Tag: Dago

Dongeng Bandung + #TERAP Fest: Dago, Coblong, Simpang

Dago, Kamis, 13 Juli 2025

Oleh: Dongeng Bandung

Hari ini, Kamis, 13 Juli 2025, Dongeng Bandung diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Festival Teater Ruang Publik (TERAP). Kawasan yang dipilih untuk kegiatan ini adalah Jalan Dago (Ir. H. Djuanda), mulai dari sekitar kantor PMI Jawa Barat sampai ke lokasi tiga gedung kembar yang sering disebut oleh kalangan peminat sejarah Bandung sebagai Drie Locomotieven. Secara jarak, tidak sampai tiga kilometer dan ditempuh dengan menggunakan angkot. Ngadongengnya hanya berlangsung di empat lokasi saja yang sebelumnya sudah dipilih oleh tim TERAP berdasarkan bahan-bahan dari website-nya Komunitas Aleut. Pemilihan lokasi juga disesuaikan dengan keseluruhan kegiatan lapangan yang berlangsung satu hari itu, di antaranya ke Cika-cika dan Babakan Siliwangi. Sore hari segenap rombongan TERAP dan Komunitas Aleut sudah berada di depan hotel The Jayakarta Suites, Bandung.

Dago

Asal-muasal penamaan Dago untuk ruas jalan dan sebuah kawasan di bagian utara Bandung tidak pernah jelas. Yang ada hanyalah dugaan-dugaan berdasarkan penelusuran belakangan ini saja. Misalnya yang paling terkenal adalah kisah yang disampaikan oleh seorang tokoh yang sering dijuluki Kuncen Bandung, Haryoto Kunto.

Dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986), ada cerita dari masa pertengahan tahun 1800-an. Warga kampung di daerah sebelah utara Coblong, biasanya berangkat dini hari berjalan berbarengan untuk pergi ke pasar yang terletak di kota. Karena hari masih gelap, mereka berbekal obor untuk menerangi jalan, sedangkan kaum pria yang menemani perjalanan, masing-masing membekali diri dengan parang atau tombak, karena pada waktu itu jalanan di sekitar Coblong (Dago Utara sekarang) sampai ITB masih merupakan jalan setapak dikelilingi hutan belukar dan sangat sepi. Sebelum berangkat, warga biasanya saling menunggu satu sama lain atau dalam bahasa Sunda istilahnya padago-dago agar bisa berangkat bersama. Konon dari kegiatan padago-dago itulah lama kelamaan menjadi nama kawasan.

Masih dari Haryoto Kunto, kali ini dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), konon ruas jalan setapak yang menghubungkan Bandung baheula dengan kawasan perbukitan utara – termasuk Dago – sudah lama ada dan menjadi penghubungan daerah Bandung dengan jalur jalan kuno dari masa Kerajaan Sunda. Jalur ini lebih kurang: Alun-alun – Merdikalio – Balubur – Coblong – Dago – Buniwangi – Maribaya (lewat Puncak Eurad) – dan akhirnya bertemu dengan jalur kuno yang menghubungan Sumedanglarang dengan Wanayasa di sekitar Subang sekarang.

Dalam buku ini ada satu informasi sangat singkat yang sering mengundang rasa penasaran, tapi sekaligus juga kebingungan, karena tidak pernah mendapatkan informasi tambahannya. Konon, Andries de Wilde, tuan tanah dan pengawas kopi Priangan yang terkenal itu, menikah dengan seorang mojang Priangan dan mendirikan sebuah vila indah di Kampung Banong, di daerah Dago Atas. Selanjutnya Haryoto Kunto menulis, mungkinkah nama Banong tersebut merupakan asal nama Bandong, seperti yang ditulis De Haan, dan yang akhirnya berubah menjadi Bandung?

Pada masa Hindia Belanda, kawasan Dago ke sebelah utara, sudah menarik perhatian sejumlah kalangan, terutama dari dinas pemerintahan dan para peneliti, serta beberapa individu peminat alam. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir menjelang 1900, diketahui Raja Siam (Thailand) pernah berkunjung ke Curug Dago dan membuat prasasti yang baru ditemukan oleh masyarakat Bandung pada tahun 1980-an. Lalu tahun 1908, pemerintah Kota Bandung membangun sistem pemanfaatan air dengan membuat penampungan di kawasan Tahura sekarang serta saluran air bersih untuk warga kota, sebagian saluran air itu sekarang dikenal sebagai Gua Belanda Tahura Djuanda. Begitu juga dengan pemanfaatan aliran sungai Ci Kapundung untuk pembangkit listrik dengan membangun waterkracht (PLTA) di Bengkok (!) dan Dago.

Pada tahun 1917, kelompok Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung) telah merancang pembangunan sebuah museum alam (konservasi alam) yang dinamakan Soenda Openlucht Museum(Museum Alam Terbuka Sunda), walaupun akhirnya tidak berlanjut karena kawasan tersebut keburu terbuka akibat warga di pedalaman membuka lahan-lahan luas untuk persawahan dan perladangan. Kawasan Dago kemudian berkembang masif setelah beberapa orang Belanda mendirikan bangunan-bangunan baru seperti Huize Dago yang kemudian menjadi Dago Thee Huis (Dago Tea House) atau Sanatorium Dago (sekarang kompleks PMI Jawa Barat) yang terletak tak jauh di sebelah utara lahan Hotel Jayakarta.

