Oleh: Komunitas Aleut
Berikut ini adalah cerita pengalaman E Soeratman pada masa Agresi Militer II Belanda yang tertuang dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” yang diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI (Jakarta, 1982). E Soeratman (selanjutnya “Soeratman” saja) yang dilahirkan di Cirebon pada 3 Februari 1923 memasuki dunia militer pada masa perjuangan dengan menjadi Komandan Pleton. Pada saat long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Cianjur, menjadi Komandan Kompi dalam Batalyon II Kala Hitam yang di bawah pimpinan Mayor Kemal Idris.
Soeratman adalah Komandan Kompi dalam Batalyon II Kala Hitam di bawah Brigade XII – KRU “Z” pimpinan Mayor Infantri Kemal Idris. Usai melaksanakan tugas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun pada awal bulan Desember 1948, terjadi serangan Belanda terhadap ibu kota RI di Yogyakarta, yang ketika itu juga menjadi kedudukan Batalyon Kala Hitam.
Pemimpin Angkatan Perang RI sudah mengeluarkan perintah agar semua kesatuan militer kembali ke daerah divisinya masing-masing untuk melanjutkan perang gerilya. Divsi Siliwangi pun harus kembali ke Jawa Barat. Soeratman yang bertugas sebagai Komandan Pleton Batalyon Kala Hitam mendapat perintah untuk menduduki daerah Cianjur sebagai pangkalan gerilya batalyon.
Perjalanan long march ke Jawa Barat sebenarnya juga bersifat penyusupan di dalam daerah-daerah yang dikuasai dan dijadikan pertahanan tentara Belanda. Sedapatnya pasukan Republik menghindari pertempuran yang tidak perlu, agar batalyon dapat sampai di pangkalan gerilya secara utuh. Long march batalyon dibagi ke dalam tiga etape, yang pertama adalah perjalanan sampai perbatasan daerah yang diduduki oleh Belanda, kedua di Jawa Tengah yang merupakan wilayah pendudukan tentara Belanda, dan ketiga daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat sampai ke pangkalan gerilya di Cianjur.
Di daerah-daerah yang berada dalam pendudukan tentara Belanda sudah tersusun pemerintahan sipil dan organisasi pertahanannya yang didukung oleh persenjataan dan peralatan yang kuat dan lengkap. Belanda unggul dalam mobilitas pasukan karena memiliki armada angkutan yang memadai serta kemudahan dalam menggerakkan pasukannya. Sementara pasukan Republik umumnya berada dalam berbagai keterbatasan yang mengharuskan untuk sangat waspada dan menjaga kerahasiaan pergerakan dengan sangat baik. Karena itu pula rute yang diambil haruslah yang diperkirakan berada di luar jangkauan musuh.
GERAKAN ETAPE PERTAMA
Tanggal 19 Desember 1948, Batalyon Kala Hitam beranjak meninggalkan Yogyakarta menuju Godean, ke Bruno, dan lanjung ke perbatasan yang diduduki oleh Belanda. Sama dengan kelompok-kelompok lain yang melakukan long march, kelompok ini pun menggunakan bantuan tenaga rakyat untuk pengangkutan amunisi, perlengkapan, dan untuk penunjuk jalan. Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, bantuan-bantuan rakyat ini sangat berguna dalam kelancaran gerakan pasukan.
Rintangan alam pertama adalah penyeberangan Kali Serayu di sekitar Banjarnegara. Kali yang mengalir sejajar dengan jalan kereta api dan jalan raya Banjarnegara-Purwokerto ini sudah berada dalam pengawasan musuh. Saat itu hanya ada jembatan gantung yang kondisinya sudah rusak dan harus diperbaiki menggunakan papan-papan. Pada malam hari dilakukan perbaikan dan mulai menyeberang subuhnya dengan penjagaan pasukan pengamanan. Perkiraan penyeberangan yang akan berlangsung dua jam ternyata melar sampai empat jam. Hal ini terutama disebabkan karena banyak anggota pasukan lain yang menyeberang dengan membawa keluarga. Untungnya patroli Belanda datang terlambat, seluruh rombongan sudah menyeberang dan pembongkaran jembatan sudah selesai pada pukul 08.00.
