Menutup April di Rancabolang

Oleh: Chyntiami Ayu Dewi (@chyntiami)

Minggu 30 April 2017, Komunitas Aleut mengadakan kegiatan rutinnya, kali ini berjudul Ngaleut Dewata. Konon Dewata adalah nama sebuah perkebunan teh di kawasan Ciwidey yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, kali ini para peserta datang lebih awal, mungkin karena mereka merasakan apa yang Neneng rasakan, tak sabar menantikan kejutan apa yang ada di Ngaleut Dewata ini. Kami sudah berada di titik kumpul yang telah ditentukan sebelumnya oleh Komunitas Aleut, di Kedai Preanger, Jalan Solontongan 20-D Buahbatu sejak pukul 07.00 pagi.

Sekitar pukul 08.00 briefing sudah berlangsung, sama seperti briefing-briefing sebelumnya yang meliputi acara perkenalan, pembagian pasangan di perjalanan, dan peyampaian gambaran umum rute yang akan dilewati. Ya, Neneng berpasangan dengan Teh Dewi. Tepat pukul 08.30 Neneng mulai meluncurkan motor matik bersama 20 motor lainnya melewati rute yang telah ditentukan.

Check Point pertama adalah pom bensin di Jl. Sekelimus. Kami semua diwajibkan untuk mengisi bahan bakar terlebih dahulu. Kemudian kami memutar arah memasuki perumahan Batununggal, lalu keluar di Mengger, melewati pabrik coklat yang membuat Neneng lapar seketika. Motor terus melaju ke arah Cisirung-Sayuran-Rancamanyar-Bojongwaru-Rancaengang-Doton-Gandasari-Gandasoli Kidul. Di jalur ini kami sudah mendapat suguhan pemandangan hamparan sawah dan gunung. Neneng yakin ini baru pemanasannya saja karena jalanan yang dilalui masih bisa dibilang sangat mulus dalam kategori Ngaleut Alam.

Kami berhenti sebentar di sebelah tukang kue balok di Rancatungku sebelum menyeberang ke arah Babakan Peuteuy. Kue balok! Sial kue itu mengingatkan kembali pada rasa lapar yang tadi sempat terlupakan. Neneng ditawari kantong hitam berisi kue balok oleh seorang kawan untuk pengganjal lapar. Neneng mengambil satu dan langsung melahapnya. Sialnya, gigitan terakhir kue itu malah membuat lapar semakin membuas.

Belum sempat Neneng turun membeli sesuatu untuk menjinakkan rasa lapar, kawan-kawan yang lain sudah siap di atas motornya masing-masing yang sudah menyala. Akhirnya Neneng melaju mengikuti kawan yang lain menuju Jl. Raya Banjaran-Soreang. Kami berhenti di depan supermarket sebelum memasuki Jl. Bhayangkara. Yap, mata Neneng langsung tertuju pada gerobak bakso dan dengan segera Neneng memesan satu bungkus bakso tanpa memikirkan bagaimana cara memakannya. Ternyata semangkuk bakso itu langsung dituangkan ke dalam keresek hitam seperti sampah. Ampun!

Apa daya, karena waktu yang sempit dan rasa lapar yang semakin ganas, akhirnya Neneng melahapnya habis sambil mengendarai motor di jalur Bhayangkara-Bandasari. Sayang, teman seperjalanan Neneng tidak mempunyai sisi romantis, hingga tidak ada niat untuk menyuapi.

Kami berhenti tepat di depan gapura perumahan Bandasari untuk menentukan rute mana yang akan dipilih. Tentunya pada saat Ngaleut Alam, kami biasanya memilih jalan perkampungan yang belum pernah kami lewati sebelumnya. Alhasil, kami memilih rute Bandasari-Leuweungdatar-Ciseupan-Cibodas-Cisondari. Kondisinya? Benar-benar di luar dugaan, lepas Bandasari kami melewati Leuweungdatar dengan 4 tanjakan yang sangat curam, sebagian besar dari kami harus turun dari motor yang ditunggangi karena tak sanggup melewatinya dengan beban dua orang.

Selain tanjakan, kami juga melewati jalan yang hampir runtuh karena longsor. Untunglah Neneng bersama rombongan Aleut mengendarai motor dengan hati-hati. Tidak seperti rombongan motor lainnya yang dituntut GPRS (Gass Pool Rem saeutik). Besar kemungkinan para penganut GPRS bisa jatuh ke dalam ke jurang karena sebagian badan jalan yang runtuh tertutupi oleh rumput liar.

Tak sadar, matahari sudah tepat berada di atas ubun-ubun, adzan pun sudah berkumandang, kami memutuskan untuk isoma di salah satu masjid Desa Cibodas. Dengan memanggil pedagang batagor dari kejauhan, kami dapat menyantap batagor sebagai menu makan siang. Untunglah beberapa kawan juga membawa bekal nasi. Sehingga batagor, nasi, dan secangkir kopi yang kami beli dari warung seberang jalan menjadi menu yang klop. Sampai waktu menunjukkan pukul 13.00 kami masih terlena, bahkan sebagian ada yang terlihat tidur pulas.

Tak lama, kami bergegas melanjutkan perjalanan, tak ada satu orang pun yang tahu pasti seberapa jauh jarak yang masih akan ditempuh, bertanya pada warga pun hanya mendapatkan jawaban yang simpang siur karena masing-masing memberikan informasi yang berbeda.

Sekitar pukul 15.00 kami berhasil melewati bagian pertama rute ini dan tiba di Jl. Raya Ciwidey. Sedangkan Dewata? Tetap belum ada gambaran pasti di mana dan kapan kami akan tiba di sana. Kami memasuki Jl. Citiwu yang terletak sebelum terminal Pasir Jambu. Baru saja kami memasuki jalan ini, sapaan dingin hujan dan jalanan berbatu campur tanah turut menyapa kedatangan kami. Jalan seperti ini ternyata masih dibilang “bagus” oleh warga sekitar.

