Ditulis oleh: Deuis Raniarti
Belakangan ini di grup whatsApp kami agak banyak membahas tokoh Dipati Ukur dan berbagai tinggalannya, terutama beberapa nama tempat yang tertulis di buku Ceritera Dipati Ukur karya E. Suhardi Ekajati (1982). Salah satu nama tempat yang cukup penting adalah Pabuntelan yang disebut sebagai ibu kota Tatar Ukur, namun tak banyak orang yang menceritakan kondisinya sekarang, jadi kaya apa ya lokasi Pabuntelan sekarang?
Buat pengantar momotoran kami kali ini, seorang teman menyalinkan teks dari buku yang disebut barusan: Lokasi ibukota daerah Ukur, terletak di suatu tempat yang disebut Pabuntelan, termasuk desa Tenjonagara, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Hingga akhir abad yang lalu di tempat itu masih didapatkan kuburan, piagam, naskah, tumpukan batu, dan benda-benda lain yang dianggap keramat (P de Roo de la Faille, 1895:7-8). Peninggalan-peninggalan tersebut sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Barangkali hanya sebuah kuburan dan kepercayaan sebagian kecil penduduk yang masih bersisa kini. Utunglah piagam-piagam tentang pengangkatan atau pengukuhan juru kunci tempat keramat tersebut masih dapat diselamatkan dengan dibuatkan salinannya. Salinan piagam-piagam itu terdapat di Universiteit Biblotheek Leiden sebagai naskah dengan kode Lor,8294.
Selanjutnya dikutipkan juga sebuah penjelasan dari bagian lain buku itu: Naskah tersebut ditulis di atas selembar kertas minyak berukuran besar. Ada enam buah piagam dan beberapa buah tulisan lain yang tidak terbaca tercantum dalam naskah itu. Seluruhnya ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa dan huruf Jawa-Sunda, kecuali kata keterangan yang kiranya dibuat oleh penyalinnya menggunakan huruf Latin dan bahasa Melayu. Keterangan itu berbunyi “Ini toelisan di lontar dari Kramat Pawoentelan district Tjipeudjeuh afdeeling Tjitjalengka, inie bekasnja Adipati Oekoer jang berperang sama Mataram tempo Soeltan Agoeng.”
Sebenarnya isi naskah dan terjemahannya juga dimuat dalam buku karya Pak Ekadjati tersebut, tapi ini baru disadari kemudian, beberapa hari setelah kegiatan momotoran ini berlalu.
Aku memeriksa tas beberapa kali sebelum berangkat, memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. “Hmmm, apa ya yang kurang?” Pertanyaan itu tak terjawab, perasaan semua sudah lengkap. Motor kami segera melesat menuju daerah Ciparay.
Sebenarnya minggu lalu kami juga sudah ke Pabuntelan untuk mencari satu lokasi yang mirip dengan foto yang kami bawa, sebuah tempat dengan pohon beringin dan mungkin sebuah danau kecil atau kolam di bawahnya. Namun sayang, lokasi persisnya belum kami temukan. Makanya, hari ini kami akan melanjutkan perjalanan hingga ujung jalan yang belum sempat kami datangi minggu lalu, yaitu Curug Roda.
Belakangan ini Curug Roda sepertinya sedang dikembangkan untuk menjadi suatu kawasan wisata alam. Cukup banyak orang datang, baik untuk jalan-jalan atau yang mau kemping. Tapi banyak juga ternyata yang datang bukan dengan tujuan wisata, di antaranya para pengumpul getah pinus dan yang hendak berziarah ke tempat tertentu di kawasan Curug Roda. Kami sendiri datang dengan tujuan yang berbeda, mencari info mengenai Pabuntelan, Padaleman, dan peninggalan yang masih mungkin ditemui. Konon di kawasan hutan masih ada beberapa makam atau patilasan, ke sanalah kami pergi sembari mencari informasi ke orang yang kami temui di sekitar lokasi. Ga ada ekspektasi apa-apa, jauhnya segimana atau medannya kaya gimana. Pokonya hayu aja.


