
Stasiun Cimahi (Dokumentasi Komunitas Aleut)
Oleh: Aquinaldo Sistanto (@edosistanto)
Jam menunjukkan pukul 07.00. Setelah memarkir motor, saya bergegas menuju Stasiun Selatan Bandung. Tak perlu waktu lama untuk mencapai gedung bergaya Art Deco rancangan arsitek de Roo itu. Saya pun berjalan menuju ruang tunggu, mencari Lina, sesama pegiat Aleut yang sudah lebih dulu tiba di sana. Di ruang tunggu, saya menemui Lina bersama beberapa peserta lainnya. Saya mengeluarkan kertas absensi untuk menghitung jumlah peserta. Selain saya dan Lina, ada Jenny, Peri, Tia dan Rini, yang akan berangkat bersama-sama ke Cimahi dengan KA Lokal Bandung Raya. Sementara itu, dua kawan kami, Dary dan Ervan, sedang dalam perjalanan menuju Stasiun Selatan Bandung. Kami sepakat untuk berangkat pada pukul 08.27. Rencananya, di Stasiun Cimahi kami akan bertemu tiga peserta lainnya, yaitu Hamdan, Selly, Angga dan Salman sebagai pemateri utama pada Ngaleut hari ini.
Tepat pukul 08.27, kereta yang kami ditumpangi perlahan bergerak meninggalkan Stasiun Bandung. Dalam perjalanan, kami bercerita segala macam. Lina menceritakan pengalamannya naik kereta api, yang ternyata ini adalah kali pertamanya. Perjalanan agak tersendat di sekitaran Stasiun Cimindi, karena harus menunggu kereta Argo Parahyangan yang bersilang jalur. Kereta akhirnya tiba di Stasiun Cimahi pada pukul 09.05, sedikit terlambat dari jadwal kedatangan yang seharusnya pukul 08.57.
Seluruh peserta Ngaleut berkumpul di depan Stasiun Cimahi. Tepatnya di taman depan. Setelah perkenalan singkat, Salman mulai menceritakan sejarah pembangunan Cimahi sebagai pusat garnisun. Pembangunan kompleks militer dimulai pada kisaran abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda memilih Cimahi karena wilayah tersebut dikelilingi oleh pegunungan, sehingga akan mempersulit serangan dari pihak lawan. Cimahi yang terlintasi jalur kereta api mempermudah mobilisasi pasukan dan perbekalan. Selain itu, udara yang sejuk pada masa tersebut membuat prajurit Belanda totok lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan yang mirip seperti kampung halamannya. Tentu saja, udara sejuk tersebut hanyalah kenangan masa lalu, berbanding terbalik dengan panas menyengat yang kami rasakan saat ini.
Kami pun bergerak menuju titik pertama; Rumah Sakit Dustira. Dibangun pada tahun 1887 sebagai Militare Hospital, rumah sakit ini melayani tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger alias KNIL yang sakit atau terluka di medan perang. Salah satu kiprah rumah sakit ini adalah menangani tentara KNIL yang terluka saat Perang Aceh. Bangunan rumah sakit kemudian diperluas pada tahun 1905.
Rumah Sakit ini diserahkan oleh militer Belanda kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diwakili oleh Letkol Dokter Kornel Singawinata pada tahun 1949. Awalnya bernama Rumah Sakit Territorium III, lalu pada tanggal 19 Mei 1956 pada saat perayaan Hari Ulang Tahun Territorium III/Siliwangi yang ke-10, namanya diganti menjadi Rumah sakit Dustira. Hal ini dilakukan sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya yang telah menunjukan itikad dan patriotismenya membantu para pejuang di medan peperangan dan memberikan pertolongan para korban peperangan terutama untuk front Padalarang.
Titik selanjutnya yang menjadi tujuan kami adalah Taman Urip. Nama taman ini diambil dari Urip Sumoharjo, mantan perwira KNIL yang kemudian menjadi Kastaf Pertama TNI. Taman ini dinaungi oleh pohon-pohon besar, memberikan nuansa teduh dan sejuk. Rumah-rumah tua eks perwira KNIL berdiri kokoh di sekeliling taman. Akan tetapi, terdapat masa lalu yang kelam di balik kedamaian Taman Urip.