Sanatorium Dago

Di seberang hotel The Jayakarta Suite saat ini berdiri Gedung PMI milik Provinsi Jawa Barat dengan nama Gedung HMA Sampurna. Gedung ini bukanlah gedung lama, tetapi merupakan bagian dari sebuah kompleks sanatorium untuk penderita gangguan saraf yang didirikan tahun 1931. Ada juga satu berita di tahun yang menyebutkan sanatoium di Dago ini adalah sanatorium untuk militer. Berita lainnya umumnya menyebutkannya sebagai sanatorium khusus untuk orang Eropa.

Kisah ini dimulai dengan sebuah rencana dari Pemerintah Kota Bandung yang bekerja sama dengan perkumpulan Bandoeng Vooruit untuk mengembangkan kawasan di sebelah utara Dr. De Grootweg (sekarang Jalan Siliwangi). Yang pertama menyambut rencana ini adalah KB Han van Parapattan dari Batavia. Berdasarkan saran dari Ketua Bandoeng Vooruit, WH Hoogland, ia membeli tanah seluas 3 hektar dengan bayangan akan membangun sebuah landhuis atau rumah pedesaan yang memiliki panorama indah dan terbuka ke arah pusat Kota Bandung itu. Sudah terbayangkan sebuah istana desa dengan taman rusa, lapang tennis, kolam teratai, lengkap dengan sejumlah pavilunnya.

Ribuan kuli bangunan sudah sibuk membuat jalur-jalur jalan di sekitar Dr. De Grootweg. Selain Han, seorang tokoh Tionghoa dari Bandung, Poeij Kok Gwan, pemilik firma terkenal Gwan An, juga sudah membeli sebidang tanah di kawasan yang ketika itu juga dijuluki sebagai Boulevard para Jutawan. Ia bahkan sudah siap dengan rancangan rumahnya.

Bersamaan dengan itu, Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman mendorong kelompok gabungan para dokter dari Batavia dan Bandung untuk membeli sebidang tanah untuk pembangunan sebuah sanatorium besar dan ultra-modern dengan dorongan dan bantuan dari WH Hoogland dan Bandoeng Vooruit. Semua cerita ini diberitakan oleh koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 22 Juli 1930.

Kurang sebulan setelah berita di atas, muncul berita lainnya, pada tanggal 27 Agustus 1930, mengenai kegiatan 40 orang yang terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri beserta anggota padvinders (pandu) yang berjualan bunga-bungaan di Pasar Gambir, Weltevreden, untuk membantu pendanaan pendirian sanatorium militer di Bandung. Seluruh dana ini akan dikelola oleh perkumpulan perwira Ons Aller Belang.

Belum ditemukan kapan Sanatorium Dago ini resmi dibuka atau beroperasi, namun berita dalam koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi tanggal 6 Januari 1932 tercantum berita yang menyebutkan bahwa Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman, seorang dokter perempuan, telah membuka sebuah sanatorium untuk para penderita gangguan saraf. Sementara pembangunan berlangsung, sanatorium sementara ditempatkan di Oude Merdikaweg 16, di tempat tinggal para dokter sanatorium. Diceritakan pula bahwa sanatorium ini dilengkapi dengan perangkat dan peralatan paling modern dengan sistem operasional berdasarkan standar Eropa. Sanatorium baru ini dibangun untuk memenuhi peningkatan jumlah pasien yang tidak lagi dapat ditampung di Oude Merdika.

Sanatorium baru didirikan di lahan pribadi milik Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman di kawasan peristirahatan dan wisata Dago, dekat dari Bandung. Dalam kawasan itu didirikan sebuah bangunan besar dan 11 bangunan lainnya. Pada lahan kosongnya dibangun taman, lapangan tenis, area bermain anak, dan hutan pinus. Untuk fasilitas tambahan, ada unit sendiri untuk terapi warna dan cahaya, serta pemandian busa karbon dioksida seperti yang terdapat di Kissingen en Nauheim, Jerman. Pemandian ini untuk terapi pengobatan arteriosklerosis, pengerasan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak di dinding arteri.

Sisa-sisa kompleks Sanatorium Dago masih dapat ditemui di tempatnya semula. Sama sekali sudah tidak lagi utuh, sebagian hilang, sebagian tersisa rangka-rangka bangunannya, tapi jejaknya masih dapat dilihat, mulai dari Gedung PMI HMA Sampurna ke arah utara, sampai lokasi pom bensin. HMA Sampurna yang dijadikan nama salah satu gedung itu merupakan penghargaan kepada Ketua PMI yang menjabat pada periode 1995-2000. Website PMI Jawa Barat, tidak memuat informasi detail bagaimana mereka pengelolaan kompleks gedung eks Sanatorium Dago bisa beralih ke PMI.

Hanya ada informasi bahwa PMI Jawa Barat baru terbentuk pada tahun 1956 dengan ketua Kosasih Kartasasmita dan sekretaris Chaidir Gazali. Saat itu kantornya di Jalan Nias No.2, kemudian pada tahun 1965 pindah dan berbagi tempat dengan PMI Kota Bandung di Jalan Aceh No.79. Baru pada tahun 1977 PMI Jawa Barat menempati lokasinya sekarang di Jalan Ir. H. Djuanda No.436-A, Bandung.

