan komoditas ini di China. Usulan ini dilanjutkan dengan surat selanjutnya yang dikirimkan pada bulan Desember tahun yang sama, berisikan iming-iming hadiah kepada kompeni untuk setiap pon teh yang berhasil diproduksi di pulau Jawa. Namun mengingat keadaan Kompeni yang lagi sakratul maut saat itu, usaha pembudidayaan teh di pulau Jawa tidak sempat dilakukan.

Pasca kematian VOC, Pemerintah Kolonial mulai melanjutkan upaya serius untuk merintis penanaman teh di pulau Jawa. Pada tahun 1920, pemerintah menyewa jasa seorang Botanis Perancis bernama Diard, yang dibayar sebesar 300 fl./tahun (cukup tinggi untuk ukuran zaman itu), untuk mengembangkan tanaman-tanaman yang memiliki potensi ekonomi, salah satunya teh. Namun upaya itu tidak berjalan mulus, beberapa kali upaya pengiriman  bibit teh dari China oleh Diard pada tahun 1822, 1823, dan 1824 hanya berbuah kegagalan. Tanaman teh yang dibawanya mati di perjalanan. Singkat cerita, pada tahun 1825, muncul inisiatif dari Dr. Von Siebold untuk mengambil bibit  dari perkebunan teh yang berhasil didirikan EIC (semacam Kompeni-nya Inggris) di daerah Assam, India. Bibit tanaman teh tersebut langsung ditanam di Kebun Botani Bogor setahun kemudian. Sebagian dikirimkan ke daerah Limbangan,Garut untuk dibudidayakan oleh seorang Inggris bernama Kent.

Pada bulan Juli 1927, sudah berhasil dikembangkan sebanyak 1.500 tanaman teh di Bogor dan Limbangan. Melihat keberhasilan tersebut, Tidak lama kemudian Komisaris Jendral Hindia Belanda du Bus Gesegnies pada tanggal 27 September 1827 mendatangkan seorang ahli teh dari NHM (Nederlandse Handel Matschappij), Jacobus Isidorus Loudewijk Levian  Jacobson, untuk diangkat sebagai pemimpin upaya pembudidayaan teh di Jawa dengan gaji sebesar 10.000 Fl. / tahun. Dalam upayanya guna bisa menghasilkan tanaman teh terbaik, Jacobson melakukan beberapa perjalanan ke China antara tahun 1828-33.

Jacobson menemukan bahwa penanaman bibit-bibit teh terbaik yang dibawanya dari China terkendala oleh ketiadaan pengelola perkebunan teh yang handal di Jawa. Untuk mengatasi masalah tersebut Jacobson “mengimpor” seorang penanam teh beserta empat pembuat teh dan tujuh artisan (ahli teh) langsung dari China pada tahun 1832. Pada awalnya pengembangan budidaya teh mengalami peningkatan pesat, namun lama kelamaan pemerintah merasa keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan pengeluarannya sehingga lambat laun melepas monopoli pengelolaan perkebunan teh kepada swasta. Perkebunan teh terakhir yang dimiliki pemerintah,Jatinangor dan Cikajang – pun dilepas pada tahun 1865.

Perkembangan perkebunan teh kembali mengalami kemajuan terutama setelah benih teh China mulai digantikan oleh bibit teh Hibrida asal Assam India yang didatangkan A.W. Holle dari Assam, Jaipur, Bazaloni dan Manipur India tahun 1878. Bibit teh Assam tersebut dibudidayakan oleh R.E. Kerkhoven di Gamboeng. Teh yang ditanam dikawasan Priangan ini memiliki rasa yang khas dibanding teh dari negara lainnya.

