Oleh: Komunitas Aleut
Dalam buku “Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 1” karangan AH Nasution ada cerita ketika beliau dibawa ke markas Divisi-23 Inggris. Yang menemuinya di markas itu adalah Kolonel Hunt yang mengatakan bahwa pada hari itu juga pasukan TRI harus keluar dari Bandung Selatan. Ia juga menawarkan 100 buah truk untuk pengangkutannya. Nasution memberikan jawaban bahwa ia tidak mungkin menerima tawaran itu karena yakin akan terjadi insiden-insiden tempur, dan bahwa rakyat akan ikut TRI.
Kolonel Hunt menukas bahwa rakyat ingin tenteram, kecuali bila diintimidasi oleh tentara. Hunt mau menjelaskan bahwa Bandung Selatan telah dikabari segala sesuatunya. Pamflet-pamflet akan akan dijatuhkan pada hari Sabtu sore. Wali kota sudah menyatakan akan melaksanakan instruksi pemerintah RI dan akan menenangkan rakyat dengan pidato lewat radio.
Setelah itu Nasution berbalik menyeberangi garis demarkasi dan dijemput oleh perwira penghubung Resimen 8, Letnan Sugiarto. Sang Letnan menunjukkan lubang-lubang di jalan yang telah ditanami bom-bom batok bekas KNIL. Setiba di posko, Kepala Staf menunjukkan sebuah telegram dari Yogya, isinya: “Tiap jengkal tanah tumpah darah harus dipertahankan.”
Nama Sugiarto sering kali disebut dalam kisah-kisah tentang Bandung Lautan Api dalam konteks cerita di atas, sebagai perwira penghubung yang menjemput Nasution dari markas tentara Inggris. Berikut ini adalah cerita-cerita lain yang mungkin tidak terlalu sering dijumpai. Cerita ini berdasar pada sebuah tulisan yang dimuat dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” (Markas Besar Legiun Veteran RI, Jakarta, 1982), yang ditulis sendiri oleh Letjen. TNI Pur. Soegih Arto.
PERWIRA PENGHUBUNG
Soegih Arto dilahirkan pada 22 Desember 1923 di Yogyakarta, suatu hari yang dirayakan oleh para ibu Indonesia di mana-mana. Keluarganya tergolong biasa saja sebagai amtenar kecil, perhatiannya hanya pada bagaimana caranya mendidik anak-anak agar menjadi orang yang baik. “Kalau saya membaca riwayat beberapa teman saya yang menyatakan, bahwa dulu ia berjuang, saya suka merasa minder, tapi kadang-kadang suka berfikir: Benarkah berjuang, atau itu ceritera sekarang setelah merdeka?” tulisnya.
Perhatiannya pada kiprah Ir. Sukarno baru tumbuh pada masa akhir kekuasaan Belanda, dan menjadi makin tebal setelah Jepang berhasil mengusir Belanda dan menduduki Indonesia. Kekalahan Belanda yang dramatis itu telah membuka matanya, bahwa ternyata mereka bukan bangsa yang superior. Hanya dalam beberapa hari, kekuasaan yang telah tertanam berbad-abad itu hancur luluh begitu saja.
Sebenarnya Soegih Arto merasa tidak ada hal istimewa yang dapat diceritakan dalm tulisannya itu, tidak merasa jadi pahlawan dan tidak merasa jago tempur pula. Soegih Arto malah merasakan ketakutan yang yang tak terhingga ketika mendengar tembakan-tembakan musuh, sehingga rasanya ingin buang air besar atau kecil. Tidak juga merasa telah mengorbankan sesuatu, karena waktu berjuang memang tidak punya apa-apa. Jadi, katanya, jangan mengharap Soegih Arto yang hebat, pahlawan bangsa, pejuang ulet tanpa bandingan. Pembaca tidak akan menemukannya, tapi bila mencari gambaran pemuda pejuang yang biasa, pembaca akan menemukannya sendiri.
Pada masa Jepang, Soegih Arto meninggalkan profesinya sebagai guru dan menjadi syoodanchoo dalam PETA. Kemudian bergabung ke dalam BKR, katanya, ia ikut ke sana ke mari jual tampang di kota Bandung. Malam-malam sering mendapat pelajaran dari Pak Hidayat yang lulusan Koninklijke Militaire Academie Breda, tentang pertempuran dalam kesatuan kecil. Setelah BKR berubah menjadi TKR, Soegih Arto menjadi ajudan untuk Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abudrachman, merangkap Perwira Penghubung (LO – liaison officer) dengan tentara Inggris yang ada di Bandung bagian utara, karena bahasa Inggrisnya dianggap yang paling baik. Menjadi LO tidak mudah dan berbahaya pula, karena bisa dicurigai oleh kedua belah pihak.

PERTEMPURAN SAPAN
Ketika bertugas sebagai Komandan Batalyon di Ciparay, Soegih Arto pernah mendapat bantuan dari pasukan dari Ciamis yang datang dengan pimpinan seorang Ajengan. Penambahan pasukan ini tidak dibarengi dengan penambahan senjata api karena sang Ajengan hanya membawa pasukan bambu runcing dan lebah-lebah. Konon Ajengan ini dapat mengubah bambu runcing menjadi senapan dan mengubah lebah-lebah menjadi peluru-peluru.
Dua hari setelah kedatangan pasukan dari Ciamis, terjadi pertempuran di Sapan, dekat Ciparay, dan sang ajengan menawarkan maju ke barisan depan untuk menetralisir kekuatan Belanda yang datang menyebrangi sungai Ci Tarum. Tembakan mortir mortir dengan gencar diarahkan ke batalyon Soegih Arto, dan dibalas sekali-kali saja karena harus menghemat peluru. Saat itulah Ajengan maju dengan gagah berani bersama pasukan bambu runcing dan lebah-lebah terlatih. Nahas, dengan segera mayat-mayat pasukan bambu runcing bergelimpangan. Ternyata mereka tidak kebal peluru.
Pada masa itu banyak sekali bermunculan ajengan-ajengan atau kiai-kiai yang menyatakan diri sakti, namun kenyataannya rungkad, bertumbangan. Soegih Arto mencoba melihat fenomena ini secara positif, karena mengalami sendiri bagaimana semangat pasukannya menjadi berkobar-kobar, keberanian meluap-luap, bahkan berani mati.
Bersambung ke Bagian 2
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung” Bagian 2 | Dunia Aleut!