Tag: Buitenzorg

Memento Mori; Perkebunan Cisarua Selatan & Keluarga Keuchenius

Oleh: Aditya Wijaya

Permakaman Cisarua Selatan. Foto: Aditya Wijaya

Uih deui weh ka jalan ageung, teras ka kenca, engke aya bengkel, tah ti jalan sapaliheunana lebetna,” itu informasi dari seorang penjaga toko di Cisarua ketika kami salah ambil jalan.

Pagi itu saya bersama Komunitas Aleut mencari dua lokasi permakaman eks pemilik Perkebunan Cisarua di Cisarua, Kabupaten Bogor. Perkebunan Cisarua terbagi dalam dua bagian, Cisarua Utara dan Cisarua Selatan. Di masa lalu, wilayah perkebunan ini merupakan bagian Keresidenan Batavia dan Afdeling Buitenzorg.

Pemilik Kebun Cisarua Utara adalah J.M. Bik dengan administratur F.E. Keuchenius, sementara Kebun Cisarua Selatan dimiliki oleh B.Th. Bik yang merangkap sebagai administratur. Pada 1 Januari 1894 tercatat jumlah penduduk di Perkebunan Cisarua Utara sebanyak 3823 jiwa dan 3202 jiwa di Cisarua Selatan.

Continue reading

Memudarnya Kemewahan Mausoleum van Motman

Momotoran Ke Bogor mausoleum van Motman

Mausoleum van Motman di Kampung Pilar, Bogor (Photo by Tegar Bestari – pegiat Aleut)

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

Bogor sangat panas hari itu. Sebutan sebagai Kota Hujan agaknya tidak berlaku saat kami menyambangi kota tersebut. Seorang teman yang memakai jaket tebal dibuat tidak nyaman, sebab siang itu suhu udara di Bogor sekitar 340c . Rupa-rupanya teman saya itu mengira Bogor masih setia dengan udara dingin dan hujannya. Nyatanya sebaliknya. Udara Bogor lebih panas dari udara Bandung dan melakukan perjalanan dengan jaket tebal jelaslah bukan ide bagus. Hal itu jadi bahan candaan teman-teman sepanjang perjalanan.

Perjalanan ke Bogor kami tempuh dengan memakai motor, atau biasa kami sebut momotoran. Kami mengalokasikan Continue reading

Payen dan Sang Pangeran Jawa

photo 1
Foto koleksi KITLV

Oleh @alexxxari @A13Xtriple

Pada tahun 1822 seorang arsitek dan pelukis berkebangsaan Belgia mendapatkan tugas dari Kerajaan Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di seluruh Hindia Belanda. Pelukis ini memilih Bandung sebagai tempat tinggalnya. Antoine Auguste Joseph Payen (beberapa menuliskan namanya Paijen) mendirikan sebuah rumah bergaya Indische Empire Stijl di sebuah bukit dekat Sungai Ci Kapundung. Rumah berlantai dua ini merupakan salah satu dari 8 bangunan tembok yang tercatat dalam “Plan der Negorij Bandong” pada tahun 1825. Rumah cantik ini bertahan hingga berusia 150 tahun lebih. Nasibnya berakhir saat Jalan Stasiun Timur diperlebar.

Payen datang ke Hindia Belanda pada tahun 1817, saat berusia 25 tahun. Sejak awal kedatangannya, Payen langsung berkenalan dengan daerah Priangan. Dia diundang oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen untuk tinggal di Buitenzorg dan membantu restorasi Istana Bogor. Di tempat itulah Payen bertemu dengan atasannya Prof. C.G.C. Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan. Reinwardt mengenalkan Payen kepada sesama pelukis litho lainnya di antaranya adalah kakak beradik van Beek, Jan, dan Theo.

Eksplorasi Payen di daerah Priangan dimulai pada tahun 1818 saat Gunung Guntur di Garut meletus. Setahun kemudian dia kembali melakukan perjalanan penelitian  bersama Reinwardt di daerah Priangan, yang berlangsung hingga awal tahun 1820. Perjalanan ini merupakan penelitian yang terakhir dilakukan Payen bersama Reinwardt. Diperkirakan penjelajahan Payen ke daerah seputar Bandung terjadi pada tahun 1819 ini.  Ada dua lukisan pemandangan karya Payen yang dapat dijadikan sebagai bukti kehadirannya di “Tatar Ukur”. Pertama adalah lukisan air terjun/ curug Jompong  serta gambar keadaan Sungai Ci Tarum.

