
Mausoleum van Motman di Kampung Pilar, Bogor (Photo by Tegar Bestari – pegiat Aleut)
Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)
Bogor sangat panas hari itu. Sebutan sebagai Kota Hujan agaknya tidak berlaku saat kami menyambangi kota tersebut. Seorang teman yang memakai jaket tebal dibuat tidak nyaman, sebab siang itu suhu udara di Bogor sekitar 340c . Rupa-rupanya teman saya itu mengira Bogor masih setia dengan udara dingin dan hujannya. Nyatanya sebaliknya. Udara Bogor lebih panas dari udara Bandung dan melakukan perjalanan dengan jaket tebal jelaslah bukan ide bagus. Hal itu jadi bahan candaan teman-teman sepanjang perjalanan.
Perjalanan ke Bogor kami tempuh dengan memakai motor, atau biasa kami sebut momotoran. Kami mengalokasikan waktu empat hari tiga malam, karena akan mengunjungi beberapa tempat di Bogor. Perjalanan kami mulai tanggal 1 September 2017. Kami berangkat dari Kedai Preanger pada kamis malam dan kembali ke Bandung minggu sore. Aku sendiri tiba ke kosan tepat lima menit sebelum azan magrib berkumandang. Perjalanan ini digagas oleh teman-teman Komunitas Aleut dan Djeladjah Priangan dengan judul perjalanan, yaitu “Mencari Jejak Gerbang Pakuan Pajajaran.”
Beberapa kali melihat hasil foto dari momotoran, mataku selalu tertuju pada mausoleum yang tampak seperti sekumpulan reruntuhan bangunan tua; kumuh, terbiarkan, dan banyak ditumbuhi rumput liar. Bangunannya sendiri, bahkan tidak lagi berdiri tegak. Terlihat miring. Benar-benar miring akibat tanah yang labil. Dalam benakku terlintas sepertinya asyik kalau aku tahu lebih banyak mengenai sejarah bangunan tersebut.
“Kalau dengar kata mausoleum, apa yang terlintas dipikiran kamu?” Aku bertanya kepada seorang kawan melalui aplikasi chatting.
“Kuburan mewah” jawabnya, dengan emoticon bingung di samping kalimat tersebut.
Tidak aneh memang jika ia bingung karena tiba-tiba saja aku bertanya seperti itu.
Jarak momotoran ke Bogor ini tidaklah terlalu jauh, tapi cukup untuk melepas dahaga kami dalam momotoran. Total 11 situs sejarah yang kami singgahi. Selain situs sejarah yang berhubungan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran, ada beberapa situs lain yang dikunjungi saat itu seperti monumen RE Martadinata di Riung Gunung, kompleks makam serdadu Jerman di Megamendung, Kebun Raya Bogor, Kelenteng Ciampea Bogor, situs Cibalay, dan mausoleum van Motman di Kampung Pilar.
Dari semua situs sejarah yang dikunjungi, mausoleum van Motmanlah titik yang paling menarik buatku. Kenapa ini menarik buatku? Sebab dengan melihat mausoleum itu aku serasa dibawa ke masa lampau, melihat bagaimana pemilik mausoleum tersebut hidup.
Mausoleum tempat mumi keluarga van Motman ini berlokasi di Kampung Pilar, Desa Sibanteng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Dibangun pada masa kolonial. Di dalam mausoleum ini terdapat empat jenazah yang dimumikan. Jenazah Pieter Reinier adalah salah satu yang dimumikan di mausoleum itu.

Mausoleum van Motman di Kampung Pilar, Bogor (Photo by Tegar Bestari – pegiat Aleut)
Asal usul Van Motman
Sebelum membahas mausoleum van Motman yang berhasil menarik perhatian. Ada baiknya kita cari tahu siapa sebenarnya van Motman dan bagaimana kiprahnya.
