Candu Tarawangsa

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

Pukul 4 sore aku baru pulang ke kosan setelah mengurus ini itu. Segera saja kusimpan tas di tempat penyimpanan dan langsung menuju kamar mandi. Aku harus mandi biar badan lebih segar setelah banyak kegiatan di akhir pekan ini.

Aku lepas bajuku satu persatu. Aroma kemenyan serta wewangian lain masih menempel di baju yang aku pakai kemarin malam saat ikut acara tarawangsa. Kalau kata Upi mah bau kemenyan itu kayak aroma terapi. Aromanya menenangkan.

Kok bisa sih aku ikut tarawangsa? Jadi begini loh ceritanya. Agenda akhir pekan bulan Agustus 2019 Komunitas Aleut sebenarnya tidak memasukan tarawangsa sebagai agenda lanjutan setelah kegitan Historace rampung. Historace sendiri merupakan acara yang diadakan oleh Disbudpar kota Bandung bekerja sama dengan Komunitas Aleut untuk memperkenalkan sejarah, salah satunya soal Bangunan Cagar Budaya (BCB) kepada generasi muda Bandung.

Keberangkatan kami ke acara tarawangsa diawali dari info mendadak yang dibagikan di WhatsApp Grup (WAG) Komunitas Aleut. Saat itu Mang Anggi membagikan poster yang berisi informasi pagelaran tarawangsa di Banjaran. Tepatnya di Kampung Gumuruh, Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung. Kami sedang makan bareng waktu itu di sebuah café di Jalan Naripan, Kota Bandung. Abang Ridwan yang juga hadir di café tersebut berseru mengajak kami untuk menonton tarawangsa nanti malam.

Kami sedikit ragu untuk pergi ke sana karena mepetnya waktu. Mengingat acara tarawangsa dimulai pukul delapan malam, sementara pukul tujuh malam kami masih berada di sini. Jarak tempuh menuju ke sana pun terbilang jauh dari tempat kami berada sekarang. Namun rasa penasaran akan tarawangsa Banjaran mengabaikan itu semua. Kami niatkan untuk berangkat dengan segala kemungkinan yang terjadi. Selepas makan bersama selesai, kami bergegas pergi dari café untuk terlebih dahulu berkumpul di sekretariat Komunitas Aleut yang berada di Jalan Pasirjaya, Kota bandung lalu melanjutkan perjalanan ke lokasi tarawangsa.

Malam itu hanya ada 9 orang yang ikut. Aku dan Upi berboncengan, Puspita sama Aip, Abang Ridwan sama Rani, Gistha sama Puteri dan Tony sendiri. Sepanjang jalan dari Pasir Jaya menuju Banjaran terbilang ramai. Ramai oleh rombongan orang berpawai obor. Iya, malam itu bertepatan dengan peringatan tahun baru islam. Maka tak heran jika aku menemui sejumlah pawai obor, sebab kegiatan tersebut lazim dilakukan sebagai peringatan hari tersebut. Untuk membunuh rasa bosan selama perjalanan aku iseng menceritakan soal pawai obor di kampungku. Obrolan yang asal sekali, memang, biar enggak ngantuk dan ketiduran di motor.

Kami sampai di pertigaan Cimaung, Kabupaten Bandung. Belok kanan terus sampai di Gumuruh. Sesampainya di sana, kami sedikit kesulitan untuk menemukan lokasi diadakannya tarawangsa. Kami pun bertanya kepada warga yang kebetulan berada di pinggir jalan. Mereka pun menunjukan jalan menuju tempat yang kami maksud. Mereka memberikan patokan bahwa lokasinya tak jauh dari Alfamart yang sudah kami lewati. Kami pun menuju titik lokasi sesuai petunjuk warga yang kami temui.

Baca Juga: Tarawangsa: Pengalaman Ekspresi Diri yang Magis dan Mistis

Sesampainya di sana, Tony berujar bahwa saat lewat di tempat ini, tadi ia mencium bau kemenyan. Nyatanya bau kemenyan itu berasal dari lokasi diadakannya Tarawangsa. Lokasi tarawangsa berada di dalam. Kami harus masuk ke gang untuk mencapai lokasinya. Enggak ada umbul-umbul atau dekorasi lainnya sebagai ciri adanya sebuah keramaian, hanya ada sebuah poster cukup besar terpasang di pinggir jalan.