Pada masa zaman Penjajahan Jepang, daerah ini dijadikan kamp interniran dengan nama Kamp Baros. Pasukan Pendudukan Jepang menahan siapa saja yang dianggap sebagai musuh; orang-orang Belanda, terutama mantan perwira KNIL dan pembesar era Kolonial. Selain itu, terdapat juga orang-orang Tionghoa dari berbagai wilayah di Hindia Belanda. Mereka dijejalkan dalam rumah-rumah, berdesak–desakan tanpa fasilitas dasar yang memadai. Kawat berduri memagari area kamp, dan tentara Jepang siap menghajar siapa saja yang berupaya untuk kabur. Banyak dari tahanan yang tewas karena kelaparan maupun wabah penyakit.
Baca juga: Memoar Domba Tersesat dari Cimahi
Gereja Santo Ignatius Baros menjadi tujuan peserta Ngaleut selanjutnya. Gereja yang didirikan pada tahun 1908 ini berada di bawah naungan Ordo Salib Suci. Gereja ini awalnya didirikan untuk melayani umat Katolik di wilayah Cimahi, antara lain tentara KNIL dan keluarganya. Gedung gereja ini bergaya neo romantik, serta telah mengalami perluasan beberapa kali. Selain gereja, terdapat juga gedung pertemuan yang dinamai Gedung A. Sugiyapranoto, serta gedung pastoran.
Setelah berjalan beberapa meter, menyeberangi persimpangan rel, kami mencapai bangunan antik bergaya Indische Empire Style yang berlokasi di ujung Jl. Gatot Subroto. Gedung ini dinamai The Historich, namun memiliki nama resmi Gedung Sudirman. Awal mulanya, gedung ini dibangun pada kisaran 1880-an sebagai Societeit Voor Officieren–Tjimahi. Para perwira KNIL yang ingin bersosialisasi dan bercengkrama dengan kawan sejawat berdatangan ke gedung ini. Mereka dihibur dengan pertunjukan seni dan musik. Bagi yang telah memiliki pasangan, disediakan pesta dansa. Namanya pesta-pesta, tentu belum lengkap tanpa minuman beralkohol. Bir, wine, brandy, wiski dan sebagainya.
Di pelataran The Historich, kami beristirahat sebentar serta membuka perbekalan. Saya menyempatkan untuk menghubungi teman kuliah yang merupakan warga setempat. Rumahnya berada di deretan Jalan Baros, satu wilayah dengan Gereja Santo Ignatius. Saya sebenarnya sudah mengajak dia untuk ikut Ngaleut, sayangnya dia sedang ada kegiatan di Bandung. Ketika saya mengirimkan foto-foto Ngaleut melalui pesan Whatsapp, dia menunjukkan ekpresi terkejut dan terkagum-kagum.
Beberapa saat setelah menempuh perjalanan, kami pun tiba di Lapangan Rajawali. Salman menjelaskan mengenai beberapa pusat pendidikan yang dikelola oleh TNI-AD. Beberapa di antaranya yaitu Pusdik Perhubungan (Pusdikhub), Pusdik Artileri Medan (Armed), Pusdik Perbengkalan dan Angkutan (Pusdikbekang), Pusdik (Polisi Militer) dan lain sebagainya. Sejumlah bangunan yang digunakan oleh TNI-AD ini dibangun pada tahun 1880-an, sebagai tangsi militer tentara KNIL. Layaknya bangunan militer, kami tidak boleh masuk ke dalam kecuali memiliki izin khusus. Yang dapat dilakukan hanyalah mengamati dari luar, serta mengambil foto secara diam-diam. Salah satu obyek yang menonjol di daerah ini adalah monumen pesawat yang bertengger di Pusdikbekang. Pesawat yang aslinya milik TNI-AU ini adalah Douglas C-47 Skytrain, varian militer dari DC-3 Dakota yang menjadi pesawat angkut legendaris pada masa PD2.

