Oleh: Irfan Dary
Mobilitas kota yang berubah aneh, pemerintah harus terus berjalan walaupun babak belur, dan bisnis kehilangan pasarnya. Tiga mimpi buruk ini jadi realitas yang harus kita hadapi saat tulisan ini dibuat. Kehidupan sosial, ekonomi, bahkan spiritual warga kota terguncang secara mendadak saat pandemi merebak. Kita bisa tunjuk secara acak siapapun yang kita temui, pasti semuanya merasakan dampak pandemi ini. Fitrah kota sebagai tempat dimana semuanya serba cepat dan dinamis dipaksa melambat.
Kehidupan kota yang dinamis tidak bisa dilepaskan dari faktor pembentuknya. Ekosistem kota dibentuk dari dua hal, aliran orang asing yang konstan dan kerumunan yang anonim. Aliran orang asing yang konstan terjadi karena daya tarik ekonomi yang begitu besar dan mampu mengundang orang dari luar wilayah untuk mendapatkan potongan kue pembangunan. Hal ini kemudian menciptakan keragaman sekaligus kesenjangan antar warganya. Berbeda dengan di desa, warga kota bisa saja lebih menghidupi circle pekerjaannya daripada circle tempat tinggalnya dan hal ini tidaklah terasa aneh bagi pelakunya. Hal ini menjadi cukup mengerikan saat pandemi melanda. Kombinasi orang heterogen dan saling asing, bertemu dengan pandemi yang memaksa kehidupan dipindahkan ke lingkungan rumah menjadikan masa ini menjadi tantangan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Berbicara tentang kota sebagai ruang hidup, kota memiliki banyak sekali entitas yang hidup di dalamnya. Entitas-entitas tersebut saling berkolaborasi untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan setiap kota punya definisi masing-masing terhadap siapa saja yang hidup di dalamnya. Kota Bandung misalnya mengusung 5 komponen entitas kota dengan istilah ABCGM. Istilah tersebut terdiri dari Academic, Business, Community, Government, dan Media. Tapi mari kita sederhanakan jadi 3 entitas utama, yaitu Pemerintah (Government), Warga Kota (Citizen), dan Pelaku Bisnis (Business).
Dalam tulisan ini, kita akan bahas perubahan-perubahan yang terjadi dari 3 aktor utama kota tersebut. Warga kota dan mobilitasnya yang bergeser, Pemerintah yang energi dan pendanaannya terkuras, dan bisnis yang kehilangan pasarnya. Di beberapa bagian, secara spesifik tulisan ini akan menbahas mengenai Kota Bandung sebagai domisili dari Komunitas Aleut.
A. Mobilitas yang Bergeser
Saat persebaran pandemi mulai terlihat, protokol darurat diaktifkan dan memaksa warga kota untuk mengurangi ruang geraknya. Hal ini pasti berdampak pada kondisi jalanan yang mendadak menjadi sepi. Jalanan yang tadinya bising dan hingar bingar mendadak sepi. Hal ini terlihat dari data yang diolah oleh Google terhadap pusat-pusat keramaian di Indonesia yang dalam sekejap bergeser ke area pemukiman. Dalam Google COVID-19 Community Mobility Report, terlihat secara umum hal ini terjadi secara serentak di seluruh wilayah Indonesia dan tentu delta perubahan yang paling signifikan terjadi di area perkotaan.
Data di Jawa Barat tersebut menunjukkan area transit transportasi terdampak paling parah dari sisi keramaian. Semua tempat umum berkurang keramaiannya, tapi tidak dengan area pemukiman yang justru bertambah ramai. Wajah kota menjadi sangat asing ketika gedung-gedung perkantoran, hotel, dan mall tetap berdiri kokoh sementara jalanan disekitarnya sepi seperti pedesaan.
Dalam level kota, Pergeseran mobilitas ini juga tampak pada kunjungan ke Kota Bandung yang biasanya sangat tinggi pada saat akhir pekan. Data jumlah kendaraan saat PSBB menunjukkan penurunan mobilitas paling tajam justru terjadi di akhir pekan. Hal ini tentu berdampak sangat buruk bagi perekonomian Kota Bandung yang bergantung pada jasa dan perdagangan umum.