Coblong

Selain Dago, ternyata dalam peta-peta lama terpampang juga nama-nama kampung atau kawasan yang masih hidup sampai sekarang, seperti Coblong, Pojok, Elos, dan Simpang. Lalu di sebelah timur ada Cigadung, Sekeloa, Ciheulang, Haurpancuh, dan ke timur lagi, Cibeunying. Di sebelah Simpang barat ada Lebakgede, Lebaklarang, Cisitu, Balubur, Cipaganti, Cihampelas, dst. Nama-nama ini sudah bertahan lebih dari seratus tahun dan masih terus memberikan kemungkinan untuk penelusuran riwayat daerahnya. Bayangkan bilsa semua diganti karena semangat kekinian, misalnya menjadi nama-nama dengan imbuhan hills, permai, asri, square, indah, dst dst.. Asa lain di Bandung.

Sekarang kita ke Coblong dulu. Mengenai daerah ini sudah pernah ditulis oleh Alex Ari di sini. Dalam tulisan itu disinggung dua makna coblong, yang pertama bermakna gorong-gorong, yang kedua bermakna wadah air berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat. Keduanya bisa berhubungan dengan pembangunan instalasi pembangkit listrik di Bengkok dan Dago (Cikalapa) serta pembuatan penampungan dan saluran pipa-pipa air di wilayah itu. Dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya, ada cerita mengenai bupati Wiranatakusumah IV yang senang menyamar dan blusukan ke kampung-kampung. Salah satunya adalah mengunjungi Kampung Coblong dan menginap di sana. Dari sinilah didapatkan cerita tentang bagaimana warga kampung sering padago-dago untuk bersama-sama mengadakan perjalanan ke Dayeuh Bandung.

Simpang

Di selatan Dago dan Coblong, ada nama daerah yang juga sudah lama ada, yaitu Simpang. Kawasan ini membentang cukup luas, kira-kira berbatasan dengan Lebakgede (Babakan Siliwangi sekarang) di sebelah barat, dipisahkan oleh ruas utama Jalan Dago, Sekeloa dan Ciheulang di sebelah timur, Dago-Coblong di sebelah utara dan Balubur di sebelah selatan. Jadi nama Simpang yang disematkan pada Dago-Simpang sebenarnya tidak praktis mengacu pada simpang jalan antara Jl. Dago – Jl. Siliwangi – dan Jl. Dipatiukur seperti yang terlihat sekarang. Usianya jauh lebih tua daripada persimpangan yang baru mulai terbentuk belakangan itu, kemungkinan menjelang tahun 1940, sedangkan pasarnya, baru muncul kemudian hari. Menurut informasi dari sebuah jurnal, Pasar Simpang Dago baru dibangun permanen pada tahun 1949 (“Arahan Perluasan Kawasan Pasar Simpang Dago Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota Bandung,” dalam Bandung Conference Series: Urban & Regional Planning. Vol.3 No.2, 2022. Deby Shafa Anifa, Ira Safitri Darwin. Unisba, 2023).[1]

Dago 141

Tempat terakhir yang menjadi tempat ngadongengkeun Dago ini adalah lokasi sebuah rumah yang beralamat di Jalan Dago No.141. Rumah tua ini rupanya menarik perhatian tim TERAP karena membaca salah satu artikel lama (2013) di website Aleut yang ditulis oleh Hani Septia Rahmi dan Atria Dewi Sartika. Ada ketertarikan pada cerita bangunan-bangunan tua yang dulu masih berserakan di sepanjang Jalan Dago dan kini sudah semakin susut jumlahnya. Salah satu yang masih dapat ditemui adalah sebuah rumah yang agak tersembunyi, harus masuk agak jauh ke dalam dari jalan raya Dago.

Dulu beberapa rekan Komunitas Aleut memang berkawan dengan pemilik rumah tersebut, Pak Iwan, kalau tidak salah seorang arsitek yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Bahkan Pak Iwan sempat beberapa kali mengukti kegiatan Ngaleut, salah satunya ke Kampung Mahmud bareng alm. Pak Budi Brahmantyo.

Menurut Pak Iwan, rumahnya itu sudah berdiri tahun 1914, jadi enam tahun sebelum kampus THS (ITB) dibangung. Ada sebuah foto angkasa yang menunjukkan keberadaan rumah tersebut di sisi timurlaut kampus THS pada tahun 1925. Melihat bentuk bangunannya saat ini, sepertinya sudah ada beberapa perubahan dalam penampakannya, tapi yang penting masih terawat dengan baik, masih dapat dilihat, dan dikaji oleh generasi berikutnya. Apalagi bila memerhatikan kondisi bangunan-bangunan tua saat ini yang sudah banyak mengalami perubahan drastis dari bentuk aslinya, sebagian bahkan musnah, seperti satu bangunan di seberang jalan yang musnah terbakar setahun lalu, atau rumah lainnya yang terletak lebih ke utara, musnah dan berganti menjadi sebuah minimarket.