Pagi-pagi kami sudah tiba di Pabuntelan yang saat ini sudah berubah nama menjadi bagian dari Desa Tenjonagara. Sebuah kampung biasa dengan sawah-sawah dan bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Sebelah selatan dan barat berbatasan dengan kawasan ladang dan lebih ke selatan lagi merupakan kawasan hutan pinus sampai ke lereng Gunung Malabar.
Sama sekali tidak terlihat kekunoan di kampung ini. Tidak ada apa-apa yang membuat kami otomatis membayangkan rupa kampung ini pada masa Dipati Ukur. Bahkan banyak penduduk yang tidak tahu-menahu juga informasi seputar masa lalu kampung.
Di ujung kampung, ada jalan kecil ke arah ladang-ladang. Kami berjalan santai saja dan setelah sekitar 20 menit berlalu, kami tiba di suatu tempat yang disebut Tegal Alun-alun. Tempat ini ditandai dengan saung dan tanah kosong yang cukup luas dibanding dengan tanah di sekitarnya yang hampir penuh dengan pinus. Kami bertanya kepada orang yang sedang beristirahat di sana, meminta petunjuk jalan menuju ke makam atau patilasan yang mungkin ada di sekitar. Jawabannya, lokasinya engga jauh dari sini, ikutin jalan dengan niat lurus, agar makamnya ketemu dan kita tidak disesatkan sehingga tidak menemukan jalan menuju makam. Ya, setahuku sih, kita tidak boleh asal bicara (sompral) juga, intinya harus menjaga tingkah laku dan perbuatan.


“Duh, kudu nyaho taneman naon nu bisa dimakan selama di hutan,” Begitulah celotehan Adit ketika kami mulai lelah. Dan aku mulai menyadari kalau yang kurang dari isi tasku adalah perbekalan untuk perjalanan.
Sebagian tanah kosong di kawasan ini dimanfaatkan para pengumpul getah pinus untuk ditanami berbagai tumbuhan. Meski belum berbuah, namun aku bisa menebak apa saja yang mereka tanam. Ada kopi, kacang tanah, terong, cabai, kunyit, jahe, dan takokak. Mungkin juga ada jenis tanaman lain yang luput dari perhatianku. Selain yang ditanam oleh petani, ada juga tanaman-tanaman liar yang bisa dimakan, diantaranya adalah borostrong a.k.a sintrong, tapi ya tidak membuat kami memakannya juga saat itu. Ah daripada mikirin makanan, mending jalan lagi aja.
Satu jam lagi berlalu, kami sudah cukup jauh masuk hutan, tetapi makam, patilasan, atau peninggalanya belum juga ketemu. Aku memperhatikan pohon pinus di sekitar, getah pinusnya masih penuh, artinya masih belum ada orang yang sampai ke sini. Kami menyusuri jalan-jalan percabangan yang lain, namun jalannya semakin samar karena tidak ada tanda jalan setapak. Mending putar balik, dan nyari orang saja buat nganter.


Tak berapa lama kami berjalan, kami bertemu dengan seorang bapak, beliau berbaik hati akan mengantar kami ke lokasi makam yang sering didatangi orang untuk berziarah. Katanya, di hutan ini ada beberapa makam, tapi beliau hanya tahu makam yang ini saja. Jalan menuju lokasinya memang sedikit tersembunyi, seperti bukan jalan yang biasa dilalui.


Setelah sampai, kami tidak menemukan tempat yang persis seperti di foto, tidak ada informasi apa pun yang kami temui, peninggalan lainnya pun rasanya tidak kami lihat, kecuali beberapa batu baru yang tersusun di beberapa titik. Setidaknya, kami menemukan beringin kembar seperti yang diceritakan di salah satu buku yang kami baca.
Kami bertanya-tanya lagi kepada orang lain yang kami temui lagi di hutan. Beberapa lokasi makam ternyata jaraknya cukup jauh dari sini, medan yang harus dilalui pun cukup terjal. Sepertinya perlu waktu khusus untuk kembali lagi. Ada beberapa lokasi yang sudah dicatat untuk kami datangi lain waktu. Sebelum kembali ke Pabuntelan, kami menyempatkan mampir ke Curug Roda terlebih dahulu.
Waktu menunjukkan pukul 2 siang ketika kami sampai kembali di gerbang depan. Sudah tidak ada lagi orang-orang yang tadi pagi kami temui. Kami beristirahat sejenak, lalu menuruni bukit menuju jalan pulang.
Setelah membaca, berdiskusi, dan menemui orang di sekitar kawasan ini, kami meyakini bekas lokasi Pabuntelan berada di bawah, sebelum kawasan Curug Roda, dan ditandai dengan keberadaan pohon beringin kembar. Sudah tidak ada lagi kawasannya, sekarang jadi persawahan saja yang meluas di lembahan bawah sana. Jadi dalam dua minggu ini kami sudah dua kali mengunjungi lokasi yang sama yang pernah dikunjungi oleh rekan-rekan di atas angkatan kami, dan yang dikunjungi oleh Pak Ekadjati pada Oktober 1976 bersama rombongan mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, dan tentunya juga oleh P. de Roo de la Faille pada tahun 1894.
Ya begitulah potongan cerita perjalanan kami mencari informasi yang mendalam tentang Tatar Ukur dan peninggalannya. Sampai jumpa di potongan cerita yang lain.

* * *