Ditulis oleh: Aditya Wijaya (@adityanism)

Catatan ini merupakan lanjutan rangkaian tapak tilas dan kunjungan lapangan menemui jejak tokoh-tokoh sejarah Bandung. Untuk perjalanan hari ini, 29 Januari 2022, kami beri judul “Momotoran Tendjonagara.” Tenjonagara adalah nama administratif sebuah desa untuk semua kawasan yang kami kunjungi hari ini.
Singkatnya, pagi ini kami sudah tiba di Pabuntelan dan mencari satu lokasi di dalam hutan yang dalam sebuah tulisan dan cerita kawan-kawan Aleut angkatan sebelumnya disebut sebagai Padaleman (= tempat yang berada di dalam). Bagi angkatan lama, nama ini tentu bukan nama baru dan sudah cukup sering dibicarakan juga dalam obrolan tentang jejak-jejak Dipati Ukur di Pabuntelan.

Kami baru saja tiba di satu saung di dalam hutan pinus yang disebut oleh warga sebagai Tegal Alun-alun. Naik turun lembah serta jalanan setapak yang berlumpur dan becek itulah jalur jalan yang kami lalui barusan. Sudah satu jam lebih kami berjalan dari pintu masuk kawasan Curug Roda, namun belum ada tanda-tanda keberadaan tempat patilasan Dipati Ukur yang disebut Padaleman itu. Petunjuk sederhana yang kami jadi patokan lokasi ini adalah keberadaan sebuah pohon beringin tua, kolam atau danau kecil, makam, dan batu lingga, seperti yang diceritakan dalam tulisan tersebut.
Sebelumnya, ketika kami istirahat di warung atau saung pertama di jalur ini, saya menanyakan keberadaan makam atau patilasan di kawasan Curug Roda kepada seseorang yang hendak pulang dari sini. “Punten A ai makam teh ka palih mana nya?” tanya saya. “Oh bade ka makam mah tuturkeun we jalan ka arah Curug Roda, engke aya percabangan, ka arah kanan we ka lebak. Ngan punten we upami bade ka makam mah hatena kudu lurus, sok seeur anu nyasab didieu mah Jang, kade bisi kunanaon we” ujarnya. Jawaban ini cukup membuat saya menarik nafas panjang, rasanya kami akan menuju ke tempat yang istimewa (sambil berusaha memberanikan diri).
Tak selang lama kami bertemu dengan Pak Ayi seorang petani kopi di sini. Kami menanyakan kembali keberadaan patilasan. Kata Pak Ayi, terus saja ikuti jalur ini, tapi setelah berjalan cukup lama, jalur jalan ini terhenti karena di depan buntu, hanya ada aliran sungai, terpaksa kami harus back track. Kami juga coba untuk berbelok ke percabangan lain yang mengarah ke barat siapa tahu di sana ada petunjuk lain, namun jalur jalan pun kembali samar dan mengecil. Akhirnya kami kembali ke Pak Ayi, dan kebetulan saja ada teman Pak Ayi yang bersedia mengantar kami ke ke sebuah makam.
Ternyata ada percabangan jalan lain yang menurun ke arah bawah dari bukit. Kami seharusnya belok di sini jika ingin ke patilasan. Saya jadi teringat percakapan di Tegal Alun-Alun dengan seseorang yang hendak pulang tadi dan di sini kami diberi tahu bahwa mereka baru pulang berziarah dari makam. “Awas, gampang kesasar di sini mah.” Rasanya kami memang perlu diantar oleh seseorang yang tau lokasi patilasan yang kami cari.
Dari kejauhan terlihat dua buah saung, dan tiba-tiba saja rasa hening, teduh, dan dingin mulai menyeruak. Sepanjang jalur ke makam ini kami banyak melihat tumpukan bebatuan yang tersebar di sana-sini. Entah itu batu dari zaman kapan. Dua pohon beringin kembar besar yang rasanya sudah cukup tua mengapit makam. Ah akhirnya kami tiba juga di Padaleman.
Menurut Pak Komar, seorang warga yang ditemui Aleut ketika mengunjungi Pabuntelan tahun 2017 mengatakan bahwa pada masa Dipati Ukur, “Padaleman itu adalah tempat berkumpul dan bermusyawarah.” Setelah eksplorasi sana sini di area makam, ternyata kami tidak menemukan lingga atau pun batu bundar. Gambaran mengenai makam kecil, pohon beringin tinggi, sebidang tanah berbentuk persegi yang diberi pagar bambu, sebuah lingga batu, sebuah batu bundar, dan beberapa batang pohon paku haji seperti yang dijelaskan dalam buku “Preanger Schetsen” oleh P. de Roo de la Faille rasanya bukan di Padaleman melainkan di Pabuntelan. Berarti P. de Roo de la Faille waktu itu belum sempat mengunjungi Padaleman, dan memang sih di dalam bukunya pun tidak menyinggung soal Padaleman ini.


