Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
Jika tak ada kebijakan CSR, akankah sebuah perusahaan mendermakan sebagian pemasukannya? Secara prinsip ekonomi mustahil, ini disebut pemborosan, kecuali pendermaan tadi termasuk dalam bagian promosi.
Namun tentunya sebagai bagian dari masyarakat, mereka yang diberi kelebihan rezeki dibebankan sebuah tanggung jawab sosial untuk menyisihkan sebagian kekayaannya. Dan ya, pengusaha menjadi salah satu kekuatan dalam memajukan sekitar. Homo homini lupus, manusia memang menjadi serigala bagi sesamanya, namun jangan lupakan bahwa dasar kita adalah sebagai hewan yang bermasyarakat.
Pemilik modal terbukti menjadi aset penting dalam suatu pembangunan. Dan belakangan ini muncul istilah soal social entrepreneur. Sederhananya, jika business entrepreneurs mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya maka dalam sudut pandang social entrepreneur, keberhasilannya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Hanya pengistilahan yang cukup baru, namun sebenarnya telah dipraktekan sejak manusia turun ke bumi ini.
Nah, tak perlu jauh-jauh mengambil tokoh dari abad purbawi, saya akan coba mengangkat nama yang jasanya sangat berperan dalam kemajuan pembangunan Bandung. Berhubung beliau baru saja pada Jumat kemarin (15/05) menginjak usia yang ke-150. Adalah Karel Albert Rudolf Bosscha.
Kalau mendengar namanya, pasti yang terbayang adalah observatorium di Lembang, yang sempat ngehits jadi ikon di film “Petualangan Sherina”. Ya, observatorium ini tak akan ada tanpa sosok K.A.R. Bosscha yang berjasa dalam hal permodalan. Bayangkan saja, kalau kita bangun observatorium ini sekarang bakal memerlukan dana paling sedikit Rp 45 milliar!
Selain observatorium, ada banyak lagi lembaga yang pendiriannya di Bandung bisa terwujud berkat peranan dari seorang Bosscha yang berjuluk Raja Teh Priangan. Misalnya Lembaga Bisu Tuli (Doofstommen Instituut), Lembaga Buta (Blinden Instituut), Bala Keselamatan (Lager des Heils), dan sejumlah rumah sakit. Jangan lupakan pula cikal bakal dari ITB dan SMAN 3 & 5 adalah berkat jasa beliau. Dan tentu saja Gedung Merdeka, yang dulu Societeit Concordia, tempat berkumpulnya para preangerplanters, adalah berkat andil dari Bosscha juga.
| Ciri kota sakit adalah pemerintahnya koruptif, pebisnisnya opurtunis dan kaum intelektualnya apatis.-Ridwan Kamil
Betapa jahiliyah-nya suatu kota, jika tiga pilar utama tadi, yang harusnya menjadi penggerak dan pembangun kota, malah jadi faktor bobroknya suatu kota. Dan memang seorang pengusaha menjadi faktor kunci dalam pembangunan. Oleh sebab itu tentunya kita harus berterimakasih kepada salah seorang social entrepreneur, K.A.R. Bosscha yang merupakan sosok filantropis sekaligus enviromentalis.
Homo homini socio. Sesungguhnya manusia pun adalah sahabat bagi sesamanya.
A photo posted by Arif Abdurahman (@yeaharip) on May 15, 2015 at 7:39am PDT
Mari bersahabat dengan K.A.R. Bosscha!
Kegiatan Komunitas Aleut:
Jumat, 15 Mei 2015: Ziarah ke makam Bosscha di Perkebunan Malabar, Pangalengan, Kab. Bandung bersama Sahabat Bosscha, Mahasiswa Astronomi ITB, Bandung Heritage, dan supir bus.
Sabtu, 16 Mei 2015: Pemasangan tudung lampu di pemukimam sekitaran observatorium, Lembang, Kab. Bandung Barat, bersama Pak Mahasena Putra, Kepala Observatorium Bosscha. Tapi saya ngaret baru datang pas mau sesi makan siang. Alhamdulillah sih.
Tautan asli: http://arifabdurahman.com/2015/05/19/bosscha-dan-social-entrepreneur/