Ditulis oleh : Cici Asri Mustika
Peristiwa telekomunikasi ini terjadi berkat adanya stasiun Radio Malabar. Singkat cerita, hari Minggu kemarin (13/12/09) komunitas Aleut mengajak pegiat-pegiatnya untuk menjelajahi sisa-sisa kolonial di Puntang – Malabar. Semangat ? Sudah pasti ! Karena saya penasaran sekali dengan keberadaan Radio Malabar ini dan sudah sejak lama ingin melihat langsung sisa-sisa bangunannya. Berangkatlah saya dan 15 orang teman di minggu pagi itu. Oya, informasi lengkap mengenai stasiun Radio Malabar, bisa lihat catatan teman saya – Ayan – dan catatan teman saya juga – Bang Ridwan.
Kami berkumpul jam 8 pagi di seberang museum Sribaduga – Tegallega. Jam 9 lebih, kami mulai berangkat menggunakan angkutan umum langsung menuju Puntang. Untung Elgy gak ditinggalin (^^). Ongkosnya murah, Rp 6000.- saja. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, sampailah kami di gerbang gunung Puntang. Untuk memasuki wilayah ini, dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp 5000.- Tidak lama kami berjalan, sudah terlihat sisa-sisa kolonial berupa alas/peyangga pipa air yang terbuat dari batu, ukurannya besar-besar. Pipa besinya sendiri sudah tidak bersisa karena mungkin sudah diambil warga. Tidak jauh dari situ, dapat kita lihat kolam bekas penampungan air yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Jalan ke atas sedikit, dapat kita jumpai bangunan bekas rumah tinggal para pegawai radio Malabar, disebut Radio Dorf atau Kampung Radio. Dinding bangunan-bangunan ini terbuat dari batu dan sekarang tinggal puing-puingnya saja yang sudah tertutupi lumut dan tanaman liar. Kata Ayan, di salah satu sudut bangunannya ada plakat bertuliskan nama-nama orang yang ikut membangun kompleks Radio Dorf. Tapi gak berhasil nemu. Padahal penasaran banget bentuknya kayak gimana ..
Hari sudah siang tetapi perjalanan baru saja dimulai. Agar tetap bertenaga dan tidak kelaparan, istirahatlah kami di sebuah warung yang letaknya tidak jauh dari puing-puing bangunan tadi. Bala-bala masih menjadi makanan favorit di tiap perjalanan. (^^) Teh Ana, Yanstri, Eby dan Dimas lahap sekali menyantap baso kuah panas pedas a la Puntang.
Sambil mengisi perut dan mengumpulkan tenaga, Bang Ridwan mengobrol dengan pemilik warung. Saya ikut-ikutan nguping aja, siapa tahu dapat informasi menarik mengenai Radio Malabar ini. Beruntunglah kami mengobrol dengan Pa Edi. Kami dapat cerita lumayan banyak. Mengenai gua, ada yang bilang bahwa gua yang sekarang bernama Gua Jepang itu adalah tempat persembunyian. Tetapi Pa Edi bercerita, sejak awal, gua tersebut dibuat untuk pemancar radio. Mengenai kolam cinta yang terkenal dengan mitosnya itu, dahulu adalah kolam hias biasa saja sebagai bagian dari halaman depan kantor pusat Radio Malabar. Disebut kolam cinta mungkin karena bentuk kolamnya yang menyerupai hati. Dan mengenai hancurnya Radio Malabar, bukan karena pengeboman yang dilakukan oleh pihak Jepang, tetapi karena dihancurkan oleh warga Bandung sendiri. “Ieu sadaya direksak ku bangsa urang, ngarah Belanda henteu uih deui ka dieu” cerita Pa Edi. Bahkan jembatan Citarum – Dayeuh Kolot pun sengaja dirusak agar tidak ada yang bisa masuk ke wilayah ini. Pa Edi mendapatkan cerita ini langsung dari ayahnya yang merupakan salah satu pegawai Radio Malabar pada waktu itu.
Hmm .. Cerita yang menarik dan makin menambah rasa ingin tahu. Tapi apa daya, cerita harus dilanjutkan di lain waktu karena hari sudah terlalu siang dan kami masih ingin melanjutkan satu perjalanan lagi ke Curug Gentong.
Perjalanan yang jauh dan lumayan bikin paha pegel-pegel. Sebelum benar-benar mendaki, kami masih mendapati puing-puing bangunan kolonial di kiri-kanan jalan setapak. Keadaannya sama, hampir rata dengan tanah dan tertutup banyak tanaman liar. Kami dapati juga beberapa pasangan anak muda yang sedang berdua-duaan duduk di semak yang sepi dan terpecil (hihi .. uyuhan ga ararateul kena ulet dan hewan ateul lainnya^^).