Dari jauh terlihat sebuah bale pertemuan sederhana yang dihias janur dan dua buah lampu panggung. Aku dan sebagian kawan memarkirkan motor dan langsung menuju ke bangunan yang terbuat dari bambu itu. Kami menghampiri bapak-bapak yang sedang duduk ngariung, mungkin tuan rumahnya dari acara tersebut. Kami bersalaman dan saling menanyakan kabar. Ternyata si bapak ini sudah lama kenal Komunitas Aleut.

Menurut penuturan Utun selaku tuan rumah, acara malam ini bukan acara puncak. Sebab acara puncaknya akan diadakan keesokan harinya dari jam tiga sore sampai malam di kawasan gedung Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung. Sayangnya kami hanya bisa ikut acara malam ini saja dan memang prosesi Tarawangsanya yang ingin kami saksikan.

Ini pengalaman pertama kalinya buatku ikut Tarawangsa setelah sebelumnya aku melewatkan Tarawangsa di Rancakalong, Sumedang. Dari tulisan kawan-kawan Aleut aku dapat informasi bahwa hanya ada tiga daerah yang punya kesenian Tarawangsa, yaitu Rancakalong, Banjaran dan Tasikmalaya. Tarawangsa di Tasik malah sudah hampir punah. Mungkin sudah lama enggak dilestarikan. Entahlah. Aku saja baru tahu bahwa Tasik punya kesenian Tarawangsa yang memiliki nada yang bisa membuat seseorang hilang kesadaran atau trance. Padahal Tasik adalah kampung halamanku sendiri.

Sebelum tarawangsa dimulai ada atraksi sisingaan yang dipertontonkan di lapang sebelah Bale. Ada dua sisingaan yang tampil malam itu. Setiap satu sisingaan ditumpangi oleh satu anak yang ditopang oleh bahu empat pemuda. Terlihat para pemuda itu merupakan pemuda-pemuda yang tinggal di sekitar Gumuruh. Para pemuda melakukan sejumlah atraksi, kedua anak yang berada di atas sisingan terlihat enggak ketakutan dengan atraksi-atraksi tersebut. Padahal menurutku atraksi-aktraksi itu terbilang cukup berbahaya. Aku yang menontonnya saja ngeri dibuatnya. Hebat dan beraninya lagi, mereka melakukan atraksi itu tanpa alat pengaman satu pun.

Aku perhatikan banyak warga yang menonton. Anak kecil, remaja dan bapak-bapak serta ibu-ibunya menonton acara ini. Mereka memadati bale dan lapangan sekitarnya. Kalau mau lewat harus bilang punten biar orang yang berdiri di sana bisa memberi jalan.

Malam semakin larut. Rangkaian acaranya satu persatu sudah ditampilkan. Dari mulai pembacaan doa sebagai pembuka acara lalu dilanjut makan bersama atau dalam basa sunda namanya bancakan, kemudian atraksi sisingaan dan terakhir tarawangsa. Acara yang kami tunggu-tunggu sejak tadi. Namun menjelang tarawangsa dimulai penonton mulai berkurang, hanya bapak-bapak dan dua orang ibu-ibu yang masih bertahan di Bale. anak-anak kecil yang tadi ramai menonton atraksi sisingaan sudah pulang. Mungkin disuruh pulang oleh orang tuanya mengingat acara tarawangsa ini memang bukan untuk anak-anak. selintas aku mendengar obrolan soal tarawang. Mereka bilang kalau ikut tarawangsa harus nonton sampai akhir kayak nonton wayang. Kalau pulang di tengah acara suka ada gangguan yang diakibatkan oleh makhluk-makhluk tak kasat mata.

Cukup panjang doa-doa yang dirapalkan oleh bapak pemimpin dalam pembukaan tarawangsa. Di saat yang lain khusyuk berdoa, aku memperhatikan benda-benda yang ada di depan kami. Selain ada tumpeng dan makanan hasil bumi lainnya, ada juga keris, air bunga, minyak zafaron dan kemenyan yang sudah dari awal acara enggak berhenti mengepulkan asap. Keris itu dimandikan oleh bapak yang dituakan, mungkin ketua adatnya atau entahlah, setelahnya diolesi minyak wangi. Aroma minyak ini famililar buatku. Aroma-aroma yang biasa dipakai pada ritual-ritual perdukunan.