Sebagai bonus, seluruh rombongan juga mampir ke lokasi bangunan kembar tiga, Drie Locomotieven. Dua bangunan di sisi utara terlihat masih cukup baik, walaupun sudah mengalami beberapa perubahan. Yang di tengah terlihat dalam kondisi yang bagus, rapi, dan bersih. Yang menyedihkan, bangunan yang terletak paling bawah (selatan), tampak sakit-sakitan seperti menjelang ajal. Dengan sekian banyak peminat bangunan kuno atau bangunan cagar buda, banyak ahlinya, bahkan konon ada peraturannya, ternyata salah satu bangunan yang sering dibicarakan orang bila membahas soal bangunan tua di Bandung ini – bahkan merupakan salah satu jejak karya arsitek penting di Bandung baheula, AF Aalbers – ternyata bisa pelan-pelan rusak di depan mata. ###

[1] https://proceedings.unisba.ac.id/index.php/BCSURP/issue/view/101

Bermacam Keseruan di Ngaleut Palintang

Oleh: Warna Sari (@rie1703) dan Mooi Bandoeng (@mooibandoeng)

Nama Palintang seperti dalam judul kegiatan Komunitas Aleut pada hari Minggu, 2 April 2017 lalu, sudah tidak asing lagi buat saya, karena termasuk sudah cukup sering mengunjunginya. Saya tidak terlalu ingat kapan pertama kali ke Palintang, mungkin di awal tahun 2000-an. Ketika itu, jalanan dari arah mana pun ke Palintang masih sangat buruk, jalanan berbatu dan masih banyak yang hanya berupa tanah merah, di musim hujan dapat dibayangkan seperti apa rasanya berkendaraan menuju Palintang. Tak heran di sini saya banyak menemukan kelompok-kelompok offroader, banyak macam motor trail atau mobil-mobil sejenis jeep. Dari beberapa kunjungan awal ke Palintang, saya belum memiliki wawasan apapun soal tempat ini, masih menikmatinya sebagai satu tempat yang menyenangkan dengan pemandangan indah di lekukan pergunungan Bandung Utara.

Minggu lalu Komunitas Aleut membuat program ngaleut ke Palintang, judulnya sederhana saja, Ngaleut Palintang. Setelah hampir 17 tahun, tentu saja saya sudah mendapatkan berbagai tambahan wawasan mengenai kawasan itu. Cara lihat saya sudah berbeda dengan belasan tahun lalu itu. Misalnya saja, penambahan beberapa lokasi kunjungan yang memang berada di satu kawasan, seperti Batuloceng dan lokasi pabrik kina, serta sebuah situs yang sangat dikeramatkan oleh sebagian kalangan, yaitu Demah Luhur. Saya juga dapat melihat Palintang sebagai sebuah pusat peristirahatan berbagai kelompok yang beraktivitas di alam bebas.

Pemilihan kawasan Palintang ini sebetulnya tidak benar-benar mandiri, karena masih berhubungan dekat dengan beberapa program ngaleut sebelumnya seperti Ngaleut Mukapayung, Ngaleut Pabuntelan, Ngaleut Leuwibandung, dan di sebagian perjalanan Susur Pantai Selatan #2 bersama Tim Djeadjah Priangan. Keterhubungan ini terutama ada pada tokoh yang sudah sering dibicarakan dalam ngaleut sebelumnya, Dipati Ukur. Continue reading

ITB sebagai Objek Wisata Alternatif

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

Alkisah sekitar seabad yang lalu, tepatnya pada 4 Juli 1919, empat gadis mewakili empat bangsa secara simbolis menanam empat batang pohon di tengah lahan persawahan Dago, menandai pembangunan sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda – Technische Hogeschool – yang akan didirikan di lahan tersebut.

Beberapa tahun sebelumnya, niat pendirian sekolah tinggi teknik itu sudah dibicarakan oleh sekelompok pengusaha swasta (semacam KADIN) di Belanda. Salah satu pertimbangan utamanya adalah kesulitan mereka memenuhi tenaga teknisi yang handal atas industri mereka di Hindia Belanda. Usaha mendatangkan insinyur-insinyur Eropa ke  Hindia Belanda dianggap sangat mahal, oleh sebab itu muncul ide untuk membuat “pabrik” teknisi sendiri di Hindia Belanda, berbentuk sekolah tinggi teknik yang nantinya diharapkan bisa menghasilkan tenaga-tenaga insinyur “murah” yang kiranya akan diberdayakan pada industri-industri milik orang Eropa.

Nah sampai di sini, bisa disimpulkan bahwa pada awalnya ITB didirikan untuk menghasilkan SDM berkualitas yang diproyeksikan untuk bekerja bagi perusahaan asing. Maka itu, bagi para mahasiswa ITB yang sekarang kuliah hanya untuk bekerja di perusahaan asing, sungguh mulia mereka karena sejatinya telah meneruskan idealisme  para pendiri kampus itu.

Oke lanjut ke sejarah, intinya setelah membentuk komisi khusus yang tugasnya bikin kajian, pengumpulan dana, dan sebagainya, diputuskanlah izin pendirian sekolah teknik di Hindia Belanda oleh kerajaan Belanda sono. Dalam satu pertemuan melibatkan para inisiator dan pemerintah, sempat timbul perdebatan terkait lokasi kampus. Terdapat opsi Batavia, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Tampil memberi solusi, Walikota Bandung yang kebetulan ikut rapat, namanya B. Coops (biasa dipanggil Kang Engkus karena ikut-ikutan Kang Emil), langsung tunjuk tangan. Continue reading

Bandung Tak Hanya Di Bagian Utara

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Bandung tentu saja menjadi kota yang paling penting bagi hidup saya. Dari lahir sampai sekarang sudah di pertengahan kepala dua, hampir 90% hidup saya dihabiskan di Kota Kembang. Semua jenjang studi juga saya jalani di kota ini, mulai dari TK hingga sekarang duduk di bangku strata dua. Pahit-manis dan berbagai macam pernik kehidupan saya rasakan di Bandung.