Di puncak kemahsyurannya, Raden Saleh memperoleh berbagai julukan di antaranya adalah “Le Prince Javanais” atau “Pangeran Jawa”.

Continue reading

Jalan-jalan ke Bogor

Re: Tour de Buitenzorg

BAGIAN 1

Catatan berikut ini saya sarikan dari tulisan tentang kunjungan sehari penuh ke Bogor bersama sejumlah teman beberapa waktu lalu. Beberapa lokasi tujuan sudah kami tentukan sebelumnya, sisanya kami kunjungi secara spontan karena kebetulan terlewati dalam perjalanan.

Ini bukan tulisan lengkap tentang sejarah Bogor ataupun objek-objek wisata di Bogor, namun sukur-sukur bila catatan ini bisa jadi panduan tambahan juga bagi mereka yang ingin berkunjung ke Bogor.

Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1433-1527), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚C). Gupernur-Djenderal Maetsuyker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor.” Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.[1]

Sebelum memasuki Kota Bogor yang katanya njaman hawanja itu, kami mampir dulu ke bekas sebuah situs kuno di kaki Gunung Pangrango, yaitu Arca Domas. Situs ini berdampingan dengan situs makam lainnya yang merupakan kompleks pemakaman tentara Jerman dari masa Perang Dunia II. Untuk menuju lokasi ini kami harus masuk dari jalan yang tidak terlalu lebar di Gadog, perjalanan agak menanjak sekitar 6-7 kilometer. Seluruh badan jalan memang sudah beraspal namun sempitnya cukup menyulitkan juga terutama bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.

ARCA DOMAS

Biasanya nama Arca Domas dikaitkan dengan situs keramat masyarakat Baduy di Kanekes, Banten. Namun ternyata masih ada Arca Domas lainnya, yaitu di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung. Nama Arca Domas di sini disinggung pula oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817). Dalam buku itu Raffles menyebutkan terdapatnya patung-patung batu dengan bentuk kasar di Buitenzorg dan di Recha Domas, dua daerah yang berhubungan dengan ibukota kerajaan kuno, Pajajaran.[2] Continue reading

Ki Mastanu (Raden Tanujiwa)….

Oleh : Asep Nendi R.

Setelah membaca notes BR mengenai ulasan catatan perjalanan Komunitas Aleut! Ke Bogor, saya menemukan sepenggal nama “Ki Mastanu” yang langsung mengingatkan saya pada kakawihan barudak “Ayang Ayang Gung”. Kira-kira seperti inilah liriknya,

Ayang ayang gung

Gung goongna rame

Menak ki Mastanu

Nu jadi wadana

Naha maneh kitu

Tukang olo-olo

Loba anu giruk

Ruket jeung kompeni

Niat jadi (naek) pangkat

Katon kagorengan

Ngantos Kanjeng Dalem

Lempa lempi lempong

Ngadu pipi jeung nu ompong

Jalan ka Batawi ngemplong

Lagu tersebut merupakan lagu yang secara turun temurun dinyanyikan oleh barudak (anak kecil) di Tatar Sunda. Sekitar tahun 60-an Pa Ekik Barkah, mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Kesenian Universitas Padjadjaran, memodifikasinya menjadi suatu bentuk seni pertunjukkan teatrikal dengan nama Kaulinan Urang Lembur.

Hingga sekarang pertunjukkan seni teatrikal Kaulinan Urang Lembur tersebut masih dimainkan oleh Lingkung Seni Sunda Universitas Padjadjaran (LISES UNPAD), terutama dalam kegiatan Pementasan Mandiri Lises Unpad dengan nama Kaulinan Barudak Baheula. Lagu Ayang Ayang Gung ini merupakan salah satu lagu yang sarat makna dan kritik sosial.

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan orang Sunda yang suka menyindir, ketika menghadapi sesuatu yang tidak disukai biasanya memberikan sindiran-sindiran halus. Sehingga tidak sedikit karya-karya baik itu berupa lagu kakawihan, pupuh, maupun pantun (sisindiran) yang lucu, namun juga mengandung sebuah kritik atau saran yang tajam dan brilian yang disampaikan secara halus. Matakna orang Sunda mah jarang demo, hehehehe,,,, Hurip Sunda!