Dari semua orang yang hadir pada acara itu ada satu orang yang menyita perhatianku. Penampilannya berbeda. Ia memakai baju serba putih termasuk ikat kepalanya, sedang yang lain memakain baju pangsi hitam atau kaos dan kemeja hitam. Aip bilang laki-laki itu shaman, dukun tarawangsanya. Entah apa tugas dia lebih tepatnya dalam kesenian tarawangsa tapi dia adalah orang yang mengawali ngibing, menari dalam basa Sunda, sebelum orang-orang diperbolehkan ikut ngibing. Sebelum menari laki-laki berbaju putih itu memberi hormat kepada tetua yang tadi memimpin doa. Dia sungkem kepada laki-laki itu lalu bergeser ke hadapan laki-laki yang bertugas menyelenggarakan keseluruhan acara.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Di hadapan laki-laki itu ada tumpukan selendang berwarna-warni. Laki-laki berbaju putih mengambil dua buah selendang berwarna merah dan putih lalu ia melangkah ke tengah tepat di depan para pemain musik. Di situ itu ia duduk bersimpuh, memberi hormat ke segala penjuru mata angin. Ia melakukan gerakan demi gerakan memberi hormat itu dengan sangat perlahan. Musik mulai mengalun, ia mulai bergerak. Seolah sedang menjiwai tariannya, ia menari pelan sekali. Selanjutnya ia menari tak beraturan tapi tubuhnya bergerak mengikuti irama. Enggak ada koreografi khusus dalam tarawangsa. Para penari menari sebebasnya dan tentunya tanpa sadar atau trance.

Beberapa menit berlalu laki-laki berbaju putih ini selesai menari. Laki-laki yang memimpin acaranya lalu memberiku sebuah samping kebat, selembar kain berukuran panjang yang biasa dipakai ketika memakai kebaya. Aku disuruh memakai kain itu. Karena enggak bisa memakainya maka ia bantu pakaikan. Sebuah selendang hijau dililitkan ke pinggangku. Ternyata ini adalah persiapan dan persetujuan untuk ikut ngibing dalam Tarawangsa. Ketika kau memakai selendang dan kain ini makan artinya kau bersedia menari. Di sampingku, kulihat Puspita sedang memakai samping kebat juga. Rupanya ia mau ngibing juga. Puspita terlihat antusias sedang aku tertawa sambil bingung harus bagaimana.

Setelah selesai memakai kain aku dan Puspita dipanggil ke depan. Kami menghadap laki-laki yang membantuku memakai kain. Aku disuruhnya memanjatkan doa-doa yang aku mau lalu ia memintaku menaburkan kemenyan di atas perapian. Asap putih langsung mengepul di udara membawa aroma wanginya yang khas. Setelah itu aku disuruhnya memilih selendang. Aku pilih warna merah, Puspita memilih warna yang sama. Di tengah sudah ada penari yang sudah siap.

Aku mengambil tempat di sisi kanan si teteh penari. Aku sesekali melirik ke arah Puspita dan memperhatikan gerakannya. Siapa tahu dapat ide bagaimana aku harus menarik nanti. Karena enggak ada koreo jadi aku makin bingung bagaimana harus menari. 10-15 detik pertama aku rasakan tubuhku masih bergerak kaku. Masih bingung bagaimana ngibing teh. Jaipongan aja gitu? Atau nari topeng? Srimpi? Akhirnya aku putuskan untuk ikutin irama saja. Lalu detik kemudiannya aku rasakan tubuhku bergerak tak terkendali.

Aku menari layaknya orang yang terbiasa dengan tarian tradisional. Aku enggak hapal tarian-tarian tradisional. Dulu pernah belajar jaipongan sekali, itu pun waktu SD kelas tiga dan udah enggak ingat koreonya. Sambil meraba-raba kesadaranku, aku menari mengikuti musiknya. Semakin lama aku semakin menikmati menari. Entah dari mana aku mendapat ide untuk bergerak seperti itu tapi tubuhku tetap menari tanpa kendaliku. Aku, Puspita dan si teteh penari menari terus sampai musik berhenti.

