Catatan Perjalanan Ngaleut Bojongsoang (2)

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Lokasi Ngaleut kami berikutnya adalah Makam Luluhur Bupati Bandung yang ada di Dayeuhkolot. Sebelum lanjut, MagLex mengusulkan supaya kami mampir dulu ke rumah salah satu keturunan H. Rahmat Adam yang terletak tidak jauh dari komplek pemakaman. Kawan-kawan Aleut angkatan lama memang sebelumnya sudah pernah mampir untuk bersilaturahmi ke rumah ini di tahun 2016. Awalnya kami ragu-ragu untuk masuk, tapi akhirnya kami masuk juga.

Persinggahan pertama: Rumah Bu Marce, cucu dari H. Rahmat Adam

Panggilannya Bu Marce, nama aslinya yaitu R. Komala. Bu Marce ini adalah anak dari R.O. Soma di Nata, yaitu anak kelima H. Rahmat Adam. Bu Marce adalah anak kedua dari empat bersaudara keturunan R.O. Soma di Nata.

Seorang bapak menyambut kami dengan hangat, kami pun memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Bapak tersebut bernama Pak Candra, dan merupakan cicit H. Rahmat Adam, dan anak dari Bu Marce. Pak Candra adalah anak Bu Marce yang kelima dari sembilan bersaudara. Saat ini, rumah Bu Marce ditempati oleh Pak Candra dan ketiga anaknya.

Berbeda dengan kunjungan kawan Aleut tahun 2016 yang masih dapat bertemu dengan Bu Marce beserta suaminya, yaitu Pak Tadjuddin. Hari ini baru kami ketahui bahwa ternyata Bu Marce dan Pak Tadjuddin sudah berpulang. Pak Tadjuddin berpulang terlebih dahulu di tahun 2016, menyusul Bu Marce di tahun 2018.

Singkatnya, Pak Candra bercerita bagaimana hubungan keluarganya dengan H. Rahmat Adam yang ia sebut Eyang. Ia juga bercerita mengenai kedekatan ibunya yaitu Bu Marce dengan R. Ating Atma di Nata, yang disebut sebagai Uwa-nya. Memang sejak kecil, Bu Marce lebih dekat dengan R. Ating Atma di Nata dibandingkan dengan ayahnya yaitu R.O. Soma di Nata. Bu Marce suatu waktu pernah tinggal di rumah R. Ating Atma di Nata di sebuah rumah di Jalan Lengkong Kecil. Kedekatan inilah yang kelak membuat Bu Marce bertemu dengan suaminya yaitu Pak Tadjuddin saat bekerja sebagai pegawai honorer di Pemerintah Kotamadya Bandung.

Mengenai pengurus makam keluarga H. Rahmat Adam, Pak Candra menutukan bahwa dulunya makam keluarga tersebut diurus oleh keturunan dari R. Ating Atma di Nata yang ia sebut Ki Atma. Namun karena satu dan lain hal, akhirnya saat ini pengurus dan juga penjaga makam keluarga H. Rahmat Adam adalah Mang Dedeng.

Kurang lebih tiga puluh menit kami berbincang sebelum akhirnya pamit untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Kami kembali ke lokasi masjid untuk mengambil motor yang diparkir di sana.

Titik Ketiga: Makam Luluhur Bandung

Meskipun judulnya “Ngaleut Bojongsoang”, tempat yang kami datangi tidak hanya sebatas di Bojongsoang saja. Ya, anggap saja Bojongsoang dan sekitarnya. Lokasi Ngaleut kami berikutnya ini, yaitu Makam Luluhur Bandung, letaknya di Dayeuhkolot. Geser sedikitlah dari Bojongsoang.

Dalam waktu kurang lebih sepuluh menit perjalanan dari Masjid H. Rahmat Adam Al-Ianah, kami sudah tiba di Makam Luluhur Bandung. Tempat ini merupakan situs makam yang di dalamnya terdapat makam para Luluhur Kabupaten Bandung. Di gerbang depan tampak gapura bertuliskan “Makam Luluhur Bupati Bandung” serta nama-nama luluhur Bandung yang dimakamkan di sana dapat kita lihat pada plakat di tembok kiri gerbang.

(Kiri) Tampak depan gerbang Makam Luluhur Bupati Bandung. Foto: Inas Qori Aina

(Kanan) Nama-nama Tokoh Penting yang ada di Makam Luluhur Bandung. Foto: Inas Qori Aina

Saat kami tiba, keadaan makam tampak sepi dan terkunci, yang terdengar hanyalah suara anak-anak yang berasal dari SD yang terletak di depan makam. “Bel aja weh eta, penjagana sok sare”, ucap seorang warga saat kami menunggu. Setelah kami pencet bel, muncullah seorang aa-aa yang membukakan gerbang makam. Kami pun masuk.

Satu hal yang menarik perhatian saya saat masuk ke area makam ini adalah sebuah tulisan mengenai tata tertib ziarah ke makam keluarga keturunan para bupati Bandung. Salah satu isi dari tata tertibnya adalah mengisi buku tamu. Namun saat kami tiba, tidak ada buku tamu yang dimaksud serta tidak ada petugas makam yang mendampingi kami.