GERAKAN ETAPE KEDUA
Rute ini melalui lereng sebelah barat Gunung Slamet, melewati daerah Karangkobar menuju Bantarkawung, sampai perbatasan Jawa Barat. Daerah berudara dingin ini merupakan perkebunan jagung, sehingga rombongan pun hanya bisa makan jagung setiap hari. Mendekati jalan raya penghubung Purwokerto dengan Bumiayu sempat terjadi pertempuran yang berlangsung dari siang sampai sore dan pasukan musuh sudah mengundurkan diri. Rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju Bantarkawung-Salem. Setelah pertempuran itu, bisa dipastikan pihak musuh sudah akan mempelajari jalur jalan yang akan mereka tempuh dan akan melakukan pengadangan-pengadangan di sepanjang jalur itu. Benar saja, keesokan harinya musuh mengadakan serangan udara ke Bantarkawung. Saat itu Batalyon Kala Hitam sudah beranjak lebih cepat sehingga yang terkena serangan adalah pasukan lain di belakang mereka.


GERAKAN ETAPE KETIGA
Tanggal 1 Januari 1949 Batalyon Kala Hitam sudah memasuki wilayah Jawa Barat, dan hambatan di sini akan lebih berat, karena selain kekuatan tentara Belanda, juga ada pasukan DI/TII, dan Negara Pasundan ciptaan Belanda. Rute yang ditempuh adalah Gunungjawa, melalui Lemahputih, lalu menuju Dayeuhluhur dengan menyeberangi Kali Cimanuk di Kampung Cikaredok. Rakyat setempat membantu dengan menyediakan sampan-sampan untuk menyeberang, namun tentu saja terbatas jumlahnya, sehingga proses penyeberangan berlangsung lambat. Apalagi saat itu Kali Cimanuk sedang banjir. Di sini sempat ada serangan udara dari pihak Belanda, namun tidak ada korban.
Di jalur Nagreg-Cicalengka yang terbuka perjalanan terpaksan dilakukan sepanjang malam. Pagi hari saat konsolidasi pasukan, tiba-tiba ada serangan udara yang menimbulkan jatuhnya beberapa korban. Siangnya, perjalanan berlanjut ke Cijapati dan Majalaya. Saat posisi berada di Kampung Cipaku untuk menuju Paseh, ternyata musuh sudah mengadang. Tak ada jalan lain selain bertempur. Pertempuran berlangsung sampai sore hari dan musuh mengundurkan diri. Perjalanan dilanjutkan ke Paseh untuk konsolidasi.
Rute perjalanan dari Paseh sampai Cianjur kebanyakan adalah daerah perkebunan dengan jaringan jalan yang banyak. Kondisi ini cukup menguntungkan bagi musuh yang menduduki wilayah perkebunan. Rute Paling kritis di sini adalah Bandung-Pangalengan dan Bandung-Ciwidey.
Di Kampung Lemburawi, tempat pasukan akan menyeberangi Ci Tarum menggunakan jembatan yang ada, ternyata pihak musuh sudah menunggu dengan bren-carrier yang sudah terpasang di tempatnya masing-masing di seberang jembatan. Mau tidak mau harus bertempur merebut jembatan. Setelah cukup lama terjadi tembak menembak, pertahanan musuh dapat dihalau dan mereka mengundurkan diri ke arah perkebunan. Dalam pertempuran ini jatuh korban Letnan Moh. Sidik dan beberapa lainnya luka-luka. Batalyon Kala Hitam melanjutkan perjalanan malam hari ke arah Arjasari, Gambung, dan Ciwidey, karena semuanya merupakan kawasan perkebunan. Setelah Ciwidey, perjalanan selanjutnya ke Cianjur relatif aman.
Tanggal 3 Februari 1949 Batalyon II Kala Hitam tiba di Cianjur dengan total perjalanan long march ditempuh dalam 45 hari. Semua kompi sudah langsung siap mengadakan serangan-serangan terhadap kedudukan musuh. Pleton Soeratman bergabung dalam Kompi IV dan melakukan serangan terhadap kedudukan pasukan Belanda di Cibancet, Cianjur Selatan. Pasukan Belanda pun baru menyadari bahwa ternyata pasukan Indonesia sudah berada di daerah yang mereka duduki.
Soeratman menutup tulisannya dengan kalimat berikut ini: “Kami dapat menguasai dan membina teritorial secara efektip berkat adanya kemanunggalan TNI dengan rakyat, yang merupakan landasan pokok dalam perang gerilya.***

