Budaya Cetak, Daring, dan Para Pengeluyur

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

Generasi yang tumbuh di tengah zaman yang memuliakan budaya cetak adalah mereka yang punya pengalaman tentang kesabaran. Seseorang mencetak satu esai lalu memasukkannya ke amplop, kemudian mengirimnya ke redaksi sebuah harian via kantor pos; hanya untuk menerima surat penolakan. Demikian berulang-ulang, lalu pada pengiriman yang ke-44 tulisannya baru dimuat.

Para penulis tamu surat kabar biasanya hanya punya tempat di rubrik opini, selebihnya jangan terlalu berharap. Dan rubrik ini bukanlah medan laga yang tak mudah, saingannya beratus profesor dan dari kalangan akademik lain dengan gelar berderet-deret, serta dengan kemampuan menulis analisa yang bukan main-main. Maka para penulis pemula mesti bersiap merangkak di titian kesabaran selama berbulan-bulan dengan surat penolakan yang datang tiada henti.

Dulu para penulis beradu tulisan demi merayu para editor sehingga bisa meloloskan tulisannya. Di buletin, koran, dan majalah, mereka berdaki-daki dengan segala jurus tulisan dan kantong-kantong kesabaran yang telah dipersiapkan. Namun proses merayu dan menunggu itu sesungguhnya relatif mudah, sebab di fase sebelumnya mereka telah melakukan kerja-kerja lain yang lebih berkeringat.

Menulis pada mulanya adalah pekerjaan kaki. Sebelum jaringan internet berkuasa seperti sekarang, dan warnet masih sebentuk jajanan mahal bagi para penulis kere, serta USB belum dijajakan di kios-kios; para penulis kerap keluar dari rumah atau kamar kostnya, untuk mengamati kehidupan sosial sekeliling, lalu menangkap kisah yang menarik darinya.

Referensi bacaan tanpa disertai kehadiran di lapangan tak lebih dari sebuah tulisan yang berjarak; gagap dalam menangkap pengalaman, dan kering tendensi personal. Manusia adalah makhluk yang otentik, jika sisi itu tidak digali dengan cermat maka setiap tulisan akan rentan pada kategori penyeragaman. Dan setiap yang tak berbeda tak ubahnya laku menabur garam di lautan.

Pengalaman manusia, betapa pun terjadi pada waktu dan tempat yang sama, pastilah akan tetap berbeda. Terlebih jika memiliki sudut pandang yang kaya terhadap pengalaman tersebut. Di titik inilah perjalanan personal para pengeluyur mendapatkan tempatnya yang istimewa. Tulisan mereka belum tentu bagus, tapi berbeda adalah kepastian. Namun perlu ditegaskan, karena yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah budaya berkisah dan bercerita, maka pada prakteknya perjalanan itu harus tak melupakan manusia.

Jika menilik para penulis catatan perjalanan, atau lebih dikenal dengan travel blogs; kita tak bisa menampik bahwa yang kerap ditemui pada tulisan-tulisannya adalah benda mati. Kita jarang sekali menemui manusia dengan kehidupannya yang beragam, porsinya kalah dengan debur ombak, sinar mentari, kilau air laut, semilir angin gunung, gemerlap kota, anggunnya bangunan, dan kata-kata keindahan lainnya. Catatan perjalanan seperti punya tendensi untuk menuliskan surga. Para pengeluyur mesti menghindari kecenderungan bunga-bunga seperti itu.

Kini dengan jaringan internet di genggaman, para penulis tinggal duduk manis dan menggerakkan jemari. Perpustakan raksasa yang menjelma di mesin-mesin pencari perlahan menjauhkan para penulis dengan dunia sekitarnya. Ironisnya, dengan kemudahan yang tak perlu menumpahkan keringat itu, bibit kemalasan justru tumbuh subur. Tak sedikit ketika menjelajah mesin pencari, para penulis hanya mampu bertahan di page 3. Jika sampai halaman itu tak mendapatkan apa yang dicarinya, mayoritas langsung mengganti kata kunci dan mencari lagi yang lain, yang lagi-lagi biasanya hanya kuat bertahan di angka yang tak pernah menyentuh belasan.

Jika ada seribu penulis yang mencari dengan kata kunci yang sama, dan semuanya hanya bertahan sampai halaman 3, bisa kita bayangkan kesamaan sumber data dan perspektifnya. Sekadar contoh, sampai hari ini sudah berapa tulisan tentang Jalan Braga? Jalan legendaris di Kota Bandung itu barangkali sudah bosan dengan catatan tentang dirinya sendiri. Namun jika kita coba datang ke Braga, berjalan, dan mengamati apa pun, tentu selalu ada kisah berbeda yang bisa kita tangkap. Setiap perjalanan adalah perjumpaan, dan setiap perjumpaan tidak pernah akan sama.

Maka arus informasi yang bergerak di genggaman daring sesekali mesti disegarkan dengan pengalaman-pengalaman personal yang berkeringat; berbicara dengan orang asing yang dijumpai di jalan, mencium aroma kopi dari warung, menahan bau pesing di toilet umum, berdesakan di pasar tradisional, bermain catur dengan tukang rokok, atau berbagi kisah dengan pelukis jalanan, dan masih banyak lagi.

Kemudahan bukan untuk kita bekukan dan lalu terbenam di masalalu, kita bahkan mau tidak mau mesti menumpang pada lajunya, namun arus deras itu sesekali mesti melempar jangkarnya di pelabuhan. Mengembalikan lagi laku menulis pada permulaannya, yaitu pekerjaan kaki. [irf]

Postscript:

Catatan ini disarikan dari hasil menyimak para pembicara di kelas menulis esai yang diadakan oleh Pandit Football Indonesia

 

Tautan asli: https://pustakapreangerblog.wordpress.com/2015/12/11/budaya-cetak-daring-dan-para-pengeluyur/

2 pemikiran pada “Budaya Cetak, Daring, dan Para Pengeluyur

  1. Variabel penting dalam kasus ini adalah kualitas sang penulis. Daring ataupun keluyuran hanya perbedaan metodologis yang sejatinya horizontal. Para penulis daring kekurangan subjektivitas, empati, dan (kemungkinan) relevansi. Namun para pengeluyur juga bisa kehilangan objektivitas akibat empati dan emosi pada objek tulisan. Kemampuan penulis melihat gambaran besar dari objek adalah yang utama.

    Yves Eudes, jurnalis dari Le Monde pernah men-judge begini, “First-hand witnesses cannot see the big picture. They’re not trained to understand whether what they’re seeing is relevant to the big picture or to see what really happens. They’re trained to see what they want to see”.

    Anyway, nice writings, Mang Ir !. Always look for your future writings.
    Indra

Tinggalkan Balasan ke Siti Batalkan balasan