Oleh: Warna Sari (@rie1703) dan Chyntiami Ayu Dewi (@chyntiami)
Ini catatan seadanya aja dari mengikuti kegiatan perayaan ulangtahunan Komunitas Aleut yang ke-11 tanggal 20 dan 21 Mei kemarin ke Sinumbra. Di dalam poster kegiatan yang selalu ada setiap minggu itu, judul Ngaleutnya memang begitu saja, “Ngaleut Sinumbra” ditambah keterangan kecil “Refleksi 11 Tahun Komunitas Aleut.” Pun engga banyak tambahan informasi tentang apa saja yang akan dilakukan selama di Sinumbra. Entah kegiatan seperti apa yang namanya refleksi itu. Paling-paling setelah bertanya langsung ke cp Aleut saja baru dapat sedikit bayangan, itu pun di ujung jawabannya ditambahkan keterangan “Ini rundownnya engga fix kok, bisa tiba-tiba berubah tergantung spontanitas di lapangan nanti.”
Okelah, saya putuskan saja untuk ikut Ngaleut Sinumbra ini. Paling engga, satu kegiatan sudah pasti bisa diikuti, yaitu Kelas Literasi pekan ke-94 yang diberi judul “Sejarah Perkebunan Teh.” Saya suka teh dan saya suka suasana perkebunan teh, dua hal ini sudah cukup jadi alasan buat mengikuti kegiatan Komunitas Aleut di Sinumbra. Lagi pula, seminggu ini pekerjaan di kantor bener-bener padat, dan mengikuti kegiatan Komunitas Aleut seperti biasanya sudah bisa jadi jaminan untuk refreshing yang menyenangkan. Iya, semua kegiatan Komunitas Aleut yang rutin setiap minggu itu memang selalu menyenangkan, nah apalagi kalo edisi spesial seperti ini.
Sabtu pagi, saya dan sekitar 18 kawan lain sudah siap berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut di Kedai Preanger, Jl. Solontongan 20-D Buahbatu, menggunakan 10 buah motor biasa, kebanyakan sih motor matik. Jalur yang akan kami lalui sudah diumumkan, yaitu Cibaduyut – Rancamanyar – Cilampeni – Ciwidey – Rancabali – Cibuni dan nanti akan ada kawan lain yang bergabung di sekitar Margahayu. Perjalanan di jalur yang sudah sangat umum ini sangat lancar, engga ada macet atau kepadatan kendaraan kecuali sedikit saja di pusat kota Ciwidey. Katanya jalur biasa ini dipilih supaya cepat sampai di Rancabali dan punya lebih banyak waktu eksplorasi daerah di sekitar perkebunan teh nanti.
Tiba-tiba rombongan berhenti di sebuah pom bensin yang dikelilingi oleh persawahan. Bang BR yang memimpin rombongan meminta salah seorang untuk mencarikan parkir dan ketemu pas di sebelah pom. Kejadian spontan semacam ini sangat sering terjadi dalam perjalanan Ngaleut di mana pun. Kali ini kayanya ada objek yang tiba-tiba terlihat atau teringat. Kami pun turun ke sawah dan ngaleut di pematangnya. Tak berapa lama kami berjalan, sudah terlihat apa yang jadi tujuan, sebuah jembatan kereta api yang sudah tidak aktif lagi. Bandung-Soreang-Ciwidey memang pernah terhubungkan oleh jalur kereta api yang dibangun pada tahun 1923 namun kemudian diberhentikan pada akhir tahun 1970-an karena sebuah peristiwa kecelakaan dan berkurangnya pemakai jasa kereta api. Sekarang seluruh jalur ini sudah mati, namun berbagai jejaknya masih dapat ditemukan, termasuk rel, halte, stasiun, dan beberapa jembatan besi yang sudah berkarat.
Satu dari tiga jembatan besi yang disebutkan oleh Bang BR adalah yang kami datangi secara dadakan ini, jembatan Cukanghaur. Di sini kami berfoto dan bercerita ringan seputar jalur kereta api zaman Hindia Belanda dan sebuah situs keramat yang terletak di seberang jembatan, namanya Situs Makom Kabuyutan (Eyang Dalem Adipati Kertamanah). Usai berfoto dan ngobrol dengan Bu Entin, pemilik pesanggrahan yang kami lewati untuk mencapai jembatan, kami bergegas bergerak lagi.
Sebelum siang, rombongan motor sudah nyampe di sebuah rumah kayu di dekat Ciwalini. Rumah dengan dua kamar tidur ukuran besar dan ruang tengah memanjang dengan alas karpet dan beberapa buah sofa panjang. Sempat kepikiran, apakah dua kamar saja akan cukup untuk rombongan sebanyak ini? Oh, ternyata bukan begitu rencananya hehe. Ruang tengah inilah yang akan disulap menjadi ruang tidur bersama nantinya, itu pun kalo ada jadwal tidur katanya. Sementara kamar akan digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang saja.