The flavour of Java tea, which seems more to depend on altitude than localconditions or soil, etc., whilst lacking the strength of the Indian teas or thesoftness of some of the China ” chops,” is delicately fine, and apurer or more wholesome tea is not to be found anywhere. (DonaldMaclaine Campbell, 1915)


Berbeda dengan tanaman kopi yang menimbulkan mimpi buruk bagi warga Priangan. Teh merupakan “mimpi yang lebih baik” karena pengelolannya yang dilakukan oleh swasta.  Orang-orang swasta atau partikulir ini lebih manusiawi dalam memperlakukan bangsa pribumi dibandingkan pengelola perkebunan kopi yang dimonopoli pemerintah beserta jajarannya. Apabila pembudidayaan kopi dilakukan lewat metode “tanam paksa”, pembudidayaan teh dilakukan secara sukarela oleh masyarakat di Priangan, yang mula-mula dilakukan di halaman rumahnya untuk kemudian disetorkan kepada pengusaha perkebunan.

Pada tahun 1870, perkebunan teh swasta mulai membagikan bibit tanaman teh kepada rakyat di desa-desa terdekat. Desa-desa penghasil teh ini lantas dikenal sebagai “kampoeng daoen” (Ponder, 1934).  Ini menjadi awal bagi penanaman teh rakyat diJawa Barat.

Kampung Petani Teh

Kampung Petani Teh

Didukung oleh UU Agraria tahun 1870 yang memungkinkan pemilikan lahan secara perorangan, petani teh lokal mulai leluasa mengembangkan pertanian yang tadinya hanya dilakukan di halaman rumah menjadi perkebunan yang lebih luas. Terjadi hubungan simbiosis antara petani teh dengan pengolah daun teh. Para petani menjual pucuk teh kepada pabrik teh terdekat. Hampir setiap perkebunan swasta memiliki pabrik teh sendiri.

Para pemilik perkebunan teh di Priangan dengan julukannya sebagai “PreangerPlanters” berhasil meraup kekayaan yang luar biasa dari komoditas teh. Sebagai gambaran, Sir Walter Kinloch yang mengunjungi perkebunan milik Mr.Brumsteede di Tjembooliyut (Cimbeuleuit) pada tahun 1852 mengungkapkan bahwa perkebunan tersebut setiap tahunnya menghasilkan 152.000 pon teh, dengan biaya produksi tiap pon-nya yang berkisar 45 sen, teh dijual ke pemerintah dengan harga 75 sen. Artinya dari tiap pon teh saja, seorang pengusaha sudah memperoleh keuntungan 30 sen. Untuk mengetahui keuntungan totalnya, profit tersebut tinggal dikalikan saja dengan seluruh hasil produksi. Sebagian besar teh dari Jawa khususnya Priangan dikirimkan ke Inggris. Tidak aneh mengingat orang-orang Inggris mengkonsumsi lebih dari setengah produksi teh dari seluruh dunia.

Para Preangerplanters  yang kekayaannya luar biasa ini nantinya akan memberi andil besar dalam pembangunan kota Bandung khususnya. Mereka juga dikenal memiliki kepekaan sosial yang cukup tinggi dengan orang Pribumi mengingat keseharian mereka yang selalu berada di tengah perkebunan teh dan selalu berhubungan dengan masyarakat setempat. Dari keluarga “Raja Teh Priangan” sempat muncul beberapa nama seperti Karel Frederik Holle, Kerkhoven dan Bosscha yang memiliki perhatian besar terhadap kehidupan orang Pribumi. Tanpa andil Kerkhoven dan Bosscha, mungkin Technische Hogeschool  (ITB) tidak akan pernah berdiri. Sedangkan dari kampus inilah lahir seorang  tokoh bernama Soekarno yang menjadi penggerak utama kemerdekaan.