B. Pemerintah yang Terkuras Energinya
Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, disadari atau tidak, memiliki tugas utama untuk bertindak sebagai pembuat ekosistem. Ia berkewajiban membuat komponen kota lainnya, Warga Kota dan Pelaku Bisnis bisa berinteraksi dengan produktif. Jadi pada fitrahnya, pemerintah hanya perlu bertugas sebagai pihak yang membuat lingkaran tanpa perlu secara langsung ada dalam lingkaran tersebut. Cukup memastikan ekosistem terbentuk secara optimal, lalu membiarkan algoritma sosial berjalan dengan bebas. Saat ekosistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, disitu lah tugas lain harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu memperluas akses dan mengkoreksi pasar. Pemerintah punya peran yang dominan dalam membangun dan memelihara ekosistem agar berjalan produktif.
Ditengah kesulitan ekonomi saat pandemi, mungkin banyak orang yang berfikir, “pemerintah kan uangnya pasti banyak, gak mungkin terpengaruh lah” atau “gak perlu uang juga bisa tetep kerja dong”. Walaupun berbeda dengan dunia bisnis dimana profit adalah tujuan utama, pemerintah pun sangat bergantung pada pendanaan untuk menjaga ekosistem kota agar tetap produktif. Salah satu sumber pendanaan utama pemerintah adalah dari pajak. Saat ekonomi melemah dan pajak-pajak yang sifatnya transaksional (hanya bayar saat transaksi dilakukan seperti pajak restoran) menurun drastis, tentu tenaga pemerintah untuk membangun banyak hal akan melemah juga.
Menurut UU Nomor 28 tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kota/kabupaten hanya boleh mengelola mengelola 11 mata pajak.
Melting Pot vs Salad Bowl
Secara kasat mata, kategorisasi pajak terlihat sangat bergantung dari pajak-pajak transaksional yang saat ini sedang melemah. Tapi dampak pelemahan dari pendapatan tak hanya berhenti disitu. Negara kita dan kewilayahan dibawahnya menggunakan melting pot model dalam pengelolaan pendapatan negara/daerah.
Dengan melting pot model, Semua pendapatan digabungkan ke dalam satu “kantong besar” kemudian baru disalurkan ke pos-pos yang ada. Artinya walaupun ada sektor pajak yang lebih menghasilkan, pendapatan tetap digabung dan bisa menutupi kekurangan dari sektor pajak yang lain. Tapi, model seperti ini pula lah yang membuat seluruh pos pengeluaran pemerintah melemah saat ada satu atau dua sektor pajak yang menurun pendapatannya. Hal ini membuat efek domino yang cukup parah saat pandemi seperti ini.
Model pajak yang berbeda diterapkan di negara lain seperti Amerika Serikat. Mereka menerapkan salad bowl model untuk pengelolaan pendapatan negara dimana pendapatan yang masuk hanya bisa dialokasikan untuk sumber dananya. Misalnya, pajak kendaraan bermotor hanya boleh disalurkan untuk pemeliharaan dan pengembangan jalan. Negara yg menerapkan salad bowl model hanya akan dilemahkan dari sektor yang pemasukannya berkurang itu, tapi dilemahkan sangat dalam.
Dipakai untuk apa pajak kita?
Muncul pertanyaan, “oke pendapatan pajak menurun, tapi memangnya kalo ada dipakai untuk apa?”. Menurut Permendagri 90 tahun 2019, ada ribuan kode rekening yang bisa digunakan untuk pembelanjaan pemerintah, tapi dari ribuan kode rekening itu sebetulnya hanya tiga muara penyaluran anggaran.
Kita ambil contoh trotoar. Semua pembelanjaan pemerintah terkait trotoar harus memungkinkan trotoar tersebut untuk dibangun dan bisa digunakan dengan baik, ditingkatkan fasilitas pendukungnya supaya nyaman digunakan, dan dipelihara agar bisa digunakan secara efektif dalam waktu yang lama.