Pada bagian atas bangunan mausoleum tertera nama FAM P.R van Motman . Marga van Motman yang terkenal itu adalah founding father Kota Buitenzorg, sekarang Bogor. Nama lengkap leluhur van Motman itu adalah Gerrit Willem Casimir van Motman (1773-1821) ia adalah seorang tuan tanah di Kota Bogor. Ia lahir di Genneperhuis. Pertama kali datang ke Batavia saat berusia 17 tahun. Di Batavia, G.W.C van Motman bekerja sebagai administrator gudang Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), setelah VOC bangkrut, kemudian ia beralih menjadi tuan tanah di Buitenzorg.
Semasa hidupnya G.W.C van Motman menikah dengan seorang perempuan Belanda yang bernama Reinara Jacoba Bangeman dan dikaruniai 13 anak. Namun hanya lima anak yang bertahan hidup sampai dewasa. Kelima anak-anak itu adalah Willem Reinier, Frederik Hendrik Constant , Jacobus Gerrit Theodor, Jan Cassimir Theodorus dan Pieter Cornelis. Kelak kelima anak inilah yang kelak mewarisi tanah perkebunan di Dramaga dan Jasinga.
Ketika G.W.C van Motman meninggal tahun 1821, tanah di Jasinga diwariskan kepada anak pertamanya, sedangkan tanah di Dramaga dikelola oleh anak keduanya yaitu Jacob Gerrit Theodorus van Motman (1816-1890), komoditas yang dikelola oleh keduanya adalah karet, teh, dan sereh wangi.
Kemudian Pieter Reinier van Motman (1838-1911) menjadi tuan tanah generasi ketiga yang melanjutkan usaha keluarga, setelahnya ada Alphonse Constan Henri van Motman (1883-1935) yang menjadi tuan tanah generasi keempat. Generasi kelima yang juga merupakan generasi terakhir keluarga adalah Pieter Reiner van Motman sampai tahun 1958. Pemilik tanah terakhir ini punya nama yang sama dengan kakeknya, generasi ketiga.
Aku sedikit menemukan kesulitan mencari lanjutan kisah keluarga van Motman secara lengkap. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1953-an van Motman meninggalkan Hindia Belanda kemudian disusul oleh keluarganya, tapi literatur lain menyebutkan bahwa baru di tahun 1958 van Motman meninggalkan Hindia Belanda. Pada periode tersebut memang banyak orang Belanda yang bekerja di Indonesia dipulangkan bersama dengan keluarganya, dan mungkin saja termasuk keluarga van Motman. Keluarga van Motman harus pulang ke Belanda dengan meninggalkan semua asetnya di Dramaga, Bogor.
Sekitar 250 hektar kebun karet dan semua aset termasuk rumah mewah di Dramaga diambil alih oleh pemerntah Indonesia. Sekarang digunakan untuk rumah singgah para dosen IPB. Sumber lain juga menerangkan bahwa van Motman kabur ke Australia karena terlibat dengan sebuah gerakan rahasia bernama NIGO. Namun apakah itu NIGO? Aku belum mendapat informasi jelas tentang hal satu itu.

Mausoleum van Motman di Kampung Pilar, Bogor (Photo by Tegar Bestari – pegiat Aleut)
Makam van Motman Dulu dan Sekarang
Di Indonesia mausoleum bukan hal yang lazim digunakan dalam pemakaman. Hanya segelintir orang dengan status tertentu yang dimakamkan di sebuah mausoleum. Salah satu mausoleum yang masih dapat dijumpai namun kondisinya sudah tidak terawat adalah mausoleum milik keluarga Gerrit Willem Cassimir van Motman yang kami kunjungi ketika momotoran ke Bogor. Keluarga Belanda ini sangatlah kaya raya. Lahan yang dimilikinya hampir seluruh Kota Bogor. Kota Bogor memiliki luas 118.000 ha dan luas tanah yang dimiliki van Motman adalah 117.000 ha. Bisa dibayangkan betapa luas lahannya.