Dinasti Teh dari Priangan, Keluarga Holle

Dinasti Teh dari Priangan, Keluarga Holle

Oke satu pertanyaan tentang hubungan antara teh dengan kemerdekaan sudah terjawab. Lalu bagaimana hubungan antara teh dengan wanita-wanita cantik di Bandung ? Nah, para saking dekatnya hubungan para preangerplanters dengan para pemetik teh yang kebanyakan perempuan, tidak jarang hubungan tersebut berakhir di tempat tidur, menghasilkan keturunan berdarah campuran pribumi-Belanda. Dengan kekayaannya yang luar biasa, para pengusaha perkebunan ini bisa membiayai anak-anak hasil hubungannya dengan para “nyai”  tersebut, namun tidak jarang anak-anak “setengah bule” tersebut akhirnya terdampar ke rumah-rumah bordil yang  berada gang coorde  Braga karena terbuang dari keluarganya. Anak-anak Indo ini, yang memiliki perpaduan kemolekan wanita priangan dengan darah bule ini dicirikan oleh ketampanan / kecantikan melebihi rekan-rekannya yang berdarah asli. Ingin bukti lain ? Pergilah ke kawasan perkebunan-perkebunan teh jadul yang berada  di pelosok  Priangan, jangan kaget ketika menemukan gadis-gadis cantik berkulit putih di sana. Mereka kemungkinan besar memiliki darah keturunan Belanda dari  buyut dan buyutnya yang terdahulu.

Itu cuma intermezzo saja, tapi intinya teh telah menjadi bagian dari diri kita saat ini lebih dari yang kita duga. Teh juga mempengaruhi kebudayaan Indonesia. Di Jawa, apabila anda bertamu ke rumah seseorang dan tidak disajikan teh oleh si empunya rumah, artinya kedatangan anda tidak diharapkan. Lain halnya apabila teh disajikan langsung setelah tamu tiba, maka kunjungan sang tamu diharapkan tidak berlangsung lama (Louis Fischer, 1959).

Kini hampir setiap jongko kaki lima menyediakan teh tubruk gratis untuk tiap pelanggannya. Tidak lengkap rasanya makan bakso tanpa ditemani segelas teh tawar. Teh botol pun laku keras, sehingga muncul istilah “apapun makanannya, minumannya teh botol xxxx” (Nggak boleh nyebut Sosro).  Walau demikian, nasib produksi teh di negeri ini tidak pernah membaik sejak dilepas Belanda. Mungkin dikarenakan sikap kolonialisme orang Belanda yang ingin membantu orang Indonesia dengan cara “biar saya membantumu, biar kami menunjukan caranya, biar kami melakukannya” (Furnivall, 1939), orang-orang Indonesia langsung kelimpungan ketika diserahkan pengelolaan perkebunan milik orang Belanda pada tahun 50’an. Gimana nggak bingung, biasa kerja disuruh sama sang “Toean Madjikan” tiba-tiba diangkat jadi “Toean Madjikan”… hehehe

Salam SadnessSystem !   – M.R.W.-

Jugun Ianfu: Seandainya Saya Dulu Jelek

oleh: Lorraine Riva (@yoyen)

Emah berkata “Seandainya saya dulu jelek. Gadis-gadis jelek dipulangkan kerumah setelah beberapa hari atau minggu. Orang Jepang tidak menginginkan mereka. Gadis-gadis cantik harus tinggal. Saya tetap tinggal disana. 3 tahun lamanya saya tinggal di bordil militer mulai dari 1945”.

Image

Emah (lahir tahun 1926 di Cimahi, Jawa – Barat) adalah seorang Jugun Ianfu atau bahasa Inggrisnya comfort women. Istilah comfort women biasanya ditujukan untuk gadis atau perempuan yang dipaksa melacur oleh Jepang selama Perang Dunia II. Setelah rape of Nanking tahun 1938 (http://www.historyplace.com/worldhistory/genocide/nanking.htm ) yang benar-benar mengerikan, beberapa petinggi militer Jepang menyarankan pimpinan militer Jepang untuk membuka pusat rekreasi untuk para tentara yang bertempur di lini depan. Mereka percaya hal ini berguna untuk menjaga tata tertib dan mental para tentara. Pusat rekreasi ini juga dipercaya dapat mencegah para tentara mengidap penyakit seksual. Sebenarnya pusat rekreasi ini adalah istilah halus untuk bordil militer.