Lagu Ayang Ayang Gung tersebut menceritakan seorang tokoh menak (bangsawan) bernama Ki Mastanu yang menjadi wadana (bupati), namun bertingkah olo-olo (belagu), dan karena kedekatannya dengan kompeni (Belanda) banyak masyarakat yang giruk (membencinya). Yang berniat naik pangkat, sehingga menunggui kanjeng dalem, dan dengan segala gerak akrobatik politiknya menghalalkan segala cara, agar langkah politiknya lancar tidak terhambat sedikit pun ke Batavia.

Lempa lempi lempong ngadu pipi jeung nu ompong, jalan ka batawi ngemplong. Ki Mastanu yang ada dalam lirik lagu Ayang Ayang Gung tak lain adalah Raden Tanujiwa, seorang Sunda asal Sumedang. Tahun 1687 Tanujiwa mendirikan perkampungan di Parung Angsana, sebelumnya beliau mendapat tugas dari Camphuiis untuk membuka hutan Pajajaran. Kampung di Parung Angsana itu kemudian diberi nama Kampung Baru, tempat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Beberapa kampung lain yang didirikan oleh Raden Tanujiwa adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dimana Kampung Baru menjadi pusat pemerintahannya.

Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai kepala Kampung Baru dan kampung lainnya yang berada di hulu Ciliwung. De Haan sendiri memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari Raden Tanujiwa (1687-1705) walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik dilakukan tahun 1745. Tahun 1745 sembilan buah kampung digabung menjadi satu pemerintahan dibawah Kepala Kampung Baru bergelar Demang, gabungan kampung itu diberi nama Regentschap. Yang kemudian menjadi Regentschap Buitenzorg tahun 1740. Tanujiwa, seorang Sunda dari Sumedang, berhasil membentuk pasukan pekerja untuk membuka hutan Pajajaran. Ketika itu beliau bergelar ”Luitenant der Javanen” (letnan orang-orang Jawa dan merupakan letnan senior diantara teman-temannya). Garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dan kompeni ketika pangeran Purbaya dari Banten membangun pemukiman di aliran Cikeas. Daerah antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati pasukan Mataram, pimpinan Bahurekso dan sebagian lagi pasukan kiriman Sunan Amangkurat I.

Tahun 1661 basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Batavia. Raden Tanujiwa menghentikan pembukaan lahannya pada sisi utara Ciliwung, dan menyarankan agar pembukaan lahan dilakukan di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua). Kemungkinan besar, tindakan Tanujiwa ini didasari penghargaan yang besar terhadap Pakuan. Lambat laun rasa cinta terhadap Pajajaran dan terhadap masyarakatnya mulai terpupuk, ia mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat mengganggu kompeni. Apalagi perasaan bencinya terhadap Scipio, yang notabenenya seorang sersan, yang sering memerintah dengan semena-mena padahal jabatan Tanujiwa lebih tinggi (letnan). Hal tersebut menimbulkan kesadaran akan kesamaan nasib sebangsa dalam diri Tanujiwa. Tanujiwa membantu pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Perwatasari, dan balik mengangkat senjata melawan kompeni. Walaupun pada akhirnya kalah, dan Tanujiwa dibuang ke Tanjung Harapan (Afsel).

Karena pemberontakan tersebut, dalam Babad Bogor (1925), yang dibuat pada masa kolonial, tidak mencantumkan nama Tanujiwa sebagai bupati pertama. Dalam Babad tersebut dicantumkan Mentengkara atau Mertakara kepala Kampung Baru yang ketiga (1706-1718) sebagai bupati pertama Bogor. Ia adalah putera Tanujiwa (menurut Den Haan).

Mungkin itulah sedikit ulasan mengenai Tanujiwa, dan kaitannya dengan kakawihan barudak Ayang Ayang Gung. Tanujiwa mengejar harapan kosong, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (kekuasaan). Bahkan ia rela menggadaikan harga dirinya kepada penjajah, dan diperlakukan semena-mena oleh orang Belanda yang notabenenya berpangkat lebih rendah. Hingga pada akhirnya Tanujiwa sadar, kemudian bersama-sama mengangkat senjata melawan penjajah.

