Mencatat Sudut Kota: Belajar Pelayanan Publik dari Perumahan Tua

Bandung, 3 November 2013
Oleh: Atria Dewi Sartika (@atriasartika)

Setelah beberapa kali gagal ikut serta, kali ini saya kembali mengikuti kegiatan ngaleut bersama Komunitas Aleut. Kembali berjalan-jalan dan mengenal (lebih banyak lagi!) sudut kota Bandung. Benar adanya filosofi Komunitas Aleut yang kegiatannya adalah ngaleut yang berarti berjalan bersama-sama. Dengan berjalan kaki, kita akan menemukan apa yang selama ini kita lewatkan saat berkendara.

Kali ini saya berkenalan dengan beberapa jalanan yang belum pernah saya lewati, diantaranya adalah Jl. Geusanulun, Jl. Adipati Kertabumi, dan Jl. Aria Jipang. Sedangkan jalan lain seperti Jl. Trunojoyo; Jl. Maulana Yusup; dan Jl.Pangeran Kornel sudah sering saya lewati. Nah ternyata dengan menyusurinya sambil berjalan kaki, saya merasa seperti baru pertama kali melewati ketiga jalan tersebut.

Pertama kali melewati Jl. Geusanulun membuat saya sumringah. Kenapa? Karena masih banyak rumah-rumah tua di sana. Ada sejumlah rumah yang bahkan sepertinya belum mendapatkan perubahan signifikan, kecuali perubahan pada atap; kaca jendela; dan pintu. Bahkan di sini saya dan teman-teman dari Komunitas Aleut melihat sebuah rumah yang masih memiliki nama yang terpahat di dindingnya. Rumah itu bernama “Gerardine”. Orang Belanda dahulu, biasanya menamai rumah mereka dengan nama anak perempuan pertamanya. Maka asyiklah saya menduga-duga apakah benar nama anak perempuan pertama pemilik pertama rumah ini adalah “Gerardine”? Cantikkah ia? Apakah dengan menamai rumah ini ia menjadi mudah ditemukan oleh para pemujanya? Apakah jodohnya cepat datang? *efek kebanyakan baca Historical Romance*

Rumah bertuliskan "Gerardine"

Nah di Jl. Geusanulun ini, kami juga menemukan Brandgang (baca seperti berkata: “Brangghang”). Ini adalah  Brandgang pertama yang kami temui. Kenapa yang pertama? Sebab nanti  akan ada Brandgang lainnya. Totalnya ada 3 Brandgang yang saya lihat hari ini.

Setelah dari Jl. Geusanulun, saya dan teman-teman dari Komunitas Aleut menyusuri jalan menuju Jl. Maulana Yusup. Jujur saja, jalanan ini memang tidak asing bagi saya. Setiap kali melewatinya, mata saya akan langsung menangkap tulisan “Sate Maulana Yusup”. Tapi kali ini berbeda. Saya melihat sebuah bangunan besar yang menjadi rumah pertama yang menyambut kami saat memasuki jalan tersebut. Rumah ini seperti layaknya sebuah rumah tua di zaman Belanda, ia memiliki menara, dan bentuknya mengikuti lengkungan jalan. Rumah itu tergolong megah bagi saya. Apalagi tampaknya rumah itu adalah rumah yang paling besar (di zamannya!) di sepanjang Jl. Maulana Yusup tersebut. Jika melewati jalan ini dengan berkendara, maka kemungkinan besar, kita tidak akan sempat melihat baik-baik rumah ini.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Jl. Pangeran Kornel dan segera berbelok ke Jl. Adipati Kertabumi. Kembali lagi, di jalan ini kami menemukan rumah-rumah tua. Namun kali ini kami bisa melihat keidentikan rumah-rumah di sepanjang jalan tersebut. Jika di 2 kawasan yang kami lewati sebelumnya bentuk teras rumah lebih banyak melengkung, maka kali ini kami melihat teras yang persegi (lebih mirip belah ketupat sih karena sudut runcingnya menghadap keluar).

Setelah melewati Jl. Adipati Kertabumi, kami berbelok ke kanan dan menyusuri sepotong Jl. Arya Jipa. Di sini saya melihat lagi satu Brandgang. Di sini kami juga sempat masuk ke dalam sebuah Mess TNI yang sebenarnya adalah gabungan dua rumah. Rumah di sisi kanan bertuliskan “Han-Arnold” dan rumah di sebelah kiri bertuliskan “Sonja=Bea”. Selain itu kami menemukan sebuah celah yang bertuliskan “Brieven” pada pintu rumah. Kami menduga itu merupakan celah yang berguna untuk memasukkan surat yang diterima pemilik rumah. Hari ini kami pun berkesempatan untuk masuk ke dalam rumah. Itu sebuah kesempatan yang jarang kami dapati saat ngaleut. Saat masuk ke rumah “Han-Arnold” kami mendapati bahwa sebagian besar lantai rumah masih asli yakni marmer berukuran sekitar 20cmx20cm. Ada pula satu pintu geser dan 3 kamar yang memiliki pintu penghubung dengan kamar dan ruangan lain. Jadi dalam satu kamar memiliki 2 atau 3 pintu. Saat itu, iseng kami berjalan ke belakang rumah tersebut. Tidak ada yang menarik. Namun saat salah seorang teman menaiki undakan beton, ia pun berkata bahwa ternyata Brandgang tepat berada di samping rumah ini. Sayang kondisinya sudah tidak sedap dipandang karena penuh rumput dan sampah.