Sambil beberes berbagai barang, beberapa kawan memesan batagor yang gerobaknya ujug-ujug sudah ada di teras rumah ini. Gesit sekali Si Emang batagor nyamperin calon-calon pembelinya. Beberapa kawan lain ngider ke warung-warung di sekitar rumah sewa ini. Katanya sih untuk mencari inspirasi, teuing tah aya inspirasi naon di warung. Tak lama kemudian, kami sudah kembali berada di atas motor dan beriringan menuju kawasan perkebunan teh Cibuni Estate. Jalanan mulus dan sepi. Cuaca yang cukup cerah membuat perjalanan di antara kebun teh dan hutan terasa sangat menyenangkan dan menyegarkan mata dan hati.
Di sebuah belokan lumayan tajam, kami melambatkan laju kendaraan dan mengambil jalan sempit berbatu yang menanjak di sebelah kiri ke arah kebun teh. Ada plang bertuliskan Situs Kawah Cibuni dan di atasnya ada bekas gapura yang sudah tidak terpakai. Jalanan menanjak ini sedang dalam perbaikan untuk dilapisi beton, membuat ruang gerak motor menjadi semakin sempit dan harus berhati-hati melewatinya. Oya, karena jalan masuknya kecil, maka hanya motor saja yang bisa masuk ke dalam sampai area wisata, sedangkan mobil terpaksa harus diparkir di sisi jalan raya dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki atau ojek yang mangkal di gapura. Setelah ini jalanan terbuka sedikit lebih lebar, sisi kanan berupa hamparan kebun teh dan sisi kiri berupa tebing yang di atasnya adalah hutan. Punggungan gunung yang sedang kami rayapi dengan motor ini katanya masih merupakan bagian kaki dari Gunung Patuha, tempat lokasi wisata yang lebih populer berada, Kawah Putih.
Setelah sekitar satu kilometer masuk ke dalam kawasan hutan, ada gerbang yang dijaga oleh beberapa orang yang memakai pakaian seperti dari tradisional Sunda. Seorang petugas menghampiri dan menanyakan jumlah orang dalam rombongan. Biaya masuk Rp.10.000,- per orang, tidak termasuk parkir motor. Setelah beres bayar tiket masuk, lalu ke kawasan parkiran motor yang di satu sisinya dijejeri oleh warung-warung makanan-minuman dan suvenir. Di sini kami dikenakan biaya parkir Rp.5.000,- per motor. Mahal juga.
Ketika hendak beranjak turun menuju lokasi kawah, ada seorang petugas yang memanggil dan mengatakan bahwa kami harus membawa serta semua helm yang dicantel di motor. Alasannya, demi keamanan. Bila tidak ingin membawa helm, maka harus dititipkan di penitipan helm dengan biaya Rp.5.000,- per dua helm. Aneh juga aturan ini, bukannya di lembar tiket sudah tercantum keterangan “Segala bentuk kehilangan di luar tanggung jawab kami (pengelola wisata-pen.)”? Akhirnya, daripada harus repot membawa-bawa helm ke area kawah di bawah, kami pun menitipkan helm dan membayar biayanya.
Dari kawasan parkiran motor ini sebenarnya sudah dapat melihat kawasan kawah, kolam air panas, dan aliran sungai di bawah sana. Kayanya banyak banget perubahan dibanding informasi yang pernah ditulis www.mooibandoeng.com. Sekarang ada saung-saung dan dan ada kolam-kolam tambahan. Sepertinya banyak bagian kawah yang diubah, kolam yang lama sudah engga ada dan berganti beberapa kolam baru berukuran kecil. Sebaran batuan berukuran besar di dekat salah satu situs keramat juga sudah engga ada sehingga menjadi lebih terbuka. Di bagian tengah sepertinya sedang dibangun satu kolam lain berbentuk hati, cinta, lope-lope, seperti yang biasa ditemukan sekarang-sekarang ini di banyak tempat wisata ngehits dari Sabang sampai Merauke (hehe ada apa ya dengan bentuk hati ini, kok di mana-mana banyak lokasi wisata pake hiasan dengan bentuk yang sama?).