Pasir Ipis
Setelah dari Padaleman kami kembali bertemu Pak Ayi. Kami kembali menanyakan keberadaan makam atau patilasan lain di sekitar sini. Ternyata terdapat dua makam lagi yaitu Makam Mbah Bereum Dada dan Makam Dipati Ukur. Kami awalnya ingin pergi ke Makam Mbah Bereum Dada yang menurut Pak Ayi jaraknya cukup dekat. Namun setelah lama berjalan ke arah atas bukit, kami tidak menemukan adanya makam. Berbekal informasi dari Pak Ayi kami lanjutkan perjalanan menuju Pasir Ipis (sebuah bukit yang berada di arah selatan dari Padaleman).
Pohon bambu dan tumpukan bebatuan di sisi kiri jalan menemani kami menuju Pasir Ipis. Setelah melewati sekumpulan hutan bambu yang cukup rimbun, munculah sebuah tegalan yang cukup luas. Tegalan ini sangat terbuka dan tidak ada pepohonan yang tumbuh. Terdapat batu-batu yang tersusun berjejer seperti undakan-undakan pada sawah. Kira-kira tempat apa ya ini?

Di sini kami berpapasan dengan Mang Dadang dan temannya. Mereka ini adalah warga lokal para pencari madu odeng. Mang Dadang hendak pergi ke Pasir Ipis. Beliau bilang bahwa jika ingin ke Pasir Ipis lebih baik lewat bawah percabangan Tegal Alun-Alun, jika lewat sini medannya akan sangat sulit. Kami juga tanya nama area tegalan ini. Beliau mengatakan bahwa ini masih wilayah Padaleman, dan tegalan ini merupakan bekas perkemahan zaman karuhun.
Rasanya hari ini kami tidak bisa melanjutkan ke Pasir Ipis, mengingat jalurnya yang sulit dan kami tidak memiliki persiapan apapun untuk menempuh medan seperti itu. Oh ya menurut informasi dari Pak Ayi dan Mang Dadang di Pasir Ipis terdapat sebuah makam, masyarakat sekitar menyebut makam yang berada di Pasir Ipis itu sebagai Makam Dipati Ukur. Jika memang benar begitu, berarti ini dapat menambah daftar lokasi yang diduga atau dipercaya sebagai makam Dipati Ukur dalam buku “Ceritera Dipati Ukur” karya Pak Edi S Ekadjati. Mungkin pada kesempatan lain kami akan kembali lagi ke sini untuk mengunjungi Pasir Ipis.

Di kawasan Curug Roda ini masih ada beberapa makam lain yang belum diketahui apa-siapanya. Sayang, tidak ada informasi siapa-siapa kuncen atau warga yang dapat kami tanyai untuk mendapatkan informasi lebih banyak.
Kami akhiri Momotoran Tendjonagara ini dengan beristirahat di Curug Roda. Katanya sih ini baru curug pertama, dan masih ada dua curug lainnya yang letaknya terpisah. Sampai jumpa dalam perjalanan berikutnya ya.
* * *