Oleh: Deuis Raniarti
Ini cerita singkat saja melanjutkan cerita panen dalam postingan sebelumnya. Padi yang dipanen pastinya akan dijadikan beras, lalu jadi nasi. Selain menjadi nasi, beras juga sering dijadikan tepung dan selanjutkan dijadikan bahan pembuatan berbagai macam makanan ringan, seperti kue-kue jajanan pasar, baik yang basah atau yang kering. Salah satu penganan berbahan dasar beras yang agak unik, dan ini khas Cianjur, adalah sejenis kerupuk, namanya kutumayang.
Secara bentuk, kutumayang agak mirip dengan kue putu mayang yang biasa dijual di tukang jajanan pasar. Rasa putu mayang sedikit hambar, karena itu biasanya disiram gula cair dan terkadang ditambah parutan kelapa utuk memperkaya rasa. Berbeda dengan putu mayang, kutumayang bukanlah jenis kue, melainkan sejenis kerupuk yang rasanya asin. Kutumayang sering disajikan jika ada tamu, atau jika ada perayaan tertentu seperti hajatan pesta khitanan atau pesta pernikahan.

Saat hajatan, Kutumayang biasanya disajikan dengan makanan khas Cianjur lainnya.
Entah sejak kapan kutumayang ini hadir, namun ketika saya menanyakannya pada Uyut, beliau menjawab dari zaman uyut muda pun kutumayang ini sudah ada. “Wah, berarti kutumayang ini jauh lebih tua dari uyut ya?” ucap saya dengan nada bercanda seraya disambut dengan tawa dari uyut. Uyut sudah sepuh dan tidak ingat berapa usianya sekarang, namun jika boleh menebak, mungkin usia uyut tahun ini sekitar 80 tahun.
Membuat Kutumayang membutuhkan proses yang cukup panjang, apalagi pada zaman dulu alatnya masih terbatas, sehingga Kutumayang dibuat dengan cara tradisional. Beras dicuci dan direndam semalaman, lalu dikeringkan di atas nyiru (anyaman bambu berbentuk bulat). Dahulu tidak ada penggilingan beras seperti sekarang, maka lumpang dan halu menjadi peralatan wajib untuk mengawali pembuatan kutumayang.
Beras yang sudah kering ditumbuk dalam lumpang menggunakan halu sampai halus, lalu diayak hingga hanya tepung halus saja yang terkumpul. Selanjutnya, tepung dikukus selama setengah jam, lalu diberi bumbu yang terdiri dari bawang putih halus, garam, penyedap rasa, dan pewarna makanan. Adonan tepung lalu diberi air mendidih sambil terus diaduk, tekstur adonan tidak cair ataupun kental, lebih mirip adonan roti, tapi tidak lengket.
Selanjutnya adonan dicetak menggunakan cetakan khusus yang dibuat dari kaleng bekas sarden yang diberi lubang kecil di bawahnya. Cetakan ini sepasang dengan cetakan berbentuk kayu lonjong sebagai pendorong adonan agar keluar dari lubang kaleng sarden.
Cetakan kaleng sarden diisi adonan, kemudian cetakan kayu dipasangkan, selanjutnya cetakan ditekan mengarah ke loyang bulat. Saya sempat mencoba mencetak adonan agar berbentuk seperti pada gambar di bawah, tapi sayangnya saya belum begitu mahir, adonannya malah kesana-kemari tak berbentuk. Membagi fokus saat menekan adonan saja cukup sulit, apalagi harus memikirkan bagaimana bentuk yang harus diciptakan, ah saya tak sanggup.
Sebelum ada loyang, Uyut biasanya menggunakan daun nangka atau daun cokelat untuk alas kutumayang yang baru dicetak. Entah ada alasan khusus atau tidak kenapa Uyut menggunakan kedua daun itu.
Kutumayang mentah dikukus selama ±15 menit, selanjutnya diangkat dan disusun di atas anyaman bambu panjang bernama sasag. Sasag yang telah penuh lalu dijemur di bawah sinar matahari sampai kering. Setelah kering, baru bisa digoreng. Kutumayang akan mengembang seperti umumnya kerupuk ketika digoreng. Kutumayang yang sudah kering tapi tidak langsung dikonsumsi, bisa disimpan dan awet hingga berbulan-bulan. Kadang saya membawa bahan siap goreng ke Komunitas Aleut, biasanya sih setelah digoreng, tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Meleng dikit, piring sudah kosong lagi.
Nah, kira-kira seperti itulah proses pembuatan salah satu kerupuk khas Cianjur ini. Mau coba bikin? Saya juga masih penasaran dan sepertinya akan segera mencoba membuatnya sendiri di sekretariat Komunitas Aleut nanti.