Giliran para laki-laki yang menari. Kali ini shaman-nya, si laki-laki berbaju serba putih itu enggak ikut menari. Ia duduk di samping pemain musik. Tamu-tamu yang hadir dipersilahkan maju ke depan untuk ikut menari. Aip dan Upi diberi samping kebat, kain panjang itu dan dipersilahkan memilih selendang. Selain Upi dan Aip, ada dua orang yang ikut menari juga. Musik mulai mengalun. Aip dan yang lainnya mulai menggerakan badannya, masing-masing bergerak dengan gerakan yang sebetulnya aneh. Beberapa detik kemudian Aip mulai enggak terkontrol.

Alih-alih merasa takut aku malah enggak berhenti tertawa. Gerakannya Aip itu benar-benar enggak lazim untuk disebut sebuah tarian. Malah kayak orang lagi latihan bela diri. Di menit selanjutnya bahkan ia bergerak seolah sedang berenang, di menit yang lain ia menggerakan kakinya enggak beraturan. Selama kurang lebih 18 menit itu rasanya lucu melihat tarian Aip dan Upi. Tapi ketika Aip mulai bener-benar bergerak brutal aku mulai merasa ngeri. Takut Aip kenapa-napa kalau lama-lama dibiarin. Aip bergerak makin kasar. Shaman-nya bahkan harus turun tangan menghentikan Aip. Aku lihat ke arah Upi. Ia masih bergerak monoton. Sejak awal hanya itu-itu saja gerakan yang Upi tarikan, dan itu lucu. Maaf, Pi, tapi seriusan melihat kamu dan Aip menari adalah sesuatu yang jarang terjadi. Bahkan mungkin enggak bakal terulang lagi mengingat karakter dua temanku ini yang pendiam dan enggak banyak tingkah.

Kami menari bergiliran, setelah laki-laki lalu giliran perempuan, laki-laki lagi lalu perempuan lagi. Untuk kedua kalinya aku kembali menari, tapi ada rasa yang aneh. Tubuhku sudah terbiasa dengan musik tarawangsa, Puspita juga. Kami langsung menari ketika musik mulai bermain. Aku pikir ini makin aneh saja. Seperti kami ketagihan dan enggak mau berhenti. Ketika pemain musik mempercepat tempo lagunya kemudian berhenti ada perasaan masih ingin terus menari. Kami lelah tapi perasaan lebih nyaman. setelah menari aku dan Puspita saling menceritakan pengalaman ngibing tarawangsa. Kami mempunyai pendapat yang sama; bahwa ngibing tarawangsa ini punya efek samping adiktif. Kami ingin terus menari. Ini jelas bukan karena diakibatkan oleh keinginan magis.

Menurut temannya Arfin menari tarawangsa itu adalah media untuk meditasi melepaskan diri dari segala kepura-puraan. Saat ngibing itu artinya kamu ikhlas mengikuti maunya badan bergerak. perihal itu dikendalikan oleh kekuatan mistis atau bukan, mungkin kamu harus rasakan sendiri ngibing Tarawangsa baru bisa berkomentar sesuai yang kamu alami. Selain itu, si teteh penari bercerita bahwa Tarawangsa bisa jadi media terapi buat menyembuhkan penyakit. Ia bahkan rutin mengadakan tarawangsa untuk merayakakn ulang tahunnya. Ah, ya, satu lagi. Katanya lagi gerakan tarian masing-masing penari menunjukan karakter si penarinya. itu yang ia katakan setelah melihat Aip menari dengan brutal dan enggak terkontrol.

Benar atau tidak, aku enggak tahu. Yang pasti aku merasa jauh lebih bahagia setelah menari. Cape, memang, tapi ini seru! Dulu, kalau lagi bad mood olahraga atau menari adalah katarsisku. Ada perasaan senang ketika baju basah oleh keringat. Bisa jadi setelah aku ngibing dan kecapean lalu berkeringat perasaan senang muncul seperti aku habis olahraga. Wallahu alam.

Kamu mau coba?

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s