Cerita Tanujiwa dalam lirik Ayang Ayang Gung ini sepertinya akan hidup lama di Tatar Sunda, dimana orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Menak yang mendapat kedudukan prestise dalam masyarakat malah seringkali melupakan masyarakat dan sibuk mengejar kekuasaan. Di sisi lain menak ingin dihargai sebagaimana mestinya. Ironi memang, karena itulah yang terjadi. Lihat saja perilaku calon wakil rakyat maupun calon pemimpin kita yang tak jarang melakukan perbuatan rendah, suap-money politic-fitnah-nepotisme-anarki. Lempa lempi lempong Ngadu pipi jeung nu ompong Jalan ka Batawi ngemplong Cag Ah….!

bahan bacaan :

kumpulan catatan nu aya di rumah, teu jarelas… hehehe…

– http://budayabogor.tripod.com/sejarah.htm

– http://www.opensubscriber.com/message/urangsunda@yahoogroups.com/264969.html

ALEUT! TOUR DE BUITENZORG : Bagian II – Kota Bogor

By : Ridwan Hutagalung
ALEUT! TOUR DE BUITENZORG, 24 JANUARI 2010
Bagian II – Kota Bogor

Biasanya saya paling malas membaca buku-buku tentang profil suatu kota bila diterbitkan secara resmi oleh pihak pemerintah. Entah kenapa, selalu saja saya merasa buku-buku itu tidak memuaskan karena ditulis secara sembarangan dengan tata bahasa yang kaku dan tentu riset-riset yang tidak jelas pertanggungjawabannya karena menggunakan sumber-sumber yang juga tidak jelas. Tak jarang pula sumber-sumber acuan yang dipakai tidak dicantumkan sebagaimana mestinya.

Tapi buku “resmi” yang satu ini, “Sejarah Bogor – Bagian I”, ternyata agak lain, mungkin karena penulisannya dilakukan oleh Saleh Danasasmita (1933-1986). Buku ini diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor tahun 1983. Namun untuk keperluan penulisan blog ini saya menambahkan juga sejumlah referensi lain sebagai pendukung data.

Tulisan dimulai dengan sejumlah analisis tentang asal-usul nama Bogor dan Pakuan. Salah satu kemungkinan yang disampaikan oleh Saleh adalah dengan menggunakan kamus Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek karya S. Coolsma (1913).{1} Dalam kamus itu diterangkan bogor berarti “droogetapte kawoeng” atau pohon enau yang telah habis disadap, dan selanjutnya bisa dilihat pada awal tulisan ini (Bagian 1).

Kemudian diceritakan juga sejarah singkat wilayah Bogor sejak masa Kerajaan Tarumanagara sampai abad 18 M. Kisah yang disampaikan sangat menarik karena menguraikan isi berbagai prasasti dan naskah kuno yang berhubungan erat dengan masa lalu kawasan Bogor. Disinggung pula berbagai penelitian pada masa Hindia Belanda yang mencoba mengungkapkan makna peninggalan-peningalan kuno yang tersebar di sekitar Bogor serta pelacakan mengenai bekas lokasi (keraton) Pakuan ibukota Pajajaran. Mengasyikan sekali mengikuti kisah laporan-laporan dari masa VOC, cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno seperti Taruma, Sundapura, Salakanagara, Kendan, Galuh, atau Pajajaran. Naskah-naskah kuno yang dibedah meliputi Waruga Guru, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa, Carita Parahyangan, dan banyak lainnya. Pokonya mantep banget dah…!

Karena sulit meringkas materi yang padat ini, jadinya saya sekip dan langsung loncat saja ke masa saat VOC memerlukan suatu ekspedisi pengenalan wilayah sekitar Batavia ke selatan hingga ke hulu Sungai Cisadane. Tim ekspedisi ini dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang membuka wilayah menjadi ladang-ladang, di antaranya yang terjauh adalah pembukaan wilayah Parung Angsana di bawah pimpinan Sersan Wisanala.