Buku Schaamte en onschuld (rasa malu dan bersalah) karya antropolog Belanda, Hilde Janssen, dan portret para Jugun Ianfu yang mengesankan karya Jan Banning (http://www.janbanning.com/gallery/comfort-women/ ) sudah ada dalam daftar buku yang harus saya baca sejak terbitnya di bulan April 2010. Setelah membaca buku ini saya ingin berbagi cerita di sini supaya dunia tahu sejarah Jugun Ianfu. Jan Banning juga menerbitkan buku Comfort Women (http://www.uitgeverij-ipsofacto.nl/?m=25&p=2&s=0 ) dengan teks oleh Hilde Janssen, buku ini terbit dalam bahasa Belanda dan Inggris.

 

Awal mula
Jugun Ianfu yang pertama kali datang ke Indonesia tahun 1942 berasal dari Korea dan Cina. Sehubungan dengan naiknya permintaan untuk Jugun Ianfu dan kurangnya jumlah para wanita dari Korea dan Cina, militer Jepang mulai merekrut perempuan di Indonesia. Kebanyakan dari para perempuan ini diculik dari rumah, di jalan (Sanikem, lahir 1926 di Yogyakarta) bahkan di sawah  selagi bekerja. Ada yang dijual oleh kepala desa ke Jepang seperti Kasinem (lahir 1931 di Salatiga, Jawa-Tengah) dan Rosa (lahir 1929, Pulau Saumlaki Maluku-Selatan). Yang termuda berumur 11 tahun, masih anak-anak. Tentara Jepang merekrut anak dan laki-laki dewasa untuk dijadikan romusha atau heiho, sementara para perempuan dipaksa bekerja di bordil militer.

Walaupun inisiatif militer, tetapi pengelola bordil militer berbeda-beda. Ada beberapa bordil yang dikelola langsung di bawah pengawasan departemen militer, ada bordil kepunyaan swasta. Para Jugun Ianfu yang bekerja di bordil militer ini harus menggunakan nama Jepang mereka: Hana, Miko dsb. Para wanita ini bekerja tiap hari dari siang hingga malam. Beberapa dari mereka bekerja tanpa henti. Hari libur mereka dapat jika mereka menstruasi atau untuk tes medis tiap bulan. Hanya sedikit Jugun Ianfu yang hamil. Menurut Giyem (lahir 1930 di Jawa-Tengah) dokter militer memberikan resep obat puyer (catatan: mungkin sama seperti Morning After pil sekarang ini?) kepada semua Jugun Ianfu untuk mencegah supaya mereka tidak hamil.

Selama bekerja sebagai Jugun Ianfu beberapa wanita ini mengingat tamu-tamu bordil yang berlaku baik kepada mereka, tetapi mereka juga membenci tamu-tamu yang kasar. Beberapa tamu kasar itu menganiaya Jugun Ianfu. Tanpa ragu mereka mengancam akan menusuk Jugun Ianfu dengan bayonet tajamnya jika hasrat mereka tidak dituruti.

Ada sejumlah Jugun Ianfu yang tidak bekerja di bordil militer. Beberapa dari mereka ditawan di rumah seorang Jepang, sebagian dijemput di rumah mereka tiap sore dan dibawa ke rumah orang Jepang. di mana mereka diperkosa setiap hari 3 tahun lamanya.