Pusdik Perbengkalan dan Angkutan (Dokumentasi Komunitas Aleut)
Kami pun segara berjalan menuju sebuah bangunan yang terletak di sebelah timur Lapangan Rajawali. Bangunan dengan wujud seperti benteng, dengan tulisan ‘1886’ di atas gerbangnya, yang menunjukkan tahun pendirian. Masyarakat Cimahi mengenalnya sebagai Penjara Poncol, yang saat ini difungsikan sebagai Lapas Militer. Pemerintah Hindia Belanda menamainya Militair Strafgevangenis, alias penjara militer. Penjara ini berfungsi sebagai tempat tahanan tentara yang melakukan desersi, pelanggaran disiplin atau tindakan kriminal. Di zaman kolonial, kebanyakan tentara yang melakukan desersi adalah tentara kulit putih yang merasa kecewa setelah bergabung dengan KNIL. Di zaman G-30S-PKI, pemerintah Indonesia menjebloskan sejumlah tentara yang menjadi simpatisan PKI ke dalam penjara ini, antara lain Letkol Untung. Mantan komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa ini kemudian dieksekusi mati di sekitar Cimahi.
Menyusuri Jalan Poncol yang dinaungi pepohonan rindang, kami melihat-lihat barak militer yang menjadi tempat tinggal prajurit. Barak-barak ini berupa rumah panjang yang dibagi menjadi beberapa bagian. Mereka yang tinggal adalah prajurit berpangkat rendah. Tidak jauh dari kompleks barak, terdapat sebuah sungai kecil yang dinamai Kali Cimahi. Kali inilah yang menjadi asal nama Kota Cimahi, yang dalam Bahasa Sunda dapat diartikan sebagai “air yang cukup”. Nama ini kemungkinan diberikan karena air yang mengalir jarang mengalami kekeringan, sehingga mencukupi kebutuhan masyarakat. Terdapat sejumlah batu-batu besar di dasar kali, yang bisa jadi berasal dari lava yang membeku. Sayangnya, sampah dan limbah mencemari kali ini sehingga airnya tidak layak untuk digunakan bagi keperluan manusia. Tak lama kemudian, kami berpapasan dengan bus wisata Sakoci. Bus yang namanya adalah akronim dari Saba Kota Cimahi ini digunakan untuk mengantar peserta wisata sejarah Kota Cimahi. Dilihat dari bentuknya, bus ini masih sekerabat dengan Bandros, yang sering lalu lalang di jalanan Kota Bandung.
Perjalanan pun diakhiri di taman Stasiun Cimahi, di titik awal berkumpul Ngaleut. Sesuai dengan tradisi Ngaleut, maka peserta pun membagikan pengalaman dan kesan-kesan pada sesi sharing. Di sesi ini, saya menambahkan sedikit cerita mengenai Abbatoir Cimahi. Gedung peninggalan Belanda yang kini berada dalam kompleks Puskeswan Cimahi ini memiliki riwayatnya sendiri. Rumah jagal ini didirikan pada tahun 1916 oleh H. Jenne & Co,perusahaan importir sapi Australia yang berkantor di Batavia. Dengan kapasitas penyembelihan 10 hewan per hari, rumah jagal ini berkontribusi dalam memasok kebutuhan pangan tentara KNIL. Setelah tidak digunakan lagi sejak tahun 2000-an, bekar Abbatoir Cimahi dibiarkan terbengkalai, dihuni oleh penjaga lahan Puskeswan.

Sharing Peserta Ngaleut (Dokumentasi Komunitas Aleut)
Acara Ngaleut pun diakhiri pada pukul 12.00. Sebagian peserta berangkat langsung dari Cimahi, sedangkan kami, sebagai rombongan Bandung, bergegas membeli tiket untuk perjalanan pulang. Pukul 12.30, kereta yang kami tumpangi beranjak meninggalkan Stasiun Cimahi. Kami pun duduk dan beristirahat menikmati dinginnya penyejuk udara, setelah sebelumnya tersengat teriknya matahari. Untuk mengusir rasa bosan, kami pun bertukar cerita mengenai pengalaman masing-masing. Ada yang menyatakan keinginannya untuk berwisata ke Kebun Binatang Bandung berduaan. Yang lain menuturkan pengalaman horor saat menghadapi makhluk astral. Sekitar 25 menit kemudian, kereta pun berhenti di Stasiun Bandung. Kecuali Dary yang melanjutkan perjalanan ke Stasiun Cimekar, kami segera turun dan keluar meninggalkan stasiun. Ngaleut hari ini pun diakhiri dengan balutan cuaca panas.
Cimahi, 22 September 2019
Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan
(komunitasaleut.com – edo/upi)