Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung”
Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.
WESTERLING
Ketika TNI harus hijrah ke Jawa Tengah, Batalyon F-22 Soegih Arto harus tetap tinggal di Jawa Barat, bergerilya memantau dan menghadapi Negara Pasundan yang akan didirikan. Dalam proses pengangkutan pasukan untuk hijrah, Westerling menanyakan di mana pasukan Soegih Arto, karena tidak terlihat di tempat kumpul. Kawilarang menjawab bahwa batalyon Soegih Arto sudah hancur berantakan.
Sejak tahun 1947 Westerling ditempatkan di Batujajar dan pada 1948 membentuk Korps Speciale Troopen (KST), dengan pasukan yang terdiri dari orang Indonesia Timur. Mereka dikenal dengan baret hijaunya dan terkenal pula kekejamannya. Sementara Batalyon F 22 Soegih Arto berada di Cililin, terpisah sungai Ci Tarum dengan Batujajar.
Setelah peristiwa brutal yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya yang mengakibatkan jatuhnya 40 ribu korban di Sulawesi Selatan, Westerling ditempatkan di Batujajar, Jawa Barat. Di daerah Cikalong Westerling pernah membuat ulah lagi yang membuat penduduk Cikampek merasa tidak aman dan ketakutan, sehingga menjadi seperti kota mati.
Usai seluruh proses pemberangkatan hijrah, Soegih Arto menerima surat yang diantar oleh seorang kurir. Pengirimnya, Westerling. Isinya, ajakan untuk mengadakan perundingan dengan jaminan keamanan. Soegih Arto membalas dengan penolakan tegas tidak akan berunding dengan perwira Belanda yang telah membiarkan anak buahnya merampok dan memperkosa kaum perempuan di kampung. Setelah itu, tak hentinya Westerling melakukan serangan ke tempat-tempat gerilya pasukan Soegih Arto.
Sekali waktu Soegih Arto mendapatkan informasi jalur yang akan digunakan untuk inspeksi pasukan oleh Westerling. Lalu di suatu tempat dipasanglah ranjau-ranjau di jalan dan pasukan Soegih Arto mengintai dari atas bukit. Pada waktu yang sudah diperhitungkan, lewat sebuah jeep dan meledak terkena ranjau. Ternyata Westerling tidak ada di dalam jeep tersebut. Keesokan harinya, Westerling balas dendam dengan membakar habis dua kampung dan menembak mati beberapa orang warganya.
Dalam buku “Westerling; Aksi Brutal Sang Jagal” yang ditulis oleh Tim Majalah Historia (Penerbit Bku Kompas, 2019) diceritakan bahwa pada bulan Oktober 1948, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Jendral Spoor, memanggil Westerling dengan dan memintanya untuk memimpin suatu operasi penyerangan ibu kota Yogyakarta serta menangkap beberapa pemimpin RI. Ternyata Westerling menolak permintaan Spoor itu karena menurutnya cara itu akan mengakibatkan kekalahan politis bagi Belanda.
Perbedaan pendapat ini membuat Westerling mengundurkan diri dan pada 11 November 19478 diadakan upacara serah terima komando pasukan kepada Letkol van Beek di Batujajar. Westerling bersama keluarganya kemudian tinggal di Pacet, dekat Puncak, dan berusaha di bidang pengangkutan menggunakan truk-truk bekas KNIL yang sudah dimodifikasi. Tak lama kemudian, Westerling akan kembali ke dunia dengan Angkatan Perang Ratu Adil-nya.

PENJARA BANCEUY
Ketika gerakan DI/TII Kartosuwiryo mulai muncul, beberapa prajurit dari Batalyon F 22 diperbantukan ke DI dalam perlawanan menghadapi Belanda., namun dalam perkembangan kemudian, mereka ini malah menjadi inti dari pasukan DI. Ajengan Akhmad Sungkawa, seorang tokoh agama dari Cililin, menjadi tokoh DI yang sangat militan, dan dengan susah payah akhirnya dapat ditewaskan di daerah Sukabumi. Anggota Batalyon F 22 yang menyebrang ke DI umumnya masih tetap mengakui Soegih Arto sebagai bapak namun secara organisasi dan ideologi, sudah berpisah. Salah satu dari mereka, Sersan Embut, yang dijadikan Camat DI di Malangbong, membantu menyelamatkan TNI yang lewat saat long march kembali ke Jawa Barat dari rencana peracunan makanan mereka oleh Darul Islam.
Setelah Negara Pasundan berdiri dan Soegih Arto masih berkeliling dalam gerilya, seorang anggota masyarakat ternyata ada yang berkhianat dan menjadi informan Belanda. Pasukan Soegih Arto berhasil ditangkap anggota Brimob dari Polisi Negara Negara Pasundan.Ketujuh orang kelompok Komando Soegih Arto dimasukkan ke Penjara Banceuy, bersama dengan para penjahat dan tahanan lainnya.
Untunglah di dalam penjara, dan setelah dicukur bersih, seorang tahanan mengenalinya. “Itu Pak Soegih. Jika bapak ini ada yang ganggu maka akan berurusan dengan saya.” Karena dia seorang jagoan, omongannya dituruti oleh tahanan-tahanan lain, sehingga selama dalam penjara Soegih Arto cukup aman dari gangguan yang biasa terjadi pada para tahanan baru. Soegih Arto kemudian terpilih menjadi voorman (pemimpin tahanan) Blok I, yang sering disebut blok intelektuil, yang hanya ditempati oleh perorangan. Blok ini adalah yang dulu pernah ditempati oleh Sukarno dkk.
Dalam blok ini ada tujuh orang hukuman mati yang sedang menunggu eksekusi. Salah satu dari mereka adalah seorang Ambon yang menurut pengakuannya telah membunuh 30 orang Belanda di Bronbeek pada masa awal revolusi. Ia terlihat bangga pada apa yang sudah dilakukannya dan tidak menyesali perbuatannya.
Suatu malam ia berteriak memanggil Soegih Arto dan mengatakan bahwa keputusan telah keluar dan besok ia akan ditembak mati. Setelah makan malam terakhir, ia meminta agar Soegih Arto menyanyi untuk terakhir kali. Soegih Arto pun menyanyikan lagu Bengawan Solo, sampai tiga kali. Keesokan harinya, empat orang polisi militer Belanda datang menjemputnya. Sebagai voorman, Soegih Arto sempat bersalaman dengan pemuda Ambon itu untuk terakhir kalinya sambil menangis tersedu.
Selama bergerilya, Soegih Arto secara terus terang mengakui bahwa hasilnya kurang memuaskan. Ada banyak sekali penyebabnya, sebagian di antaranya adalah kekuatan mental anak buah yang masih terasa kurang. Banyak dari mereka yang memilih berhenti berjuang, atau diam-diam meninggalkan tugasnya dan memilih jalan aman, yang lebih jahat lagi adalah yang berbalik sikap dan menjadi informan Belanda. Dari pusat, tidak banyak bantuan yang didapatkan, begtu juga dengan pendanaan, sehingga membuat fokus perjuangan terpecah dengan perhatian terhadap keluarga masing-masing yang tak kurang penderitaannya, apalagi mereka yang keluarganya ada dekat lingkungan gerilya, sehingga dapat terlihat sehari-hari keadaannya. Ini menjadi beban mental yang sangat berat bagi mereka.***
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung” Bagian 1 | Dunia Aleut!