Jugun_2

Akhirnya
Di akhir Perang Dunia II dan langsung setelah Jepang menyerah, bordil-bordil militer ditutup. Para Jugun Ianfu bebas untuk pulang ke tempat asal mereka. Beberapa memilih untuk tinggal di situ karena mereka takut menceritakan kejadian sebenarnya ke keluarga mereka..Yang kembali ke tempat asal diterima dengan baik oleh keluarga tetapi penduduk di sekitar mereka menghina dan menyebut mereka sebagai bekas Jepang. Hal ini membuat sakit hati para Jugun Ianfu. Ada juga Jugun Ianfu yang tidak bercerita ke seorang pun tentang pengalaman buruknya ini. Seperti Sarmi (lahir 1930 Jawa – Tengah), ia tidak pernah bercerita tentang ini, bahkan suaminya pun tidak tahu bahwa istrinya adalah eks Jugun Ianfu. Menurut Sarmi ini adalah pilihan terbaik untuk tidak membebani suaminya, anak-anak dan cucu-cucu mereka. Sarmi yakin bahwa dia sangat berdosa karena dia membiarkan Jepang memperkosanya. Selain Sarmi ada juga Jugun Ianfu yang tidak dapat mempunyai anak. Malu, segan dan trauma membuat banyak Jugun Ianfu enggan diwanwancara di rumah sendiri oleh penulis buku ini. Takut akan reaksi tetangga mereka hanya mau diwawancara di tempat lain.

Pengakuan
Menurut data statistik, terdapat 200.000 korban kejahatan seksual di negara-negara jajahan Jepang. Korban bukan hanya wanita dari Korea, Cina, Malaysia, Singapore, Philipina dan Indonesia tetapi juga dari Inggris, Australia dan Belanda. Wanita Eropa ini berada di wilayah jajahan Jepang pada waktu itu.

Tahun 1992 Jugun Ianfu di Korea dan Cina memulai lobby lewat Jugun Ianfu Advocacy Network untuk pengakuan resmi dari pemerintah Jepang tentang kejahatan seksual di masa perang ini. Tujuan utama mereka setelah pengakuan resmi adalah kompensasi untuk kerugian moral dan fisik yang mereka derita. LBH mengambil contoh dari Korea dan Cina dan mulai mendaftar Jugun Ianfu di Indonesia. Didaftar LBH ini tercantum 20.000 Jugun Ianfu berasal dari seluruh penjuru Indonesia (bukan hanya Jawa dan Sumatra). Yang mengejutkan untuk saya, pemerintah Indonesia ternyata menyarankan para Jugun Ianfu untuk tidak menuntut pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan resmi dan kompensasi. Menurut pejabat Indonesia akhir tahun 1990-an adalah tabu untuk menggali sisi gelap sejarah. Mereka menganjurkan para Jugun Ianfu berhenti menuntut pemerintah Jepang. Sikap pemerintah Indonesia yang mengecewakan ini sangat bertentangan dengan sikap pemerintah Korea dan Cina yang sepenuhnya mendukung para Jugun Ianfu di negara mereka.

Tidak peduli seberapa keras lobby ini, bahkan setelah kesaksian para Jugun Ianfu di Jepang akhir tahun 1990-an, pemerintah Jepang hingga sekarang pun tidak mengeluarkan pernyataan resmi tentang Jugun Ianfu. Saya bertanya-tanya sampai kapan Jepang mengelak untuk bertanggung jawab? Para Jugun Ianfu sekarang sudah sangat tua. Jika dalam jangka waktu dekat mereka tidak ada lagi, siapa yang akan menuntut Jepang untuk pengakuan resmi?

Ada sebuah film dokumenter Omdat wij mooi waren (Karena kami dulu cantik) ditayangkan di TV Belanda tanggal 15 Agustus 2010. Film ini dalam bahasa Belanda, Bahasa Indonesa, Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa dengan terjemahan dan narasi dalam Bahasa Belanda. Di film ini kita melihat penulis buku, Hilde Janssen bersama dengan fotografer Jan Banning mewawancara dan memotret para Jugun Ianfu. Mengharukan cerita mereka dan sangat kejam, tidak berperikemanusiaan pengalaman mereka. (http://www.youtube.com/embed/Hx4vRRH7rhc)

Catatan saya
Menurut saya istilah Jugun Ianfu dalam bahasa Inggris, comfort women itu istilah yang menyesatkan karena Jugun Ianfu dipaksa untuk melacur bukan atas kemauan mereka sendiri. Mungkin sekarang ini Jugun Ianfu bisa dikategorikan sebagai jaringan pedofilia karena banyak Jugun Ianfu yang yang waktu itu berumur 11 tahun. Mereka itu masih anak-anak!

