Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Indonesia sempat digemparkan oleh klaim Malaysia atas beberapa budaya Indonesia pada tahun 2007, salah satunya adalah angklung. Klaim ini sontak menimbulkan amarah sekaligus kecemasan dari warga Indonesia. Marah karena budaya yang sudah mendarah daging di Indonesia ini mendadak diklaim negara lain, namun juga cemas karena takut budaya ini akan diakui oleh dunia sebagai budaya asli Malaysia. Kecemasan ini beralasan, karena lima tahun sebelumnya Indonesia sudah kehilangan Pulau Sipdan dan Ligitan melalui persidangan internasional ke tangan Malaysia.
Enggan kecolongan kembali, Pemerintah Indonesia langsung melakukan respon serius. Angklung langsung didafrtarkan sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO pada bulan Agustus 2009, setelah setahun sebelumnya Indonesia juga mendaftarkan batik. Batik yang didaftarkan terlebih dahulu akhirnya diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda pada bulan Oktober 2009.
Setelah proses selama setahun lebih, akhirnya UNESCO menetapkan angklung sebagai Warisan Budaya Tak Benda asli Indonesia pada 16 November 2010 di Nairobi (Kenya). Hari penetapan ini kemudian diperingati sebagai hari Angklung Sedunia.
Kecemasan akan klaim mungkin berakhir, namun UNESCO memberikan satu syarat: angklung harus tetap terpelihara, terlindungi, terpromosikan, dan tergenerasikan dalam bentuk nyata. Jika tidak demikian, penetapan UNESCO atas angklung bisa dicabut kapan saja.
***
Angklung pada awalnya diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri (dewi pertanian, dewi padi, dan dewi kesuburan) turun ke bumi, agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Selain karena kepercayaan tersebut, menurut Kang Robi, alunan suara bambu seperti angklung yang dimainkan di sawah mampu mengusir hama dan binatang lain yang mengusik pertumbuhan padi. Di beberapa daerah, tradisi ini masih dipertahankan di tengah derasnya arus modern.
Dalam perkembangannya, meskipun masih terkait dengan kebudayaan pertanian, permainan angklung kemudian diikuti dengan gerakan yang ritmis. Pada saat pesta panen dan seren taun, permainan angklung menjadi sebuah pertunjukan berbentuk arak-arakan, atau helaran.
Angklung yang beredar di masyarakat sampai awal 1930-an masih menggunakan tangga nada pentatonis Sunda (da-mi-na-ti-la). Inovasi angklung diatonis layaknya alat musik modern baru muncul di akhir era yang sama. Adalah Pak Daeng Sutigna, seorang guru sekolah dasar yang mempopulerkan angklung diatonis.
Ide munculnya angklung diatonis ini berawal dari kesulitan yang dialami Pak Daeng dalam mencari alat musik murah untuk mengajar muridnya. harga alat musik pada saat itu sangat mahal. Kemudian Pak Daeng menemui Pak Djaja, pengrajin angklung pada saat itu untuk membuat angklung diatonis. Setelah sekian banyak trial and error, terciptalah angklung diatonis tersebut. Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Padaeng.
Angklung kini tak bisa terlepas dari nama Mang Udjo Ngalagena. Setelah Pak Daeng Sutigna berpulang ke hadapan-Nya, praktis hanya Mang Udjo dan keturunannya saja yang masih konsisten melestarikan angklung. Keseriusan Mang Udjo dalam melestarikan angklung terlihat dari perubahan nama saung kesenian Sunda miliknya menjadi Saung Angklung Udjo. Saat ini tongkat estafet pelestarian angklung telah berpindah ke anak-cucu Mang Udjo.
***
Sebagai bentuk nyata dari syarat UNESCO tadi, Saung Angklung Udjo secara rutin mengadakan acara Angklung Pride. Nah, di hari Minggu (15/11/2015) kemarin bersama Komunitas Aleut, saya berkesmpatan untuk berkunjung ke Saung Angklung Udjo dalam acara Angklung Pride yang bertajuk #AngklungPride5. Bersama Komunitas Bandung Sketchwalk dan Bandung Youth Forum, kami menjelajahi saung angklung terbesar di Indonesia ini.
Tahun ini, acara utama Angklung Pride dilaksanakan di luar negeri seperti Prancis, Taiwan, dan Ukraina. Meskipun demikian, Bandung sebagai rumah dari Saung Angklung Udjo tetap juga melaksanakan Angklung Pride. Seperti apa sih kegiatan kami di SAU dari pagi hingga tengah hari kemarin? Kawan-kawan bisa mengetahuinya melalui video berikut.
Di luar kekesalan dan kecemasan akan klaim negara tetangga, sepatutnya juga kita berterima kasih kepada Malaysia, karena klaim itu pula kita sekarang bisa lebih peduli dengan angklung. Jika saja tidak ada klaim, mungkin saat ini kita masih acuh tak acuh akan angklung.
Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/11/17/memaknai-hari-angklung-sedunia-dengan-angklung-pride/