Di bawah kami temukan plang yang menyebutkan bahwa untuk mandi lumpur harus bayar lagi Rp.5.000,- Kami lalu memutuskan untuk menuju ke satu titik situs yang sudah pernah ditulis oleh Bang BR beberapa tahun lalu. Ternyata di jalan setapak menuju situs ini, sudah ada petugas dengan pakaian hitam-hitam yang berjaga. Petugas ini lalu berdiri dan mengatakan bahwa bila kami hendak ke lokasi situs, maka diwajibkan menggunakan sarung yang sudah disediakan di atas nampan dan menyumbang seikhlasnya. Selain tumpukan sarung, di atas nampan memang terdapat beberapa lembar uang kertas juga, mungkin dari pengunjung sebelum kami. Ya sudah, kami batalkan kunjungan ke situs ini, turun kembali dan menyeberangi jembatan kayu untuk menuju ke arah kawah yang lebih dalam.
Tak disangka, di sini pun sudah ada petugas-petugas lain yang segera menghentikan langkah kami dan memberi tahu bahwa bila ingin masuk lebih jauh mesti memakai sarung yang disediakan dan menyumbang seikhlasnya. Alhasil kami kebingungan, jadi uang tiket yang Rp.10.000,- tadi itu hanya untuk mengakses kawasan sempit di bagian depan ini saja? Beberapa rekan Komunitas Aleut sudah cukup sering mengunjungi Kawah Cibuni beserta situs-situsnya, namun semua lokasi yang dulu pernah dikunjungi dengan mudah itu sekarang sudah tidak dapat didatangi dengan mudah, mesti menggunakan sarung dan menyumbang seikhlasnya.
Pada sebuah bangku kayu kami berkumpul dan berembuk mengenai perubahan-perubahan ini dan mau ke mana selanjutnya. Seorang kawan yang belum terlalu lama mengunjungi kawasan ini bercerita bahwa bale-bale kayu yang dibangun di kawasan ini juga engga gratis dan bila mengambil lumpur untuk dibawa pulang pun ada biayanya. Walah, jadi semua sudah berbiaya sekarang… Kepikiran, mungkin biaya-biaya seperti ini bisa dikemas dengan lebih baik sehingga pengunjung tidak merasa terus menerus ditagih untuk bayar ini-itu. Misal tiket Rp.10.000,- atau pun lebih, sudah termasuk akses ke kawasan situs, tiket parkir sudah termasuk penitipan helm, dan seterusnya. Jadi engga sebentar-sebentar diminta bayar ini-itu yang membuat perjalanan menjadi tidak nyaman. Hampir semua kami merasa tidak nyaman, kecewa, dan tidak betah, sehingga memutuskan untuk segera keluar dari kawasan dan mencari lokasi kunjungan lain saja di Cibuni Estate. Saat keluar parkir, seorang petugas lain menambah ketidaknyamanan kunjungan dengan cara menyegat kendaraan tanpa senyuman dan hanya berkata pendek, “bayar parkir dulu.”
Kami keluar dari Cibuni dan langsung mengarahkan kendaraan ke jalur jalan yang menuju ke Naringgul. Katanya sih bukan mau ke Naringgul, hanya cari tempat untuk makan siang bersama di lokasi perkebunan teh yang engga terlalu populer tapi sudah jadi favoritnya anak-anak Komunitas Aleut dalam beberapa tahun ini. Kalau lihat plang-plang nama di kampung yang terlewati, perkebunan ini masih termasuk wilayah Cibuni Estate. Engga tau pasti juga apa nama tempat ini, tapi kata Bang BR, engga jauh dari sini ada pabrik teh milik PT Melania Indonesia. Kantor pusat pabrik ini ada di Medan sedangkan kebun yang mereka kelola ada di Banyuasin, Sumatera Selatan, dan di Cibuni ini. Kami parkir di sebuah tempat beratap yang disebut Panimbangan. Beberapa kawan mendapat tugas mencari nasi bungkus untuk makan bersama, sementara yang menunggu mengobrol dan eksplorasi kawasan sekitar.
Setelah satu jam, kawan-kawan yang mencari makan sudah kembali, katanya baru nemu warung makan cukup jauh, di jalur menuju Balegede, namanya Warung Kabut di Gunung Sumbul. Pada saat menunggu makan, beberapa kawan yang eksplorasi lokasi menemukan satu jalur sungai kecil dari arah perkebunan teh, setelah diperiksa, ternyata lokasinya sangat menarik, buntu dan terpencil. Akhirnya seluruh rombongan diarahkan ke lokasi sungai kecil ini melalui jalanan perkebunan teh. Di sini banyak batu-batu besar yang dipecah-pecah menjadi ukuran kecil-kecil. Sepertinya memang ada kegiatan penambangan batu yang ditinggalkan. Kami pun gelar terpal untuk alas makanan. Sementara itu kabut turun dengan tebalnya, lebih tebal dari yang kami bayangkan sebelumnya.
