Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)
Generasi yang tumbuh di tengah zaman yang memuliakan budaya cetak adalah mereka yang punya pengalaman tentang kesabaran. Seseorang mencetak satu esai lalu memasukkannya ke amplop, kemudian mengirimnya ke redaksi sebuah harian via kantor pos; hanya untuk menerima surat penolakan. Demikian berulang-ulang, lalu pada pengiriman yang ke-44 tulisannya baru dimuat.
Para penulis tamu surat kabar biasanya hanya punya tempat di rubrik opini, selebihnya jangan terlalu berharap. Dan rubrik ini bukanlah medan laga yang tak mudah, saingannya beratus profesor dan dari kalangan akademik lain dengan gelar berderet-deret, serta dengan kemampuan menulis analisa yang bukan main-main. Maka para penulis pemula mesti bersiap merangkak di titian kesabaran selama berbulan-bulan dengan surat penolakan yang datang tiada henti.
Dulu para penulis beradu tulisan demi merayu para editor sehingga bisa meloloskan tulisannya. Di buletin, koran, dan majalah, mereka berdaki-daki dengan segala jurus tulisan dan kantong-kantong kesabaran yang telah dipersiapkan. Namun proses merayu dan menunggu itu sesungguhnya relatif mudah, sebab di fase sebelumnya mereka telah melakukan kerja-kerja lain yang lebih berkeringat. (more…)