Tata Tertib di Makam Luluhur Bandung. Foto: Inas Qori Aina

Ada pula sebuah tulisan berbahasa Sunda yang mengharuskan kita membuka sandal/sepatu bila hendak masuk ke area salah satu makam utama. Lantai sekitar makam utama tersebut tampak kotor oleh debu serta dipenuhi oleh daun-daun kering yang berguguran. Saya menyayangkan keadaan ini, tampak seperti tak terurus. Padahal, tak lama kami tiba di sana terdapat seorang bapak-bapak yang datang menghampiri kami dengan menggunakan sandal lalu berkata, “Kotor ya, emang karena musim gugur”. Ya memang tidak salah juga sih..

Daun-daun berguguran di seitar makam. Foto: Inas Qori Aina

Di sini MangLex menceritakan kisah-kisah para tokoh yang dimakamkan di sini. Cukup banyak yang diceritakan dan rasanya sulit sekali untuk kembali saya ceritakan secara singkat di sini. Mungkin akan diceritakan lain kali potongan-potongannya di cerita yang berbeda nanti:D Kurang lebih setelah setengah jam mendengarkan cerita dari MangLex, kami pun bergegas untuk melanjutkan Ngaleut kami ke lokasi berikutnya yaitu Situ Sipatahunan.

Persinggahan Kedua: Batagor Kajojo, milik Asep

Tujuan kami selanjutnya dan yang terakhir adalah Situ Sipatahunan yang berada di Baleendah. Situ Sipatahunan ini memiliki kaitan dengan Oto Iskandar di Nata, jadi ya sekalian saja. Rencana awalnya, kami juga akan makan siang di warung yang ada saja di sekitar Situ Sipatahunan.

Niat awal langsung ke Situ Sipatahunan ternyata berubah karena kami mampir dulu ke warung batagor milik salah satu rekan kami, Asep, yang terletak di Indomaret Manggahang, Jalan Raya Laswi, Baleendah. Namanya Batagor Kajojo. Di sini kami ngemil, sedikit mengisi perut dengan batagor sebelum melanjutkan perjalanan ke Situ Sipatahunan. Buat Aleutian warga Baleendah dan sekitarnya silakan mampir ke Batagor Kajojo:D

Lokasi keempat: Situ Sipatahunan

Situ Sipatahunan menjadi lokasi Ngaleut terakhir kami. Kata MangLex, nama Sipatahunan itu nama kuno dari masa Kerajaan Sunda dan dipakai juga sebagai nama koran berbahasa Sunda yang berada di bawah pengelolaan organisasi Paguyuban Pasundan. Paguyuban Pasundan adalah salah satu organisasi tempat Oto Iskandar di Nata aktif semasa hidupnya. Tapi belum diketahui apa latar belakang penamaan Sipatahunan untuk situ buatan di sini.

Dari Jalan Raya Laswi kami berbelok memasuki Jalan Situsipatahunan. Langit sudah mulai mendung, rintik gerimis mulai turun dengan cepatnya. Kami yang hampir tiba di Situ Sipatahunan pun terpaksa berhenti terlebih dahulu untuk mengenakan jas hujan.

Hujan di Situ Sipatahunan. Foto: Inas Qori Aina

Tiba di Situ Sipatahunan, kami mencari warung yang dirasa bisa kami jadikan tempat untuk berteduh dan makan siang (lagi). Sayangnya, warung-warung yang ada di sekitar Situ Sipatahunan ini tampak tidak terawat dan kurang nyaman untuk kami singgahi. Belum lagi jalan tanah merah yang membuat jalanan menjadi licin. Karena kondisi yang demikian, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan Ngaleut Bojongsoang dan berhujan-hujanan kembali ke sekretariat Komunitas Aleut.

Ya begitu saja catatan saya tentang Ngaleut Bojongsoang. Seru mah sudah pasti dan tidak perlu diragukan lagi. Sampai jumpa di Ngaleut/Momotoran berikutnya!

Tamat.

*Akhirnya merasakan kembali huhujanan di kabupaten:D*

* * *

Iklan

Satu pemikiran pada “Catatan Perjalanan Ngaleut Bojongsoang (2)

  1. sudah lama tidak pernah “patroli” ke blog ini, ini juga untung nongol twitter. Terima kasih untuk mengingatkan saya, para penikmat sejarah kota Bandung dan sekitarnya. btw, saya baca dari part 2 artikel ini,.. hehehehe masih enak juga dibacanya, engga kerasa artikelnya kerasa masih kurang panjang. Dan lagi bagian membahas makam para leluhur kota Bandung yg warganya sendiri masih belum tahu kebaradaan tempat tersebut. Terakhir saya ke sana sebelum negara api melanda (baca covid19) ya memang betul tempatnya kotor kurang terawat, ya gimana lagi… untuk urusan sejarah masih banyak kurang diperhatikan saat ini. Terima kasih artikelnya, terus berkarya dan jaga kesehatan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s