Dan hari ini kompleks perumahan buatan Belanda yang terakhir kami datangi adalah yang berada di Jl. Gempol. Dari informasi yang disampaikan oleh salah seorang teman, rumah-rumah di Jl.Gempol adalah rumah-rumah yang dikhususkan bagi pribumi yang merupakan pegawai rendahan di Gedung Sate. Itulah sebabnya bangunan asli di daerah ini yang hanya tersisa sekitar 3 buah, terbuat dari kayu. Ini tentu saja berbeda dengan rumah permanen yang sedari tadi kami lihat.

Setelah mampir sebentar membeli Roti Gempol yang menurut pemiliknya sudah berdiri sejak 1958, kami pun menuju ke tempat finish yakni taman yang berada di Jl. Wirangunangun. Pada saat itu kami pun melihat rumah-rumah tua lainnya. Namun kali ini estetikanya agak kurang sedap dipandang. Di daerah tersebut, rumah yang dibangun adalah rumah “dempet” yakni dua rumah kembar yang bersebelahan dengan atap yang menyatu. Namun saat ini ada sejumlah rumah yang sudah berubah bentuknya. Jadi, di sebelah rumah tua yang seharusnya adalah bangunan rumah dengan wajah yang sama dan atap yang bersatu kini sudah memiliki pasangan yang berbeda yakni bangunan dua tingkat modern.

Nah setelah menceritakan beberapa hal yang saya lihat, saya ingin berbagi sedikit informasi yang saya temukan dalam buku “Bandung: Citra Sebuah Kota” karya Robert P.G.A Voskuil,dkk. Diceritakan bahwa pesatnya pertambahan jumlah villa atau rumah di kawasan Bandung Utara mulai terjadi di masa di tahun 1920-an. Ini ada hubungannya dengan pembuatan “Rancangan Bandung Utara” yang dibuat pada tahun 1917 yang disusul dengan “Kerangka Rencana Pengembangan Seluruh Bandung” pada tahun 1927.

Selain itu kampanye pemerintah untuk mengundang sejumlah warga Eropa khususnya para pensiunan untuk mengahbiskan masa pensiun di Bandung mulai menampakkan hasilnya. Ini karena jumlah warga Eropa di Bandung meningkat secara pesat, yakni dari 16.600 orang pada tahun 1905, menjadi 150.000 pada tahun 1927. Hal ini tentu saja menyebabkan kebutuhan untuk membangun rumah tinggal/ villa untuk warga Eropa.

Nah, jika memperhatikan rumah-rumah di kawasan lain selain Jl. Gempol, maka akan ditemukan kesamaannya yakni bangunan menggunakan batu kali di bagian pondasinya. Ini nampak di sisi bagin bawah rumah Belanda tersebut. Jadi biasanya teman-teman di Komunitas Aleut saat melihat rumah yang dibagian bawah tampak menggunakan batu kali, maka mereka akan menduga bahwa rumah tersebut dibangun di sekitar tahun 1920-1930an.

Hal menarik lainnya adalah keberadaan Brandgang dalam kawasan-kawasan yang kami lewati. Brandgang ini adalah sebuah jalur khusus yang digunakan sebagai jalur evakuasi penduduk di wilayah tersebut saat terjadi sebuah bencana seperti kebakaran. Bahkan ada yang mengatakan bahwa jalur Brandgang ini bahkan dirancang saling sambung menyambung namun terkait tujuan akhir jalurnya saya belum menemukan info apapun.

Hm…sebagai penutup, saya harus mengakui tentang kejelian pemerintah Belanda dalam mengatur kota jajahannya. Menurut buku “Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur” karya Abidin Kusno, bahwa tata kota yang mulai dibuat pada tahun 1920-an punya tujuan lain yakni untuk mengawasi warga kota. Ini dilakukan untuk mencegah berbagai pergerakan kota seperti pemogokan dan protes kaum buruh. Namun di luar itu semua, saya harus mengakui pertimbangan pemerintah Belanda yang tampaknya membuat sebuah pola baku untuk sebuah kompleks bangunan. Tampaknya keberadaan Brandgang dan taman menjadi salah satu hal wajib yang dipenuhi oleh perumahan-perumahan tersebut. Selain itu aturan bahwa bangunan baik kantor maupun rumah yang berada dibelokan jalan harus dibangun mengikuti bentuk lengkungan jalan. Ini tentu secara estetika bagus dilihat dan lebih aman karena orang akan sadar bahwa di depan mereka ada belokan jalan.

Baiklah, itu cerita saya tentang kegiatan menyusur kota yang dilakukan pada hari ini, 3 November 2013. Selamat menyusur sudut-sudut kota Bandung dan buktikan kebenaran tulisan saya (^_^)v

Tulisan ini di reblog dari http://filosofilandak.blogspot.com/2013/11/mencatat-sudut-kota-belajar-pelayanan.html

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s