Jika mau bernostalgia, Bandung yang sekarang tentu saja sudah jauh berbeda dengan Bandung yang saya kenal di tahun 90-an. Dulu udara Bandung relatif lebih sejuk dibandingkan sekarang, hal ini bisa dilihat dari kabut yang hampir setiap pagi bisa terlihat. Sekarang ini sih kabut baru terlihat setelah turun hujan di dini hari. Itu baru cuaca, belum tentang pergeseran fungsi beberapa wilayah di Bandung. Continue reading

Tan Sin Hok: Ahli Mikropaleontologi Dunia dari Cianjur

Beberapa waktu lalu di internet saya menemukan situs http://brieven-tan-schepers.nl/ yang berisi arsip surat-surat yang dikirmkan oleh pasangan suami-istri Eida Tan-Schepers dan Tan Sin Hok yang tinggal di Bandung kepada orangtua Eida, Sari dan Menno Schepers-Cohen, yang tinggal di Den Haag, Belanda. Arsip surat-surat ini berangka tahun antara 1929 sampai 1946.

Seperti biasa, apa saja yang menyangkut cerita Bandung tempo dulu selalu menarik perhatian saya. Begitu juga dengan pasangan Tan Sin Hok dan Eida Schepers yang pernah tinggal di Bandung ini. Dari situs itu saya ketahui mereka tinggal di sebuah rumah dengan alamat Van Hoytemaweg nomor 4. Nama alamat ini cukup mengejutkan karena merupakan alamat rumah yang dipakai sebagai sekretariat Komunitas Aleut selama ini. Nama alamat sekarang adalah Jl. Sumur Bandung, namun kadang-kadang bersama rekan komunitas kami iseng juga mencantumkan nama alamat pada masa Hindia Belanda itu. Karena itulah saya cukup hafal nama alamat Van Hoytemaweg.

Sejak penemuan situs Tan-Schepers itu saya berencana akan menulis ringkasan tentang Tan Sin Hok yang ternyata merupakan tokoh dengan prestasi keilmuan yang luar biasa. Namanya dikenal secara internasional sebagai ahli mikropaleontologi, satu cabang ilmu yang memelajari kehidupan purba berdasarkan fosil-fosil kecil (mikro). Laporan-laporan penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal-jurnal berbahasa Belanda dan Jerman. Sayang sekali berbagai kesibukan membuat rencana penulisan ini terbengkalai tanpa lanjutan.

Tak lama kemudian, dalam fb-group Geotrek Indonesia tiba-tiba terjadi diskusi singkat tentang tokoh Tan Sin Hok yang awalnya dimulai oleh Pak Munasri Aci dan dilanjutkan oleh Pak Awang Satyana. Saya hanya ikut nimbrung dalam soal alamat Van Hoytemaweg dan lokasi Ereveld di permakaman Pandu. Tan Sin Hok memang tewas terbunuh dalam suatu penyerangan di rumahnya yang dilakukan oleh suatu gerombolan pada masa revolusi.

Selama tinggal di Bandung, beberapa kali keluarga Tan Sin Hok berpindah rumah. Salah satu alamat tempat tinggal yang didiami pada periode 1938-1943 adalah di Van Hoytemaweg (Jalan Sumur Bandung di Kota Bandung sekarang).

tan-sin-hok2005

Foto: https://oorlogsgravenstichting.nl

Continue reading

Dua Dunia Trans7: Tebing Keraton

Setelah kunjungan terakhir pada bulan November 2014, hari Rabu, 5 Maret 2015, saya kembali ke Cadas Gedogan atau yang sekarang menjadi terkenal dengan nama Tebing Keraton. Kunjungan kali ini untuk keperluan sebuah program televisi, Dua Dunia dari Trans7. Belakangan ini saya beberapa kali diminta tim program ini menjadi narasumber untuk liputan beberapa lokasi di sekitar Bandung.

Menjadi nara sumber program semacam Dua Dunia kadang punya kesusahannya sendiri, beberapa kali saya minta menceritakan latar sejarah suatu lokasi yang justru tidak punya catatan sejarah. Dalam hal ini yang saya maksud bukanlah sejarah alam atau sejarah geologi lingkungan alam tertentu, karena pertanyaan yang diberikan pun tidak secara khusus mengarah ke sana. Akhirnya saya harus banyak-banyak mengumpulkan cerita yang beredar di dalam masyarakat.

Siang ini jalan menuju Tebing Keraton tidak terlalu ramai. Di pertigaan jalan setelah Warung Bandrek, dua mobil kami dicegat oleh sekelompok orang. Mereka meminta agar kami memarkirkan mobil di lokasi pertigaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan menyewa ojeg mereka. Tentu saja permintaan ini agak merepotkan karena kami membawa perlengkapan yang tidak ringan dan tidak mudah dibawa dengan menggunakan motor. Apalagi malam sebelumnya tim kami sudah survei ke lokasi sambil mengurus izin untuk kegiatan rekaman gambar hari ini. Setelah kami menjelaskan ini, akhirnya kedua mobil kami diperkenankan untuk jalan terus menuju Tebing Keraton. Continue reading

Cadas Gedogan atau Tebing Keraton

Sebetulnya ini tulisan yang sudah agak telat. Telat, karena kemeriahan objek yang akan saya tulis ini sudah agak berkurang dibanding beberapa bulan sebelumnya. Telat juga karena saya baru menuliskannya dua bulan setelah berkunjung (lagi) ke sana.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja di Bandung hadir satu objek wisata baru yang dinamakan Tebing Keraton. Saat pertama melihat fotonya yang diunggah seseorang, saya dapat langsung mengenali lokasi itu, bahkan termasuk cukup akrab dengan pemandangan dalam foto itu karena sejak tahun 2006 cukup sering melewati dan mampir ke lokasi itu. Tapi nama Tebing Keraton memang asing di telinga saya. Karena itu sebelum memastikan bahwa pemandangan dalam foto benar-benar sama dengan pemandangan yang sering saya lihat, saya masih harus membandingkan lagi dengan memeriksa banyak foto yang diunggah orang di media-media sosial.