Mausoleum ini dibuat oleh Pieter Reinier van Motman, cucu dari pemilik lahan generasi ketiga yang namanya sama dengan kakeknya. Makam keluarga ini gaya arsitekturnya meniru gaya arsitek gereja Santo Petrus di Roma, Italia. Bangunannya berdenah salib. Luas area pemakaman mewah itu sekitar 3000 m2 . Material yang dipakai mausoleum sengaja didatangkan dari luar negeri. Kebanyakan material di mausoleum ini terbuat dari batu marmer asli Italia. Batu nisan penanda makamnya dibuat sangat indah. Ada patung-patung malaikat bergaya neo klasik menghiasi makam di area ini.
Ketika aku sampai di sana, dari arah gerbang sudah terlihat sebuah bangunan berbentuk setengah kubah berwarna putih kusam. Kubahnya berdiameter sekitar 1.5m Bangunan utama mausoleum itu diapit oleh beberapa pilar yang dulu adalah nisan-nisan penanda makam. Ada sekitar 33 kuburan keluarga dan kerabat yang ada di area itu dan ada 11 pilar-pilar yang menjadi bangunan penanda makam yang dilapisi marmer berwarna putih yang indah.
Sebelum tahun 1970 penjarahan besar-besaran terjadi di pemakaman ini. Semua barang yang bernilai ekonomis, seperti batu marmer pelapis lantai mausoleum utama, besi, cincin emas yang ada di dalam lemari mumi di dalam kubah utama, gigi emas, semua hilang, termasuk batu nisan penanda makam. Sekarang hanya menyisakan bentuk yang tidak lagi utuh, jauh dari kesan megah seperti awal mausoleum ini dibangun. Habis semua dijarah oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Keempat mumi keluarga van Motman yang terbaring di dalam bangunan kubah itu pun tidak diketahui keberadaannya. Jika kamu membandingkan foto lama mausoleum dan foto terbaru, akan nampak jelas perbedaan dari mausoleum tersebut. Menyedihkan memang.

Mausoleum van Motman di Kampung Pilar, Bogor (Photo by Tegar Bestari – pegiat Aleut)
Berbeda dengan mausoleum yang ada di Petamburan. Mausoleum orang cina bermarga Khouw yang dibangun oleh istrinya itu masih terjaga dengan baik, masih berdiri kokoh dan ramai dikunjungi wisatawan, maka tak heran menjadi tujuan wisata sejarah yang lebih menarik dibandingkan mausoleum van Motman yang seperti gedung tua terbengkalai dan malah menimbulkan kesan seram. Ditambah banyak kejadian mistis beredar di masyarakat yang berkaitan dengan mausoleum van Motman. Salah satu cerita mistis ini dikisahkan oleh penduduk Kampung Pilar dan pernah diliput oleh salah satu televisi nasional.
Jadilah mausoleum ini sepi pengunjung. Padahal situs makam ini sudah cukup lama menjadi cagar budaya dan dikelola oleh pemerintah. Harusnya situs makam ini bisa lebih terawat sehingga sejarah yang terkandung di dalamnya bisa lestari sampai nanti dan orang bisa lebih mudah mengakses tempat wisata sejarah ini.
Perjalanan singkat yang seru. Mekipun mendapat kenyataan yang tidak sesuai dengan bayangan tentang sebuah mausoleum tapi momotoran ke Bogor ini sangat menyenangkan. Target pribadi mengenai perjalanan seperti ini yang dulu pernah direncanakan akhirnya terealisasi. Perjalanan ini layaknya belajar dengan cara terjun langsung ke lokasi; melihat, mengamati. Dan metode belajar seperti ini sangatlah cocok buatku.
Akhirnya tulisan ini selesai juga setelah tersimpan rapi beberapa minggu dalam folder di laptop.
Baca juga artikel terkait Plesiran atau tulisan menarik lainnya. (dee/upi)