Makan bersama di tempat terpencil, di sisi aliran sungai kecil yang jernih berteman kabut yang tebal, sungguh merupakan pengalaman indah yang baru sekali ini dialami sebagian besar kawan. Makan dengan menu seadanya menjadi terasa sangat enak dan menyenangkan. Walaupun air sungai terasa sangat dingin, tapi beberapa kawan nekad nyemplung dan bermain air. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Ya, sebagian lagi bermain di darat saja sambil riuh foto-foto dan merekam video.
Usai makan dan saat kabut masih turun dengan pekatnya, Bang BR meminta agar kami semua bersiap untuk segera bergerak pulang ke penginapan. “Ayo cepat, kita harus bergerak mumpung kabutnya masih turun dengan tebal, kita harus menikmati pengalaman seperti ini di jalanan pergunungan dan perkebunan teh.” Ternyata usulan ini memang bener-bener memberikan pengalaman luar biasa. Kami bergerak sangat pelan di jalanan mulus Cibuni Estate. Kami menikmati sekali perjalanan membelah kabut yang tidak ada habisnya ini. Beberapa kali kami sempat berhenti untuk membuat foto-foto. Pengalaman yang sangat menyenangkan dan tak terbayangkan sebelumnya. Beberapa kawan bilang, ini kado ulang tahun Aleut dari Perkebunan Teh Cibuni. Ini jelas kado alam yang bakal selalu teringat dalam waktu yang lama.
Kabut kemudian menipis menjelang gapura Perkebunan Teh Rancabali, tapi bayangan pulang tiba-tiba buyar karena motor Bang BR yang berada paling depan berbelok masuk lagi ke tengah perkebunan. Jalanan mulus berubah drastis menjadi jalanan berbatu makadam khas perkebunan. Rombongan motor masuk jauh lebih ke dalam melewati sebuah menara besi yang menjulang tinggi. Ternyata Bang BR secara spontan membagikan bonus lokasi untuk menikmati pemandangan perkebunan hijau yang luas dari tempat yang tidak biasa. Pasukan model amatir segera menyeruak daun-daun teh, mengatur posisi, dan mematut-matut diri untuk berfoto. Yah, keseruan tambahan sore ini di tengah-tengah Kebun Teh Rancabali.
Sesaat menjelang gelap, motor-motor kami sudah beriringan perlahan menuju rumah penginapan. Istirahat sebentar, langsung bagi tugas, sebagian dari kami akan mencari nasi bungkus untuk makan malam bersama. Setelah ini masih akan ada dua kegiatan lagi, Kelas Literasi dan Refleksi. Karen sudah cukup terlatih dan terbiasa dalam banyak kegiatan, semua kegiatan kolektif seperti ini berjalan dengan sangat lancar di Komunitas Aleut, tidak ada yang bertele-tele, sehingga dalam waktu singkat kami sudah duduk melingkar di ruang tengah untuk menghadapi makanan yang sudah tersedia. Ada ikan goreng, ayam goreng, ayam kecap, sayur-sayuran berkuah dan tumis-tumisan, pepes peda, peuteuy, kurupuk, dan entah apa lagi. Makan bersama memang selalu seru dan terasa lebih nikmat.
Kurang dari pukul 20.00 Bang Alek sudah siap untuk bercerita berbagai pernik tentang perkebunan teh (dan kopi) di Priangan. Jadwal Kelas Literasi dengan tema Sejarah Perkebunan Teh tadi siang berlanjut malam ini. Oya nanti malam juga masih ada satu kegiatan lagi, berendam di kolam Green Hill Village, seperti yang biasa dilakukan bila sedang menginap di Ciwidey. Cerita tentang isi Kelas Literasi beserta diskusnya ini saya sekip saja karena nanti juga akan ada rekan lain yang menulisnya dengan lebih lengkap dan tentunya lebih baik. Yang jelas, obrolan tentang perkebunan dan sejarah teh ini berlangsung sampai kira-kira pukul 01.30 dini hari! Tempat berendam sudah dipesan, kami keluarkan motor-motor dan di tengah dinginnya udara kami menembus pekatnya malam menuju kolam air panas untuk berendam.
Kegiatan berendam yang spektakuler ini berlangsung kira-kira dua jam dan pukul 04.00 kami sudah kembali ke rumah penginapan. Bersih-bersih, dan menyiapkan posisi tidur masing-masing. Malam ini pasti akan kurang tidur dan perjalanan seharian besok akan ditempuh dalam kantuk. Yah, sudah tahunan seperti ini, sebagian kawan sudah hafal pula polanya, sehingga sudah mempersiapkan diri.
Bersambung ke bagian 2…
* * * * *
Ping balik: Ngaleut Sinumbra: Bagian 2 (Sinumbra-Cipelah) | Dunia Aleut!
Reblogged this on Site Title.