Keramaian Tebing Keraton berlangsung selama beberapa bulan, hampir setiap hari ada saja yang posting foto pemandangan tebing ini, baik sebagai objek utama ataupun sebagai latar belakang para pengunjungnya. Pemandangannya rata-rata sama, lembah berbukit-bukit di bawah tebing dengan pepohononan yang memenuhi seluruh area, tak jarang pula dengan tambahan kabut yang cukup tebal memenuhi seluruh bidang foto. Para pengunjung sengaja datang pagi-pagi sekali atau menjelang sore untuk mendapatkan suasana ini. Memang tampak indah.

Tebing-2

Ada juga yang menyebutkan keberadaan petilasan seorang Prabu di bawah tebing, dekat lokasi Gadogan (Gedogan) Kuda dan Curug Ci Kiih Kuda. Gadogan Kuda adalah tempat menambatkan kuda-kuda kerajaan halus itu.

Continue reading

Dua Dunia Trans7: Gua Belanda dan Gua Jepang di Tahura Ir. Djuanda

10933844_386696264833557_214986958903502471_n

Hari ini berkunjung ke Gua Jepang yang terletak di dalam kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di sebelah utara Kota Bandung. Sebagai taman hutan, inilah yang pertama kali didirikan di Hindia Belanda, peresmiannya dilakukan pada tahun 1922.

Sebelum keberadaan taman hutan, di kawasan ini sebelumnya sudah pernah dibuat suatu jalur pemanfaatan air sungai Ci Kapundung untuk keperluan air bersih warga kota. Mulanya dengan membuat sebuah bendungan. Belum diketahui persis kapan waktu pembuatannya tetapi kemungkinan berlangsung di antara 1890 – 1906. Bendungan ini mengalami kerusakan beberapa tahun kemudian. Sisa-sisa bangunannya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Tahura di dekat lokasi Curug Koleang. Continue reading

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 1

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Berikut ini adalah catatan santai kegiatan @KomunitasAleut hari ini, Minggu, 3 November 2013. Jelajah kawasan yang dipilih adalah seputaran Jl. Trunojoyo, seperti terlihat dalam peta, dengan batas-batas luar (warna kuning) Jl. Dago (barat), Jl. Trunojoyo-Bahureksa (selatan), Jl. Banda-Cimandiri (timur), dan Jl. Maulana Yusuf-Diponegoro (utara).

Kegiatan ngaleut berlangsung dari jam 8 pagi dan selesai sekitar jam 1 siang atau kalau menurut sistem pembagian waktu budaya Sunda, berlangsung sejak Wanci Ngaluluh Taneuh hingga Wanci Lingsir. Hari yang cerah, namun dengan temperatur yang lebih panas dari biasanya. Jumlah peserta ngaleut hari ini 24 orang, termasuk 8 orang anggota/kawan baru.

Trunojoyo-02
Cuplikan peta dari Google Earth.

Sebagai titik awal perjalanan dipilih tempat berkumpul di depan patung PDAM (depan gedung Driekleur/BTPN) di pertigaan Jl. Dago-Jl. Sultan Agung. Seluruh peserta dibagi ke dalam dua kelompok perjalanan dengan masing-masing rute:

  1. Sultan Agung – Bahureksa – Tirtayasa – Kawasan Gempol – Cilamaya – Banda – Tirtayasa – Wiraangunangun. Kelompok ini dipimpin oleh Vecco dan Mentari.
  2. Sultan Agung –Geusanulun – Maulana Yusuf – Pangeran Kornel – Adipati Kertabumi – Aria Jipang – Diponegoro – Gempol – Wiraangunangun. Kelompok ini dipimpin oleh Hani dan Atria.

Hingga akhir abad ke-19, pola permukiman di Bandung memisahkan kawasan hunian secara sosial dan morfologis. Kawasan hunian orang Eropa (Europeesche zakenwijk) berada di sebelah utara rel kereta api dan kawasan bagi kaum pribumi berada di sebelah selatan. Kelompok sosial lainnya, yang terdiri dari bangsa-bangsa timur seperti Arab, India dan terutama Tionghoa berada di sebelah barat (Pecinan). Pembangunan sarana kota pada masa ini lebih terpusat di sekitar Alun-alun dan di kawasan sepanjang jalur rel kereta api.

Wacana, dan akhirnya, rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandoeng yang berlangsung di awal abad ke-20 mengundang pembangunan kota secara besar-besaran. Berbagai sektor industri dibuka dan dipusatkan di Bandung. Kawasan hunian modern dibangun, terutama di kawasan sebelah utara kota. Rumah-villa dan kompleks-kompleks perumahan pegawai kantor-kantor pemerintahan pun didirikan di sejumlah lokasi.

