Menjatuhkan Cinta di Saung Udjo

Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)

saung-angklung-udjo-main-angklung-bersama

“Sorot mata penari cilik itu membuat cinta penulis harus terjatuh kesekian kali”

Untuk kedua kalinya, penulis berkunjung ke Saung Udjo. Pertama, penulis bersama teman sekantor menonton pertunjukan stand up comedy yang diselenggarakan di sana, beberapa tahun yang lalu. Dan ini merupakan kunjungan penulis yang kedua, bersama Komunitas Aleut, dalam rangka Angklung Pride 5. Sebagai orang Bandung asli, penulis merasa berdosa karena baru kali ini bisa menjejakkan kaki untuk menonton pertunjukan seni di Saung Udjo.

Pada awalnya, penulis merasa biasa saja dengan pagelaran seni yang dibuka dengan pagelaran wayang golek yang menonjolkan si Cepot itu. Suasana hati berganti kala pertunjukan tari dimulai. Beberapa anak perempuan kecil dengan gemulai menarikan sebuah tari, dan secara tidak sengaja penulis mendapatkan sorot mata cantik sang penari.

Penulis adalah penggemar seni, dan itu sudah cukup bagi penulis yang merasa tidak berbakat dalam bidang tersebut. Tapi, nilai-nilai seni penulis di sekolah tidak bisa membohongi hal tersebut. Di SD misalnya, penulis pernah menjadi juara menggambar. Di SMP dan SMA, penulis mampu membaca not balok dengan belajar secara otodidak dan mendapatkan nilai yang memuaskan atas kemampuan itu. Kemampuan berkesenian itu berlanjut saat penulis masuk kuliah dengan jurusan sastra. Namun penulis, akhirnya penulis hanya menjadi penikmat seni saja, tidak lebih.

Sorot mata penari cilik itu membuyarkan konsentrasi penulis saat itu. Di bawah alunan nada, dia menggerakan tubuh, tangan, dan kakinya dengan gemulai. Sorot matanya terkadang sayu untuk meresapi setiap nada dan gerakan tarian yang dia lakukan. Dan sorot mata itu, sorot mata itu membuat penulis merasa sepi, hening, sendiri untuk sesaat, di tengah keramaian, di antara riuh rendah suara penonton saat itu.

Tiba-tiba, penulis membutuhkan mesin waktu saat itu. Ingin rasanya penulis kecil mengunjungi tempat ini dan ikut berlatih memainkan angklung, atau menari di sana.

Suasana Saung Udjo sepertinya diciptakan bagi para pekerja seni. Selain membuat dan memainkan angklung, di sana disediakan sanggar tari bagi anak-anak yang berminat untuk menyalurkan bakat seni mereka. Lihatlah bagaimana penari-penari cilik itu berlatih bersama di bawah pohon taman di dalam komplek. Mereka berlatih, saling mengkoreksi, dengan penuh kesenangan. Suasana yang di desa terpencil pun jarang kita temui lagi.

Uniknya, nama Saung Udjo sudah dikenal luas di masyarakat internasional. Banyak sekali penampilan-penampilan mereka dilakukan di luar negeri. Bahkan, Saung Udjo menjadi ujung tombak kelestarian angklung, yang kini menjadi salah satu benda yang diakui UNESCO sebagai alat musik dunia yang berasal dari Indonesia.

Namun, perkembangan zaman mengubah wajah dunia dan isinya, sekaligus menggerus beberapa hasil budaya manusia jaman dahulu. Banyak daerah yang terlepas dari kebudayaannya karena pengaruh budaya dominan lainnya. Di Sunda, banyak sekali budaya yang terancam kepunahannya, bahkan sudah punah. Budaya seperti kaulinan barudak (permainan anak-anak) misalnya, amat jarang bisa kita temui lagi keberadaannya. Mari kita berhitung, berapa banyak hasil budaya Sunda yang tidak pernah kita saksikan lagi sekarang?

Sebagian orang-orang memang peduli akan keberadaan Bahasa Sunda. Mereka terus berusaha mati-matian agar bahasa ini tetap ada dan tidak punah. Tapi sebagian yang lain seolah tidak peduli. Kita seolah sedang menyaksikan parade kematian budaya dan bahasa Sunda.

Keadaan ini membawa penulis pada kondisi yang digambarkan oleh filsuf sejarah bernama Oswald Spengler dan Arnold Toynbee. Dengan senada, keduanya mengatakan bahwa kebudayaan akan runtuh, jika kebudayaan itu sudah kehilangan jiwanya. Persis seperti budaya dan bahasa Sunda yang kini mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.

Tidak lucu memang jika semua hasil produk kebudayaan Sunda, seperti angklung misalnya, dilembagakan di tengah masyarakatnya sendiri. Di dalam lembaga tersebut, mereka dipelihara dan tetap hidup, tapi tetap terancam bahkan telah punah di lingkungan aslinya. Kita bisa saja membangun ratusan bahkan ribuan padepokan seni semacam Saung Udjo. Tapi buat apa jika ruh kesenian-kesenian itu telah hilang dari hati masyarakatnya?

Kembali penulis membayangkan untuk mendapatkan mesin waktu saat itu. Penulis ingin kembali ke masa anak-anak, kemudian ikut bergabung ke Saung Udjo. Selain untuk ikut bergembira, berekspresi di sana, penulis ingin sekali menjadi orang yang peduli untuk melestarikan budaya Sunda, sejak dini.

Wassalam

 

Tautan asli: https://hevifauzan.wordpress.com/2015/11/18/menjatuhkan-cinta-di-saung-udjo/

Iklan

2 pemikiran pada “Menjatuhkan Cinta di Saung Udjo

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s