Kadang saya mengerti pilihan beberapa Jugun Ianfu di buku ini untuk berdiam tentang masa lalunya. Saya mengerti ini karena ada 3 Jugun Ianfu di keluarga saya dan suami saya. Mendengar cerita mereka sewaktu kecil dan setelah sekarang dewasa saya mengerti. Selama membaca buku ini hati saya miris membayangkan perasaan para Jugun Ianfu: malu, dipakai, kotor dan dikucilkan. Mudah-mudahan kekejaman seperti ini tidak terjadi lagi. Kita harus belajar dari sejarah bukan?


Ngapain sih banggain sisa kolonial ?

Oleh : M.Ryzki Wiryawan
………….
Ngapain sih kita membangga-banggakan peninggalan kolonial ?

Kalimat tersebut muncul kala diadakan curah pendapat di penghujung acara ngaleut taman kota Bandung, menurut Agung, seorang rekan Aleut dari sahabat kota, kalimat tersebut sempat muncul dalam suatu rubrik kompasiana. Yang jelas, tema ini sangat menarik untuk dibahas, karena bisa jadi masyarakat salah kaprah dalam memandang sejarah.

Gampangnya gini aja deh, peninggalan sejarah itu ada dua macem, yang berwujud and yang tidak berwujud. Yang berwujud itu contohnya bangunan-bangunan tua, taman-taman kota, dan situs-situs megalitikum dsb-lah, sedangkan yang tidak berwujud itu contohnya bahasa, musik, budaya hidup, dll. Intinya gitu. Tapi saya bagi lagi, sejarah itu ada yang positif and negatif, tugas kita adalah menyaring dan mengambil pelajaran dari kedua jenis peninggalan sejarah tersebut.

Saya pikir sudah cukup banyak kutipan yang menyebutkan pentingnya menjaga warisan sejarah. Namun bangsa Indonesia ini terkenal buruk dalam menghargai nilai warisan sejarah. Contohnya, saat menemukan Candi Borobudur yang berada dalam kondisi mengenaskan di awal abad XIX, Raffles mengatakan :

“Ketidakpedulian pribumi sama besarnya dengan para penguasa mereka, sehingga mereka pun menelantarkan karya-karya para leluhur mereka yang tidak dapat mereka tiru”

Ucapan Raffles 200 tahun lalu itu hampir sesuai dengan kondisi sekarang. Lihatlah bagaimana kasus penjualan artefak museum kerap terjadi, penghancuran bangunan bersejarah, atau yang paling dekat bagaimana mesin kapitalisme mengancam bukit pawon yang menyimpan situs manusia sunda purba.

Mari saya hubungkan dengan konteks ngaleut! taman kota kemarin. Dalam perjalanan ini kita bisa menemukan mana aja peninggalan sejarah yang positif dan negatif tersebut.

Di awal perjalanan, kita memasuki kompleks ITB yang didesain oleh Ir. Maclaine Pont. Beliau lahir tanggal 21 Juni 1884 di Meester Coenelis atau Jatinegara, Batavia. Setelah mengenyam pendidikan tinggi di Belanda dan kembali ke Hindia Belanda, beliau sangat mengapresiasi peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit, khususnya yang berada di kawasan Trowulan-Mojokerto. Apresiasinya kemudian ditelurkan dalam berbagai karya jurnalnya yang membahas situs tersebut.