Sedangkan untuk penelitian wilayah hulu Cisadane VOC mengirimkan satu tim khusus yang dipimpin oleh Sersan Scipio dan dibantu oleh Tanujiwa (1687). Tanujiwa adalah seorang Sunda dari Sumedang yang oleh VOC disebut sebagai Leuiteunant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa). Ia mendapat perintah dari Joannes Camphuijs (1684-1691) untuk membuka hutan Pajajaran. Tanujiwa sebelumnya sudah membuka wilayah pedalaman Batavia (Kampung Baru Cipinang, dekat Jatinegara). Saat membantu Scipio, Tanujiwa mendirikan sebuah kampung baru lainnya di Parung Angsana dan menamakannya Kampung Baru (sekarang bernama Tanah Baru, Bogor). Wilayah inilah yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor.{2} Dalam ekspedisi ini Scipio menemukan bekas-bekas parit, benteng, susunan bebatuan yang teratur yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.

Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).{3} Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.

Bogor dan Buitenzorg
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.

Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri.
Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.

Van Imhoff membuat usulan agar wilayah di sekitar Buitenzorg dijadikan eigendom para gubernur jenderal secara in officio. Statusnya menjadi semacam tanah bengkok {4} yang harus dibeli oleh setiap gubernur jenderal baru yang menggantikan pejabat lama. Batas-batas tanah Buitenzorg adalah Gunung Gede, Puncak, Talaga Warna, Mega Mendung, Ciliwung, muara Cihideung, Puncak Gunung Salak, Puncak Gunung Gede. Wilayah seluas itu hanya dapat disewakan dan tidak boleh dijual kecuali kepada gubernur jenderal berikutnya. Pembeli pertama dari Van Imhoff adalah Jacob Mossel (1750-1761) dan yang terakhir Daendels (1808-1811) di tahun 1808.

Mengiringi kehadiran dan aturan wilayah Buitenzorg tersebut, Bupati Kampung Baru (Demang Wiranata) menyewa tanah kampung Sukahati untuk tempat kediamannya. Di luar pagar depan rumah tersebut terdapat sebuah kolam besar atau empang. Berangsur-angsur nama kampung Sukahati pun berganti menjadi Empang. Diperkirakan nama kampung Empang sudah muncul antara 1770-1775 sehingga menjadi salah satu kampung tertua juga di Bogor sekarang.

Tentang Kampung Empang dapat dibaca lebih lanjut tulisan rekan saya, Indra Pratama…
http://www.facebook.com/photo.php?pid=689451&op=1&o=global&view=global&subj=519229089&id=1639190943#!/note.php?note_id=283441354176

Pasar Bogor di dekat Kampung Bogor tumbuh pesat dan mengundang para pedagang termasuk kaum Tionghoa untuk menetap dan membuka usaha di sana. Mula-mula mereka menetap di daerah Lebak Pasar, namun kemudian berkembang ke arah sepanjang Jalan Suryakencana sekarang, sehingga kawasan ini dapat disebut Pecinannya Bogor. Para pandai tembaga atau paledang juga mendirikan pemukiman di lokasi Kantor Pos sekarang. Saat lokasi kantor pos tersebut dimasukkan menjadi bagian Kebun Raya Bogor, permukiman kaum paledang dipindahkan ke lokasi Kampung Paledang sekarang. Tokoh terkemuka kaum paledang adalah Embah Jepra. Makamnya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Kebun Raya Bogor sekarang.

Demikianlah awalnya secara berangsur Kota Bogor mulai terbentuk dan berkembang dengan pesat hingga terkesan tak terkendali seperti sekarang ini.

{1} “Soendanessch-Hollandsch Woordenboek” karya S. Coolsma diterbitkan oleh A.W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij, Leiden, 1913
{2} Untuk bahan ini Saleh menggunakan acuan karya CHF Riesz “De Geschiedenis van Buitenzorg”, De Particulere Landrijen van Westelijk Java, G. Kolff & Co., Batavia, 1887
{3} Dr. F. De Haan “Priangan”, Deel 1-4, G. Kolff & Co., Batavia, 1911-1912
{4} Tanah desa yang dipinjamkan kepada pegawai desa untuk digarap dan diambil hasilnya sebagai pengganti gaji. Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008.

Referensi :

“Lie Kim Hok (1853-1912)”, Tio Ie Soei, L.D. Good Luck, Gardudjati, Bandung.
“Sejarah Bogor – Bagian I”, Saleh Danasasmita, Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor, 1983.
“Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia”, Mona Lohanda, Masup Jakarta, 2007.