Dari contoh tadi kita bisa lihat bahwa dengan anggaran yang jadi sangat terbatas, maka semakin banyak fasilitas kota yang terbengkalai. Banyak rencana pengembangan dan peningkatan layanan yang harus dibatalkan karena anggarannya tidak ada atau dialihkan untuk penanganan Covid. Sebagai pengelola ekosistem pun pemerintah tak berdaya untuk menjaga ekosistem kota agar terus terkoneksi secara produktif.
C. Bisnis Yang Kehilangan Pasar
Pengurangan aktifitas di dalam kota yang terpaksa dilakukan oleh pemerintah membawa dampak yang sangat terasa bagi dunia bisnis. Saat kota menjadi sepi, seketika pula bisnis banyak kehlangan konsumen, apalagi bisnis yang bergantung pada pola ekonomi konvensional. Hal ini langsung mengantarkan ekonomi kita ke jurang krisis. Kesulitan ekonomi seperti saat ini mengingatkan kita pada krisis moneter tahun 1998. Berkaca pada dua situasi itu, mungkin secara reflek kita akan mengingat kembali bagaimana kita dan negara kita bisa selamat dari dua krisis itu. Tapi sebetulnya krisis tersebut sangat berbeda dengan kondisi yang saat ini kita hadapi. Selain sumber krisisnya yang berbeda, situasi ekonominya pun amat sangat bertolak belakang.
Krisis ekonomi 1998 dimulai dari sektor finansial, sehingga usaha yang terdampak paling parah adalah yang memiliki akses terhadap produk keuangan atau lalu lintas ekspor impor sehingga sektor UMKM nyaris tak terpengaruh dengan krisis dan bisa jadi ujung tombak saat restrukturisasi ekonomi di tahun 1999. Tapi, krisis kali ini terjadi di sektor riil atau hilir bisnis, dimana masalah utama adalah daya beli yang menurun. Dan saat ini sektor UMKM justru jadi korban pertama.
Selain dari karakter krisis yang berbeda, karakter ekonomi kita pun saat ini berbeda. Saat 1998, perputaran ekonomi masih terpusat di kota-kota besar dan rantai pasok masih kaku dan konvensional. Berbeda dengan saat ini dimana dengan pesatnya penetrasi internet dan jalur logistik, semua orang bisa mendapatkan barang dari mana saja. Selain pola perdagangan barang yang berbeda, pola perdagangan jasa pun semakin kompleks dengan munculnya fenomena gig worker yang memungkinkan orang bekerja untuk siapa saja tanpa terikat hierarki karir. Kemajuan ini yang membuat semua orang menjadi aktor ekonomi aktif dan saling bergantung satu sama lain sama kuatnya. Hal ini yang memperparah efek domino yang terjadi saat aktifitas ekonomi secara serempak melemah.
D. Lantas Kita Harus Apa ?
- Buat inisiatif kolektif dengan menjadi mediator dari usaha lokal, terutama yang sedang terpuruk. Bisa dengan menyebarkan di simpul komunikasi terdekat, atau membeli barangnya jika memang diperlukan.
- Kurangi utang. Apabila memungkinkan, lunasi. Beban utang bisa memperburuk kondisi keuangan
- Siapkan uang tunai sebagai dana darurat. Berhenti berlangganan layanan yang tidak digunakan. Alihkan uang tersebut ke dana darurat atau untuk berinvestasi (jika masih ada “uang dingin”)
- Perluas wawasan dan keterampilan untuk survive dengan mengikuti kursus, pelatihan atau seminar.
- Cari penghasilan tambahan. Saat kehilangan pekerjaan tetap, masih ada pemasukan dari bisnis sampingan.
- Dari sisi penyebaran virus, tetap disiplin dengan protokol kesehatan. Kedisiplinan kita sebagai individu, berpengaruh juga pada kedisiplinan komunal lingkungan kita
Hasil survey persepsi PSBB yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung membuktikan bahwa setiap tindakan kita bisa berpengaruh bagi orang lain. Terlihat dari responden yang aktif keluar rumah saat pemberlakuan PSBB, menganggap bahwa orang yang mereka kenal pun melakukan hal yang sama. Jadi ketahanan kota terhadap pandemi bisa dimulai dari kita secara individu sebagai warganya.
***