Tentang perancangan dan pembangunan kota Bandung pada masa itu bisa dibaca di sini

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/05/bandoeng-1918-bagian-1/ dan

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/05/bandoeng-1918-bagian-2/

Promosi kenyamanan tinggal di kota Bandung dilakukan di mana-mana. Komunitas semacam Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken yang terdiri dari tokoh-tokoh Eropa dan kalangan pejabat pribumi Bandung turut membantu pengembangan Bandung menjadi kota modern. Kegiatan komunitas ini kemudian dilanjutkan oleh banyak kelompok lain, terutama Bandoeng Vooruit yang banyak membantu dalam mengembangkan fasilitas dan promosi dalam kepariwisataan Bandung. Pembangunan sarana perkotaan di Bandung saat itu berlangsung dengan sangat cepat. Continue reading

Mencatat Sudut Kota: Belajar Pelayanan Publik dari Perumahan Tua

Bandung, 3 November 2013
Oleh: Atria Dewi Sartika (@atriasartika)

Setelah beberapa kali gagal ikut serta, kali ini saya kembali mengikuti kegiatan ngaleut bersama Komunitas Aleut. Kembali berjalan-jalan dan mengenal (lebih banyak lagi!) sudut kota Bandung. Benar adanya filosofi Komunitas Aleut yang kegiatannya adalah ngaleut yang berarti berjalan bersama-sama. Dengan berjalan kaki, kita akan menemukan apa yang selama ini kita lewatkan saat berkendara.

Kali ini saya berkenalan dengan beberapa jalanan yang belum pernah saya lewati, diantaranya adalah Jl. Geusanulun, Jl. Adipati Kertabumi, dan Jl. Aria Jipang. Sedangkan jalan lain seperti Jl. Trunojoyo; Jl. Maulana Yusup; dan Jl.Pangeran Kornel sudah sering saya lewati. Nah ternyata dengan menyusurinya sambil berjalan kaki, saya merasa seperti baru pertama kali melewati ketiga jalan tersebut.

Pertama kali melewati Jl. Geusanulun membuat saya sumringah. Kenapa? Karena masih banyak rumah-rumah tua di sana. Ada sejumlah rumah yang bahkan sepertinya belum mendapatkan perubahan signifikan, kecuali perubahan pada atap; kaca jendela; dan pintu. Bahkan di sini saya dan teman-teman dari Komunitas Aleut melihat sebuah rumah yang masih memiliki nama yang terpahat di dindingnya. Rumah itu bernama “Gerardine”. Orang Belanda dahulu, biasanya menamai rumah mereka dengan nama anak perempuan pertamanya. Maka asyiklah saya menduga-duga apakah benar nama anak perempuan pertama pemilik pertama rumah ini adalah “Gerardine”? Cantikkah ia? Apakah dengan menamai rumah ini ia menjadi mudah ditemukan oleh para pemujanya? Apakah jodohnya cepat datang? *efek kebanyakan baca Historical Romance*

Rumah bertuliskan "Gerardine"

Nah di Jl. Geusanulun ini, kami juga menemukan Brandgang (baca seperti berkata: “Brangghang”). Ini adalah  Brandgang pertama yang kami temui. Kenapa yang pertama? Sebab nanti  akan ada Brandgang lainnya. Totalnya ada 3 Brandgang yang saya lihat hari ini.

Setelah dari Jl. Geusanulun, saya dan teman-teman dari Komunitas Aleut menyusuri jalan menuju Jl. Maulana Yusup. Jujur saja, jalanan ini memang tidak asing bagi saya. Setiap kali melewatinya, mata saya akan langsung menangkap tulisan “Sate Maulana Yusup”. Tapi kali ini berbeda. Saya melihat sebuah bangunan besar yang menjadi rumah pertama yang menyambut kami saat memasuki jalan tersebut. Rumah ini seperti layaknya sebuah rumah tua di zaman Belanda, ia memiliki menara, dan bentuknya mengikuti lengkungan jalan. Rumah itu tergolong megah bagi saya. Apalagi tampaknya rumah itu adalah rumah yang paling besar (di zamannya!) di sepanjang Jl. Maulana Yusup tersebut. Jika melewati jalan ini dengan berkendara, maka kemungkinan besar, kita tidak akan sempat melihat baik-baik rumah ini.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Jl. Pangeran Kornel dan segera berbelok ke Jl. Adipati Kertabumi. Kembali lagi, di jalan ini kami menemukan rumah-rumah tua. Namun kali ini kami bisa melihat keidentikan rumah-rumah di sepanjang jalan tersebut. Jika di 2 kawasan yang kami lewati sebelumnya bentuk teras rumah lebih banyak melengkung, maka kali ini kami melihat teras yang persegi (lebih mirip belah ketupat sih karena sudut runcingnya menghadap keluar).

Setelah melewati Jl. Adipati Kertabumi, kami berbelok ke kanan dan menyusuri sepotong Jl. Arya Jipa. Di sini saya melihat lagi satu Brandgang. Di sini kami juga sempat masuk ke dalam sebuah Mess TNI yang sebenarnya adalah gabungan dua rumah. Rumah di sisi kanan bertuliskan “Han-Arnold” dan rumah di sebelah kiri bertuliskan “Sonja=Bea”. Selain itu kami menemukan sebuah celah yang bertuliskan “Brieven” pada pintu rumah. Kami menduga itu merupakan celah yang berguna untuk memasukkan surat yang diterima pemilik rumah. Hari ini kami pun berkesempatan untuk masuk ke dalam rumah. Itu sebuah kesempatan yang jarang kami dapati saat ngaleut. Saat masuk ke rumah “Han-Arnold” kami mendapati bahwa sebagian besar lantai rumah masih asli yakni marmer berukuran sekitar 20cmx20cm. Ada pula satu pintu geser dan 3 kamar yang memiliki pintu penghubung dengan kamar dan ruangan lain. Jadi dalam satu kamar memiliki 2 atau 3 pintu. Saat itu, iseng kami berjalan ke belakang rumah tersebut. Tidak ada yang menarik. Namun saat salah seorang teman menaiki undakan beton, ia pun berkata bahwa ternyata Brandgang tepat berada di samping rumah ini. Sayang kondisinya sudah tidak sedap dipandang karena penuh rumput dan sampah.

