Tadi malam, Rabu, 23 September 2020, seorang kawan mengirimi saya tautan ini melalui whatsapp, https://www.instagram.com/p/CFesnD_gO1n/?igshid=sdsmy3b3i8eh, tanpa berita tambahan apapun. Ketika saya buka, ternyata isinya beberapa foto surat nikah dan surat cerai Sukarno-Inggit dengan catatan di bawahnya yang menerangkan bahwa pemilik dokumen tersebut berencana akan menjualnya.
“Seorang bapak di Bandung menawarkan surat nikah dan surat cerai asli Presiden pertama RI Ir. Soekarno dan Ibu Inggit Garnasih. Beliau ternyata cucunya Ibu Inggit. Saya kaget pas baca dokumen sangat bersejarah ini, baru tau juga ternyata yang jadi saksi cerainya Bung Karno & Bu Inggit adalah Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH. Mas Mansoer,” begitu isi bagian awal catatan tersebut.

(Foto: @postoreindo)
Di bawah postingan foto tersebut, ada cukup banyak komentar. Macam-macam isinya, tapi kebanyakan menyayangkan rencana penjualan tersebut atau menyarankan agar dokumen itu diserahkan saja ke lembaga-lembaga pemerintahan atau museum yang dapat mengurusnya dan memamerkannya untuk publik.
Saya tidak mengikuti efek dari pengunggahan foto dan berita tersebut, tapi mendapatkan kiriman beberapa tautan berita lainnya yang menunjukkan keriuhan di luaran. Tak berapa lama, tautan-tautan ini segera bermunculan di grup-grup whatsapp yang saya ikuti.
Tautan berikut ini dari CNN Indonesia yang ikut memberitakan postingan akun @popstoreindo https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200924090948-20-550248/viral-surat-nikah-sukarno-inggit-dijual-sejarawan-prihatin. Fenomena ini tidak terlalu aneh, karena pernah terjadi juga sebelumnya, mungkin sampai beberapa kali, di antaranya seperti dalam berita tahun 2010 ini, https://nasional.kompas.com/read/2010/08/24/16144283/~Oase~Muasal. Di sini diceritakan bahwa Tito Zeni Asmarahadi, cucu Inggit Garnasih yang menyimpan dokumen tersebut, mengatakan akan menjual dokumen itu karena merasa kesal pada pemerintah daerah yang kurang memberikan perhatian. Padahal, pada tahun 1983 kedua surat bersejarah itu sudah pernah ditawar oleh sebuah yayasan di Belanda senilai 2 milyar rupiah.
Saya terpikir untuk menemui Pak Tito, yang kebetulan sudah lama juga tidak jumpa, untuk sekadar ngobrol sambil mencari tahu apa yang sedang terjadi sehingga ada unggahan soal rencana penjualan itu lagi. Dalam obrolan melalui telepon, rencana berubah. Jadinya, saya akan undang saja Pak Tito ke sekretariat Komunitas Aleut pada hari Minggu siang untuk ngobrol sambil minum kopi. Dengan begitu, saya dapat undang beberapa kawan di lingkungan pergaulan Komunitas Aleut untuk ikut hadir dan menyimak obrolan agar mendapatkan sedikit wawasan tambahan mengenai Sukarno, Inggit, dan berbagai kisah di baliknya.
Saya berpikir sebentar, bagaimana sebaiknya obrolan nanti dilangsungkan, paling tidak, agar dapat memberikan manfaat bagi kawan-kawan yang akan hadir nanti. Saya kontak lagi Pak Tito. Beliau keberatan bila mengundang awak media, karena kuatir hanya akan menambah riuh dan kusut pemberitaan saja.
Baiklah, saya pun tidak terlalu tertarik untuk ikut heboh dalam wacana penjualan dokumen itu dengan segala kontroversinya. Saya hanya merasa perlu mengikuti pemberitaannya karena ingin mengetahui bagaimana masyarakat mengapresiasi peristiwa ini. Buat saya, banyak hal yang sama atau mungkin lebih penting untuk dipertanyakan, misalnya, apakah soal rencana penjualan surat ini memang begitu penting untuk kita riuhkan, karena merupakan peninggalan Sukarno yang kemudian menjadi Presiden RI pertama? Bagaimana dengan peninggalan Sukarno lainnya yang (semestinya) juga banyak terdapat di Bandung?
Sekali waktu, masyarakat juga riuh ketika salah satu rumah hasil rancangan Sukarno (di Jalan Malabar) dibongkar. Banyak media memberitakannya, media-media sosial tak kurang ributnya. Tak kurang dari Walikota Bandung memerlukan datang ke lokasi dan melakukan penyegelan (https://kumparan.com/bandungkiwari/rumah-yang-disegel-di-jalan-gatot-soebroto-adalah-karya-sukarno-27431110790552120/full). Dua tahun berlalu, rumah yang katanya meninggalkan hanya 50% saja dari bangunan aslinya itu, masih terbengkalai seperti puing-puing saja. Masihkah masyarakat hirau dan riuh soal itu?
Bukan hanya rumah di Jalan Malabar itu saja karya Sukarno. Seharusnya, masih banyak rumah lainnya. Ada tiga rumah berjajar di Jalan Kasim (Asia-Afrika) yang entah masih utuh 100% ataukah sudah mengalami perubahan-perubahan? Lalu sebuah rumah di Jalan Gatot Subroto yang pada waktu saya kecil dulu pernah saya lihat ada plakat kecil di tembok depannya bertuliskan (kira-kira) “Rumah hasil karya Ir. Soekarno.” Rumah-rumah lainnya, ada di Jalan Kaca-kaca Wetan, Jalan Dalem Kaum, Jalan Pasirkoja, di Viaduct (masjid), dan lain-lain, apakah sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bandung, sehingga apa-apa yang akan terjadi pada rumah-rumah itu akan menuai reaksi dari masyarakat?
Saya kok masih merasa belum seperti itu. Berbagai informasi jejak sejarah di Bandung rasanya masih belum jadi bagian kehidupan, atau minimal pengetahuan, masyarakat Bandung sehari-hari. Bukan hanya jejak Sukarno, yang seharusnya cukup banyak karena pernah tinggal lebih dari 10 tahun di kota ini, tapi juga tokoh-tokoh nasional lainnya. Sebut saja nama-nama tokoh ini: Sjahrir, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Sosrokartono, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Moeis, atau bahkan Dewi Sartika. Apakah semua jejak mereka selama tinggal di Bandung menjadi pengetahuan masyarakat luas? Jangankan menjadi bagian pengetahuan, mencari informasi mengenai kehidupan mereka sehari-hari di Bandung pun sangat sulit.
Di mana saja mereka pernah tinggal di Bandung? Masih adakah rumah-rumahnya? Di mana kantor-kantor tempat mereka bekerja? Di mana rumah tinggal Abdoel Moeis? Di mana rumah tinggal Dewi Sartika? Sukarno-Inggit, Abdoel Moeis, atau Sosrokartono pernah tinggal di Jalan Pungkur, tapi di mana persisnya rumahnya sekarang? Atau paling tidak, lokasi bekas tempat tinggalnya. Sutan Sjahrir bersekolah di AMS Bandung, tapi di mana rumahnya? Moh. Hatta punya keluarga, dan tentunya rumah tinggal di Bandung, di mana persisnya? Tjipto Mangoenkoesoemo membuka praktik dokter di Tegallega, di mana persisnya? Dan seterusnya…