Apresiasi Maclaine Pont terhadap budaya lokal tersebut, menjadikannya terpilih sebagai arsitek utama pembangunan THS. Perkembangan ini sesuai dengan pernyataan Thomas Karsten (perancang Bandung Utara), bahwa pembuatan bangunan selama ini yang selalu mengacu pada arsitektur barat asing dapat memunculkan isolasi bagi warga Eropa di lain pihak memunculkan resistensi dari warga pribumi.

Dari pemikiran ini muncullah kampus THS (Technische Hogeschool), sekarang ITB. Arsitektur bangunan utama kampus ini mengacu pada bangunan Minangkabau (sunda besar), yang lapisan-lapisannya membentuk “lembaran bunga teratai”. Atap yang berlapis-lapis diadopsi dari tradisi ruang berpilar yang dilacak dari relief-relief candi abad kesembilan di Jawa Tengah. Bentuk lainnya mengadopsi arsitektur Pendopo yang digunakan kaum ningrat di Jawa. Pembangunan kampus pun mengacu pada tradisi kosmos local, dimana gunung tangkuban parahu berada di poros utara. Apabila kita memandang dari arah selatan, akan terlihat jelas bagaimana gunung keramat ini berada di tengah bangunan aula barat dan timur. Gaya arsitektur ini digabungkan dengan teknologi tercanggih saat itu, yang dikenal sebagai busur berikat cincin, yang hanya satu-satunya tersisa di Hindia Belanda saat ini.

Tidak lupa, konsep kampus THS yang dirancang Maclaine Pont meniru gaya kampus di Amerika, dengan taman-tamannya sebagai ruang interaksi yang nyaman serta kondusif untuk belajar.

Dapat kita simpulkan, dari satu objek saja, bahwa peninggalan Belanda tidak murni berasal dari pemikiran kolonialisme. Mereka juga mengadopsi keagungan tradisi lokal Indonesia, teknologi tercanggih saat itu, serta konsep politik yang ada tentunya. Mari kita bandingkan dengan kondisi sekarang.

Berjalanlah sedikit ke kawasan Dipati Ukur, lihatlah ada berapa bangunan kampus yang menggunakan arsitektur lokal. Yang anda temukan hanyalah kampus-kampus yang dibangun dengan arstitektur minimalis, tidak banyak filosofi yang bisa dibanggakan darinya. Salah satu kampus (ITHB) bahkan dibangun dengan gaya Empire, dengan pilar-pilarnya yang megah, suatu gaya yang ditinggalkan Belanda karena “tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan tidak cocok dengan iklim tropis”. Kampus-kampus di jalan Dipati Ukur ini bahkan tidak dilengkapi dengan taman-taman sebagai sarana interaksi dan belajar yang sehat, sehingga terpaksa mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu di kostan atau café bagi yang lebih beruntung. Ini baru satu contoh.

Tidak jauh dari kampus ITB, Aleut melewati taman ganesha, yang dulunya memiliki satu kolam, ternyata sekarang memiliki tiga kolam berukuran raksasa ! Taman ini memang berada di elevasi yang lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya, jadi wajar saja kalau hujan gede, taman ini bakal menjadi muara bagi aliran air yang berasal dari sekitarnya. Dahulu, Perancang taman ini sudah mempertimbangkannya sehingga mereka membuat dua buah selokan kecil, sebagai sarana aliran air yang terkumpul di taman. Sayangnya kedua selokan ini sudah tidak ada, akibatnya mau nggak mau air akan menggenangi taman ini, membawa sampah-sampah, mematikan vegetasi-vegetasi kecilnya, dan menghasilkan tanah becek yang tidak enak dipandang.

Lihatlah bagaimana Belanda mendesain perumahan-perumahannya dengan apik, dengan taman-taman sebagai pusat interaksi dan penunjang kesehatan, mereka juga berkepentingan menjaga kesehatan warga pribumi (seperti yang kita lihat di gempol), karena warga pribumi ini bekerja untuk mereka tentunya. Namun, merubah mental pribumi itu pekerjaan berat lain.