Semakin jauh kami meluncur, semakin manja kedua mata melirik ke kanan dan ke kiri melihat pemandangan yang aduhai seperti hutan yang masih liar dan perkebunan teh yang terhampar luas sejauh mata memandang. Udara dingin yang kian menusuk tidak mengganggu keasyikan Neneng berkendara, sampai saat mata menangkap plang bertuliskan “Habitat Babi Hutan,” rasa takut dan khayalan bila babi itu tiba-tiba menyeberang jalan di depan kami mulai menghantui pikiran. Kekhawatiran ini tak berlangsung lama karena Neneng kembali terhipnotis oleh keindahan yang terpampang silih berganti.

Kami berhenti di persimpangan jalan antara Rancabolang dengan Dewata untuk menunggu salah satu kawan yang motornya mengalami kempes ban. Untunglah di dekat situ ada sebuah kios yang menjajakan berbagai macam gorengan, minuman penghangat, dan mie telur rebus yang menjadi pilihan utama sebagian besar kawan. Pemandangan yang luar biasa aduhai di sekitar warung ini membuat penyakit selfie Neneng kambuh. Neneng rasa kawan yang lain pun begitu. Tanpa menunggu komando, berbagai macam merek kamera mulai beraksi.

Langit mulai menampakan lembayungnya. Dengan berbagai pertimbangan, kami memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Dewata, dan mengambil jalur yang konon menuju Kawah Putih Ciwidey. Stamina pun seolah-olah kembali penuh mendengar ada rencana untuk berendam air panas setiba di Ciwidey nanti.

Kami melanjutkan perjalanan sebelum hari semakin gelap. Di beberapa titik kami berhenti sejenak untuk berfoto dan menikmati pemandangan alam. Dari kejauhan terdengar kumandang adzan magrib, namun tak satu pun masjid yang kami temui di sepanjang jalur jalan ini. Hanya tetumbuhan yang terlihat di kanan dan kiri jalan. Perjalanan kami terhenti di sebuah persimpangan yang tampaknya sangat terpencil, tidak terlihat ada rumah ataupun perkampungan yang dekat. Hanya ada sebuah plang bertuliskan Perkebunan Teh Patuhawattee. Di sini kami harus menunggu warga lewat untuk menanyakan jalur jalan yang benar menuju Kawah Putih.

Sekitar 30 menit kami menunggu. Beberapa kawan mencoba mencari koneksi internet untuk dapat mengetahui arah. Akhirnya sebuah mobil bak terbuka terlihat berjalan ke arah kami. Dengan sigap salah seorang kawan memberhentikan mobil itu dan dengan sopan menanyakan arah. “Ambil jalan kanan, masih jauh dan harus melewati beberapa bukit lagi,” kira-kira begitulah informasi yang didapatkan.

Iming-iming berendam air panas membuat Neneng tetap optimis bahwa kami akan dapat melewati jalur jalan jelek yang harus kami hadapi. Terasa sombong dengan pikiran, “Jalanan jelek sih sudah biasa ini mah.” Ternyata kondisi jalan yang akan dilewati sangat di luar dugaan. Banyak batuan besar berserakan begitu saja di atas jalan, sampai-sampai rasanya ban motor tidak menjejak dasar jalan. Kondisi membuat Neneng tak sanggup mengendarai motor dengan baik walaupun kecepatannya hanya 10 km/jam.

Dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya memutuskan untuk memutar balik, kembali ke persimpangan Patuhawattee. Kami berkumpul sejenak karena beberapa kendala, seperti hawa dingin yang terasa sakit menusuk tulang dan salah seorang kawan yang tiba-tiba menangis karena melihat penampakan makhluk halus. Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan pulang dengan kembali melewati rute Rancabolang-Citiwu. Di pertigaan Rancabolang-Dewata, kami bermaksud berhenti untuk membeli makanan dan minuman penghangat. Sayang, warung yang kami tuju sudah tutup dan tak ada seorang pun di dalamnya. Kami pun menunggu sementara beberapa kawan pergi mencari informasi keberadaan warung lainnya.

Ya, akhirnya kami menemukannya tak jauh dari situ. Kami mulai memesan mie, kopi, atau susu jahe yang ada di sana. Hampir satu jam kami beristirahat menghangatkan badan, setelah itu bersiap meluncur pulang melewati gelapnya malam dan dinginnya udara yang menusuk tulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 ketika kami berada di tengah hutan Cagar Alam Gunungtilu. Beberapa kendala mulai bermunculan, rem cakram belakang blong, lampu depan meredup dan membuat perjalanan harus ekstra hati-hati. Sekitar pukul 22.00 mulai terlihat lampu-lampu rumah, suasana perkampung mulai terasa. Ketegangan megendur dan beberapa kawan berteriak gembira tanda kelegaan.

Di jalur jalan antara Ciwidey-Kopo, beberapa kawan berpisah menuju arah pulangnya masing-masing, sementara sebagian besar dari kami masih beriringan sampai di titik akhir perjalanan, Kedai Preanger. Lalu apa yang terjadi setelah kami sampai? Tidak, kami tidak langsung membaringkan badan untuk beristirahat. Seperti biasa, sesi sharing dan curhatan-curhatan konyol mulai berlangsung dengan sendirinya.

Terimakasih Aleut untuk kado akhir bulan April yang indah dan tak terlupakan. Neneng siap untuk mengulang Ngaleut Dewata yang dalam kesempatan ini belum sempat terlaksana sempurna.

* * * * *

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s