Aleut Buitenzorg Trip

Ditulis oleh : Indra Pratama
Setelah trip luar kota terakhir pasca lebaran kemarin ke daerah Kawali, Ciamis, akhirnya Aleut pun mengadakan lagi trip luar kota. Tujuan kali ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Bandung, yaitu kota hujan Bogor atau dahulu dikenal sebagai Buitenzorg. Buitenzorg sendiri bisa diartikan secara harfiah sebagai “Tanpa Kekhawatiran”*.

Setelah sempat ada miscom dengan sang supir mobil rental, maka meluncurlah 2 mobil gerombolan Aleut sekitar pukul 4.10 dari Buahbatu Dalam. Setelah adu sprint sepanjang tol, tibalah kami pukul 6.45 di gerbang tol Ciawi, dimana di daerah tugu telah menunggu temannya BR yang akan ikut serta.

Karena tujuan pertama adalah kompleks makam para perwira Nazi di daerah Arca Domas, Desa Sukaresmi, Cisarua, maka tak jauh dari tugu, kami pun mengambil jalan kecil yang difficulty nya nightmare, karena jika berpapasan dengan kendaraan roda empat lainnya, salah satu bisa dipastikan harus mengalah, dan tanjakannya OMG sekali untuk ukuran sebuah mobil sedan dengan 5 penumpang, makanya tadinya Asep mau diturunin aja suruh jalan kaki. Setelah 40 menitan adu skill, maka tibalah kami di daerah Arca Domas, sebuah daerah khas kaki gunung dengan deretan Villa yang beradu populasi dengan pohon-pohon Pinus dan tanaman sayuran dimana Gunung Pangrango (hatur nuhun Asep koreksina) terlihat jelas dari sana pada pagi yang indah itu.

Kompleks pemakaman tentara Jerman ini memuat (halah) 10 makam tentara Jerman dengan berbagai pangkat. Ada Komandan Kapal Selam, Letnan Satu, hingga Tukang Kayu Kapal. Dengan catatan ada dua buah makam yang tidak diketahui namanya. Komplek ini dulunya merupakan lahan milik KARL THEODOR dan EMIL HELFFERICH, tetapi saya belum dapat keterangan banyak tentang kedua orang ini (pernah baca sih katanya kalo Emil merupakan akademisi ekonomi/finansial, sedangkan Karl Theodor juga selain akademisi finansial seperti saudaranya, juga merupakan politisi). Mungkin nanti ada tulisan dari peserta lain yang bisa mengupas lebih jauh.

Setelah turun gunung, kami pun memasuki Kota Bogor untuk menjelajahi kawasan Batutulis. Di kawasan ini kami melihat beberapa peninggalan sejarah yang cukup penting di kota ini. Ada makam Embah Dalem Batutulis, yang menurut nenek penjaga, merupakan salah satu wali yang menyebarkan Islam di daerah ini. Tapi kalo mau kesana jangan kaget kalo tempat ini bukan tempat wisata sejarah yang anda bayangkan. Dari makam Embah Dalem Batutulis, kami pun nikreuh kearah Stasiun Batutulis, stasiun kecil yang old school banget, dimana seperti biasa sesi foto keluarga pun terjadi. Lanjut jalan lagi ke beberapa peninggalan masa Hindu seperti Arca Puragalih, the famous Prasasti Batutulis, dan sebuah kumpulan batu di pinggir jalan yang saya kurang jelas lihatnya.

Setelah panas-panasan jalan, akhirnya naik mobil lagi menuju makam salah satu maestro seni lukis naturalis Indonesia, yaitu makamnya Raden Saleh. Makam pelukis yang salah satu karyanya dipajang di Louvre ini terletak di sebuah gang. Makamnya yang lama yang sempat (katanya) dibiarkan terlantar dipugar dan diperbaharui oleh pemerintah. Sekarang di makam ini selain makam Raden Saleh dan Istrinya, ada pula sebuah bangunan yang berisi poster-poster profil dan karya Raden Saleh. Dan yang paling penting untuk wisatawan jarak jauh, yaitu WC.