Tahun 1920’an, H.F. Tillema seorang apoteker di Semarang mencatat bahwa di masa tersebut orang-orang Pribumi masih kerap “Buang Hajat” di tengah jalan disamping kebiasaan buruk lainnya. Menurut catatannya, “Hari demi hari, Sidin, begitu kita sebut tukang kebun pribumi itu, membuang sampah dari rumah majikannya, dari dapur dan dari warung-warung… Bukannya ke tempat sampah, melintasi pagar,melainkan dengan tangannya yang halus, ke Jalanan…”

Tradisi ini masih kita pegang hingga sekarang, dengan “Tiisnya” kita membuang bungkus Cilok, gorengan, botol-botol plastik ke jalanan seperi Sidin si tukang kebon di tahun 20.

Nah, Pemerintah kota sekarang, yang dikenal dengan julukan “Wagiman”, walikota gila tanaman memiliki ide bagus. “Mengapa tidak kita pagari saja taman-taman tersebut, agar tidak dapat dimasuki dan dirusak oleh orang-orang pribumi…”

Jalan lagi dikit ke jalan sekitar perempatan Sultan Agung Tirtayasa, disini bisa diliat bangunan-bangunan dengan arsitektur kembar, yang didesain secara simetris. Ini adalah buah dari perancangan kota saat itu yang berkiblat ke barat. Sejak 1909, di Hindia Belanda perencanaan kota yang berhubungan dengan arsitektur bangunan di dalamnya diatur dengan sangat ketat, rancangan gedung pemerintahan, sekolah, pegadaian, kantor pos, dan penjara di koloni harus mengikuti pedoman resmi : Untuk setiap jenis gedung, telah ditetapkan sebuah keputusan, apa yang disebut “Rencana Normal”, dari situ hanya variasi yang diizinkan,,,

Apakah pemerintah saat ini punya arahan ?, So pasti punya, Lalu apakan arahan tersebut diaplikasikan, Hmm,, tentu saja, nanti akan saya instruksikan pada jajaran terkait,,, Begitulah kira2 percakapan fiktif saya dengan pejabat pemerintah.

Coba lihat di Dago dan Cipaganti, Yang dahulunya didesain sebagai perumahan Villa, yang daripada bangunan2nya tidak boleh berpagar dan tingginya gak boleh melebih tiga lantai untuk menjamin ketersediaan cahaya bagi para penghuninya. Kini bangunan-bangunan tersebut berdiri semaunya, peduli amat tetangga dapet cahaya matahari atau nggak. Mereka juga berlomba meninggikan pagar, bagai Belanda yang takut diintai pribumi…

Ini adalah sesuai dari catatan B. de Vistarini, seorang arsitek Hindia Belanda yang menyatakan bahwa pada awal kedatangannya di nusantara, pemukim Belanda pertama membangun rumah-rumahnya dengan sangat tertutup. Dan bahkan hingga abad ke-XX mereka masih belum bisa melepaskan diri dari ketakutan terhadap Pribumi. Menurut Cuypers, di tahun 1919, rumah-rumah orang Eropa biasanya ditutupi oleh tembok yang dibangun mengelilingi seluruh bangunan, hanya dengan satu pintu masuk di bagian depan, dan satu lagi di belakang.

Nah lho, kaum elit negeri ini telah menjelma menjadi Belanda !

Akhir kata, Saya menganalogikan pendudukan Belanda bagai seorang ayah tiri yang galaknya bukan main, sering menghina, menyiksa, dan memperbudak kita, namun beliau telah mati dan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Lalu apakah kita akan membuang warisan tersebut ? Apakah tidak lebih baik apabila warisan itu kita gunakan sebagai modal guna perbaikan kelangsungan hidup kita ke depan…