Kembali ke soal dokumen surat nikah dan surat cerai Sukarno-Inggit. Dokumen tersebut seharusnya berstatus benda cagar budaya yang akan dilindungi keberadaan dan kelanggengannya oleh undang-undang. Setelah mendapatkan status itu, tentu harus dipikirkan pula perawatan dan pemanfaatannya untuk jangka panjang. Paling tidak, dapat dipamerkan kepada publik, apakah melalui museum atau program-program yang berhubungan dengan keberadaan dokumen tersebut.
Jejak Sukarno-Inggit dan sekian banyak tokoh nasional lainnya yang pernah tinggal di Bandung, sudah selayaknya dilacak lagi, dicatat, dan ditulis dengan narasi sebaik-baiknya, lalu diperkenalkan kembali kepada warga Bandung. Bisa lewat kegiatan-kegiatan wisata sejarah Kota Bandung, atau dengan pembuatan signage atau plakat-plakat kecil di setiap tempat itu sebagai sebuah peringatan: “Sukarno Pernah Tinggal di Rumah Ini Tahun …,” “Ini Rumah Tinggal Abdoel Moeis pada tahun … …,” “Tjipto Mangoenkoesomo Pernah Buka Praktik Dokter di Rumah Ini,” “Ini rumah Dewi Sartika Setelah Menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,” dan seterusnya…

Maka, kumpul-kumpul dan bertemu dengan Pak Tito Asmara Hadi hari ini sebenarnya adalah dalam rangka membicarakan apresiasi sejarah yang lebih luas, lebih kontekstual buat masyarakat, dan perlunya kita mendapatkan berbagai informasi tentang jejak sejarah Kota Bandung yang lebih nyata dan lebih dekat dengan keseharian kita.