Caw dari makam Raden Saleh, kami pun bergerak tidak jauh ke daerah Empang, dimana disitu terletak Kampung Arab, destinasi paling menarik hari itu. Sebuah mesjid tua,dimana di sampingnya ada bangunan makam Habib Abdullah Bin Mukhsin Alatas dimakamkan. Habib Abdullah, atau juga disebut Wali Qutub dipercaya sebagai cucu keturunan ketiga puluh enam Nabi Muhammad SAW. Rumah-rumah bergaya kolonial di sekelilingnya turut mempercantik area ini. Kecuali panas dan bau parfum jualan yang menyengat, destinasi ini mantap tenan, terutama bagi mereka pecinta musik pop timur-tengah, pecinta pria keturunan timur tengah dan pecinta bengkoang serta taleus.

Akhirnya setelah tanning diluar dan sauna di mobil, kami caw lagi ke tujuan selanjutnya yaitu Kebun Raya Bogor. Forget about tukang parkir Yahudi, kami pun masuk dengan membeli tiket 9.500 seorang. Ditambah 2 buah brosur+peta (pelit bgt dah pengelola). Disambut dengan tugu peringatan Ny.Raffles, kami pun bergerak kearah eks Laboratorium dan rumah Melchior Treub, kepala Buitenzorg Botanical Garden waktu itu, bangunan ini menurut beberapa sumber dibangun tahun 1860. Khusus eks rumahnya, katanya sekarang dijadikan guest house seharga 250rb semalam. Mau ah kapan2, tp kudu dibaturan da sieun. Sementara museum Zoologi sudah nggak tertarik karena capek.

Setelah istirahat bentar, caw lagi kearah Kerkhoff (koreksi lg kalo salah) atau pemakaman, masih di area Kebun Raya. Disini dimakamkan orang-orang penting pada masanya. Con : ada makamnya Van den Bosch, pencetus Cultuur Stelsel. Oiya, ada makam tahun 17XX an juga loh, atas nama Cornelis Poutman. Disini motretnya harus bertarung dengan gembrongan reungit yang haus darah.

Dari pemakaman, jalan lagi dikit untuk ngeliat Istana Bogor eks rumah Gubernur Jenderal dengan si Denoknya yang terkenal. Kok disini nggak ada yang demo ya?. Sasarean saeutik deket danau sambil romantisan sama Asep. Tapi sigana sih rek hujan euy, maka setelah makan eskrim 2000an, kita pun balik kearah pintu masuk untuk berteduh, urang sare ngalenyap da tunuh jeung cape tea.

Akhirnya hujan pun reda dan saya pun hudang. Kita caw kearah Jl.Suryakencana. Kalo di Bandung mah jiga Kosambi nya lah, becek padet bau. Kita pun mampir di sebuah Kelenteng Hok Tek Bio, dimana Bikuni nya (tante itu teh bikuni bukan sih?) mengijinkan Aleut masup berkeliling dan menjelaskan bedanya Vihara dan Kelenteng. Dimana Vihara menempatkan Siddharta Gautama di altar utamanya, sedangkan Kelenteng menempatkan salah satu dari dewa tradisional China di altar utamanya. Kasian deh selama Orba hidup nggak bebas dalam ngejalanin kepercayaannya. Kelenteng ini juga termasuk bangunan tua di Bogor. Sudah ada sejak 18XX. Asik juga masup ke Kelenteng, nyium bau dupa, ngeliat beberapa list hukum karma, dengan warna dominan merah.

Dari kelenteng, ngelewatin beberapa rumah khas pecinan, menuju tukang wedang ronde pinggir jalan yang enak pas dimaem ujan2. Ronde isi kacangnya enak banget, tp sayang air jahe nya kepaitan kalo kata saya. Tadinya BR berencan pulang lewat puncak, tapi karena awak, panon, jeung tingkat konsentrasi saya sepertinya nggak memungkinkan, kita pulang lewat tol deh, kali ini nggak pake geber2an.. hampura nya kawan2 jadi mengacaukan, tp emg bener2 geus teu kuat euy..

Nah, setelah rush review perjalanan, perjalanan ini saya beri rating 4/5.. SIpp!!!!!

foto2nya bisa diliat di MP saya : indraicha.multiply.com

Ayo berwisata ke Bogor!!!, tp tong makan sayur asem!!

Dafpust

1. http://bagja2000.multiply.com
2. http://mahandisyoanata.multiply.com
3. http://djawatempodoeloe.multiply.com
4. http://herni2ngsih.multiply.com
5. http://www.kotabogor.go.id

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