Dan hari ini kompleks perumahan buatan Belanda yang terakhir kami datangi adalah yang berada di Jl. Gempol. Dari informasi yang disampaikan oleh salah seorang teman, rumah-rumah di Jl.Gempol adalah rumah-rumah yang dikhususkan bagi pribumi yang merupakan pegawai rendahan di Gedung Sate. Itulah sebabnya bangunan asli di daerah ini yang hanya tersisa sekitar 3 buah, terbuat dari kayu. Ini tentu saja berbeda dengan rumah permanen yang sedari tadi kami lihat.

Setelah mampir sebentar membeli Roti Gempol yang menurut pemiliknya sudah berdiri sejak 1958, kami pun menuju ke tempat finish yakni taman yang berada di Jl. Wirangunangun. Pada saat itu kami pun melihat rumah-rumah tua lainnya. Namun kali ini estetikanya agak kurang sedap dipandang. Di daerah tersebut, rumah yang dibangun adalah rumah “dempet” yakni dua rumah kembar yang bersebelahan dengan atap yang menyatu. Namun saat ini ada sejumlah rumah yang sudah berubah bentuknya. Jadi, di sebelah rumah tua yang seharusnya adalah bangunan rumah dengan wajah yang sama dan atap yang bersatu kini sudah memiliki pasangan yang berbeda yakni bangunan dua tingkat modern.

Nah setelah menceritakan beberapa hal yang saya lihat, saya ingin berbagi sedikit informasi yang saya temukan dalam buku “Bandung: Citra Sebuah Kota” karya Robert P.G.A Voskuil,dkk. Diceritakan bahwa pesatnya pertambahan jumlah villa atau rumah di kawasan Bandung Utara mulai terjadi di masa di tahun 1920-an. Ini ada hubungannya dengan pembuatan “Rancangan Bandung Utara” yang dibuat pada tahun 1917 yang disusul dengan “Kerangka Rencana Pengembangan Seluruh Bandung” pada tahun 1927.

Selain itu kampanye pemerintah untuk mengundang sejumlah warga Eropa khususnya para pensiunan untuk mengahbiskan masa pensiun di Bandung mulai menampakkan hasilnya. Ini karena jumlah warga Eropa di Bandung meningkat secara pesat, yakni dari 16.600 orang pada tahun 1905, menjadi 150.000 pada tahun 1927. Hal ini tentu saja menyebabkan kebutuhan untuk membangun rumah tinggal/ villa untuk warga Eropa.

Nah, jika memperhatikan rumah-rumah di kawasan lain selain Jl. Gempol, maka akan ditemukan kesamaannya yakni bangunan menggunakan batu kali di bagian pondasinya. Ini nampak di sisi bagin bawah rumah Belanda tersebut. Jadi biasanya teman-teman di Komunitas Aleut saat melihat rumah yang dibagian bawah tampak menggunakan batu kali, maka mereka akan menduga bahwa rumah tersebut dibangun di sekitar tahun 1920-1930an.

Hal menarik lainnya adalah keberadaan Brandgang dalam kawasan-kawasan yang kami lewati. Brandgang ini adalah sebuah jalur khusus yang digunakan sebagai jalur evakuasi penduduk di wilayah tersebut saat terjadi sebuah bencana seperti kebakaran. Bahkan ada yang mengatakan bahwa jalur Brandgang ini bahkan dirancang saling sambung menyambung namun terkait tujuan akhir jalurnya saya belum menemukan info apapun.

Hm…sebagai penutup, saya harus mengakui tentang kejelian pemerintah Belanda dalam mengatur kota jajahannya. Menurut buku “Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur” karya Abidin Kusno, bahwa tata kota yang mulai dibuat pada tahun 1920-an punya tujuan lain yakni untuk mengawasi warga kota. Ini dilakukan untuk mencegah berbagai pergerakan kota seperti pemogokan dan protes kaum buruh. Namun di luar itu semua, saya harus mengakui pertimbangan pemerintah Belanda yang tampaknya membuat sebuah pola baku untuk sebuah kompleks bangunan. Tampaknya keberadaan Brandgang dan taman menjadi salah satu hal wajib yang dipenuhi oleh perumahan-perumahan tersebut. Selain itu aturan bahwa bangunan baik kantor maupun rumah yang berada dibelokan jalan harus dibangun mengikuti bentuk lengkungan jalan. Ini tentu secara estetika bagus dilihat dan lebih aman karena orang akan sadar bahwa di depan mereka ada belokan jalan.

Baiklah, itu cerita saya tentang kegiatan menyusur kota yang dilakukan pada hari ini, 3 November 2013. Selamat menyusur sudut-sudut kota Bandung dan buktikan kebenaran tulisan saya (^_^)v

Tulisan ini di reblog dari http://filosofilandak.blogspot.com/2013/11/mencatat-sudut-kota-belajar-pelayanan.html

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