Perpisahaan, Topi, dan Kereta Api

Oleh: Kedai Preanger (@KedaiPreanger)

“Akhirnya peluit pun dibunyikan
Buat penghabisan kali kugenggam jarimu
Lewat celah kaca jendela
Lalu perlahan-lahan jarak antara kita
Mengembang jua
Dan tinggallah rel-rel, peron dan lampu
Yang menggigil di angin senja.”
—Elha

Entah, bagi saya kereta api selalu identik dengan perpisahan. Tak hanya kereta sebetulnya, namun alat transportasi lain pun kerap menyuguhkan satu episode itu; memisahkan seseorang dengan orang-orang terkasihnya. Kereta api dan moda transportasi lainnya, menjadi perantara kepergiaan dan perpisahan.

Lebih dari  setahun yang lalu, saya pernah mengalami perpisahan. Walau tak sedramatik perpisahan seperti pada puisi yang saya kutip di pembuka catatan ini. Jika puisi digunakan untuk menerangkan majas personifikasi, perpisahan yang saya alami mungkin bisa ditasbihkan sebagai contoh majas hiperbola.

Anggaplah saya terlalu membesar-besarkan kejadian itu, karena perpisahaan yang terjadi bukanlah dengan kekasih pujaan hati atau orang-orang tersayang, namun “hanya” dengan sebuah topi. Ya, sebuah topi yang dibeli dari upah sebagai joki semester pendek saat kuliah dulu. Topi dari sebuah band kegemaran,  juga koleksi topi mula-mula–sebagai minat yang saya rawat dengan sepenuh hati.

Perpisahaan itu terjadi saat ngaleut bersama kawan-kawan Komunitas Aleut ke Cimahi. Untuk mencapai salah satu kota yang bertetangga dengan Kota Bandung tersebut, kami menggunakan Kereta Rel Diesel (KRD). Di atas  kereta jurusan Cicalengka-Padalarang itulah “bencana” terjadi.

Saat kereta yang saya tumpangi berpapasan dengan kereta dari arah berlawanan, beberapa rekan pegiat Komunitas Aleut melongokan kepalanya keluar jendela, sambil berteriak–berusaha mengalahkan suara kereta yang berpapasan. Tertarik dengan keriuhan yang terjadi, saya pun melakukan hal yang sama, dan perpisahan itu terjadi.

Angin dari kereta yang melaju berlawanan arah, menerbangkan topi kesayangan. Saya tertegun sejenak, sambil memandang kosong pada tanda peringatan “Dilarang mengeluarkan anggota badan” yang terpampang di atas ambang jendela kereta. Rasanya itu kali terakhir saya berpergian menggunakan kereta api. Hingga akhirnya, beberapa hari ke belakang, kesempatan untuk melakukan perjalanan menggunakan kereta api datang lagi.

Kereta Api Indonesia (KAI) bekerjasama dengan Altour Travel Indonesia menyelenggarakan “Traveling by Train” tanggal 16 – 18 September 2015 dengan rute Bandung-Semarang, pergi-pulang. Kegiatan yang telah memasuki edisi ke-6 ini, adalah rangkaian acara dalam rangka menyambut ulang tahun ke-70 PT. KAI yang jatuh pada tanggal 28 September 2015. Peserta acara “Traveling by Train” kali ini adalah para penulis catatan perjalanan (travel bloger) dari berbagai komunitas. Saya dan tiga orang kawan ikut serta sebagai perwakilan dari Komunitas Aleut.

Perjalanan dilakukan dengan kereta api wisata yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas istimewa, mulai dari kursi, gerbong restorasi tersendiri, perangkat karaoke dengan televisi layar lebar, hingga perangkat audio video di setiap kursi. Namun yang terpenting gerbong kereta api wisata ini dilengkapi pendingin udara sehingga saya tak perlu membuka jendela. Ya, jendela. Sepetak lubang ventilasi yang memisahkan saya dengan topi kesayangan.

Kekhawatiran akan perpisahan dan kehilangan topi baru muncul kembali saat kami, para peserta mencoba untuk menaiki kereta api wisata dari Stasiun Ambarawa ke Stasiun Tuntang. Namun kekhawatiran inipun tak terbukti, karena kereta api yang digunakan adalah kereta api uap jadul dengan kecepatan yang rendah. Sehingga kecil kemungkinan angin dapat menerbangkan topi.

Perpisahan baru mengemuka kembali saat para peserta “Traveling by Train” dibagi dalam empat kelompok, dan diharuskan untuk membuat drama singkat yang bercerita mengenai kereta api. Masing-masing kelompok terdiri dari enam orang anggota yang berasal dari komunitas yang berbeda-beda. Saya tergabung dalam kelompok 2 bersama teman-teman dari komunitas Travel Bloger Indonesia, Komunitas Muslimah, dan Komunitas Fotografi. Dan ternyata semua kelompok mementaskan drama dengan mengambil tema perpisahan.

Barangkali karena waktu pembuatan ide cerita drama ini dilakukan di atas kereta api wisata tempo dulu, dalam perjalanan dari Stasiun Tuntang ke Stasiun Ambarawa yang hanya mebutuhkan 30 menit, sehingga ide drama yang terlintas dalam pikiran dan terasa dramatis jika bercerita mengenai perpisahan.

Ketika drama yang dibawakan oleh kelompok saya memasuki di fragmen akhir, saya membacakan puisi “Perpisahan” karya Elha. Rasanya puisi tersebut amat mewakili drama yang dipentaskan, karena tempatnya dilakukan di peron Stasiun Willem I (Stasiun Ambarawa) dan tema dramanya mengenai perpisahan.
Puisi tersebut kiranya tidak sia-sia, karena pada pementasan drama dadakan itu, kelompok 2 berhasil memperoleh nilai tertinggi. Saya berterimakasih pada puisi “Perpisahaan”. Namun yang terpenting saya berterimakasih pada PT. Kereta Api Indonesia dan Altour Travel Indonesia yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti “Traveling by Train”.

Selamat ulang tahun ke-70 PT. Kereta Api Indonesia. Semoga bisa berjumpa pada acara serupa di lain kesempatan. Bukankah setelah perpisahan kerap menghadirkan perjumpaan? [AWW]

Iklan

Satu pemikiran pada “Perpisahaan, Topi, dan Kereta Api

  1. Ping balik: Bandung (BD) ke Semarang Tawang (SMT) dengan kereta wisata Priority | awasenak

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s