Setelah melewati jembatan dan kolam cinta, mulailah kami menapaki jalan menuju curug. Ini kali pertama Aleut minta ditemani guide. Ya, khawatir tersesat dan kami belum begitu mengenal medan yang satu ini. Kami ditemani oleh tiga orang guide. Setengah jam perjalanan, tiga perempat jam perjalanan, satu jam perjalanan, masih aman-aman saja. Setelah kira-kira satu jam lebih perjalanan, kami mulai kelelahan. Istirahat sejenak, minum air jeruk dan makan sepotong coklat. Seperti biasa, jangan khawatir kelaparan kalau ada A Yanto dan Teh Ana. Memang sudah jadi kakaknya Aleut, gak pernah lupa bawa makanan banyak buat adik-adiknya. Hehe. Jeruk, mangga, duku, sampai ubi rebus pun gak ketinggalan. “A Yanto memang sahabat alam” kalo kata Ayan mah. Perjalanan sudah sejauh ini, dan saya yakin pasti sebentar lagi sampai ! “Masih satu jam lagi, Teh .. “ kata Akang guide. Wuaduuhh … Bujubuset dah ndroo … Kirain udah mau di akhir .. Ternyata masih setengah perjalanan. Huff.. Ayo semangat ! Jalan terus !!
Ada yang berbeda dalam perjalanan kali ini. Tanjakannya memang tidak begitu ekstrim, tapi kok saya merasa horror ya. Jalan yang kami lewati rimbuuun sekali seperti di hutan. Akang guide yang berada di depan saya sering sekali menebaskan goloknya. Syaatt .. syaatt .. syaatt .. (suara golok teh begini bukan ya? ^^) memangkas tanaman dan pepohonan liar di kiri-kanan jalan setapak, dibantu Adi yang pada waktu itu membawa golok juga. Ternyata, belum pernah ada yang melewati jalan ini sebelumnya, bahkan ke-dua guide kami sekalipun! Aleut yang pertama membuka jalur ini !! Waaw Amazing .. “Berarti jalurnya masih perawan!” kata Naluri. Lebih horror lagi karena sepanjang jalan kami harus ekstra hati-hati dengan pohon berduri. Jangankan pohon, daunnya pun berduri tajam dan bikin efek setruman (istilah Budhie) yang luar biasa! Hiii … Semakin liar saja perjalanan kami.
Untuk mencapai Curug Gentong, kami harus menyeberangi tiga sungai kecil dan – yang paling seru – mengikuti jalur air. Kukurusukan ? Pastinya .. ! Bukan Aleut namanya kalo ga pake kukurusuk.. ^^ Suara gemuruh air sebenarnya sudah terdengar, tapi kok belum sampai-sampai juga ? Tapi tidak menyurutkan semangat donk! Hajar teruss!!
Kurang lebih jam 3 sore, akhirnya sampai juga kami di Curug Gentong!! HWAAA .. Saya langsung bersuka cita dan berpelukan dengan Icha, setelah sebelumya melewati Shocking Bridge (Dimas, Bey dan Mpiw jangan bilang siapa-siapa yaa. Cuma kalian kan yang tau?^^). Lelah dan pegal yang kami rasakan digantikan dengan pemandangan curug dimana tumpahan-tumpahan airnya membuat mata dan badan menjadi segar seketika. Setelah itu kami mulai membuka bekal masing-masing. Baru kali ini saya merasakan nikmatnya makan mie goreng delapan jam (mie goreng yang dimasak delapan jam yang lalu. Heu2). Oh ya, curug ini mempunyai ketinggian 25 meter. Dinamakan Curug Gentong karena ketika surut, curug ini katanya terlihat seperti gentong. Lanjut makan-makan .. Biar tambah segar, jangan lupa mencicipi menu wajibnya Dilla, Nutrijel coklat! Selagi mengisi perut, tiba-tiba kabut turun! Indahnyaa … Walaupun tidak setebal kabut di Tangkuban kemarin, saya selalu suka melihat kabut! Selalu suka berada di dalam kabut! Saya sentuh-sentuh kabut itu, ingin sekali rasanya dibawa pulang .. ^^
Hari semakin sore dan kami harus segera turun, khawatir kemalaman di tengah jalan (padahal masih seneng main-main sama kabut). Tidak banyak kendala dalam perjalanan pulang, tetapi masih harus hati-hati dengan tanaman berduri dan harus lebih cepat melangkah karena hari mulai gelap. Kaki saya sudah lemas …
Untunglah kami sudah sampai di bawah tepat saat langit benar-benar gelap. Kami beristirahat kembali di warung yang pertama kami datangi tadi. Segelas susu panas cukup untuk menenangkan dan menghangatkan tubuh saya. Setelah beberapa lama, akhirnya angkot yang kami tunggu datang juga. Kami pulang naik angkot sampai Kebon Kalapa. Bikin lelah .. Tapi terbayar dengan bukti-bukti sejarah radio Malabar dan kabut indah .. (^^)
Mau kesana lagi ??
Terima kasih ceritanya, … saya berniat ke sana dan menulis sesuatu tentang Radio Malabar … Apakah sebenarnya di sana masih banyak yang bisa digali tentang sisa-sisa Radio itu / bangunannya ? Tidak tahu kapan bisa ke sana, tapi saya selalu berpikir ingin ke sana, menulis, dan memotret apapun yang ada tentang sisa-sisa Radio itu.
Mungkin baiknya membaca dulu bbrp referensi, juga browsing bbrp foto jadulnya. Agar lbh punya bekal utk dokumentasinya. Selamat berburu!
masih banyak puing puing bangunan bekas radio malabar, dari sana banyak cerita sejarah yang dapat digali lebih lanjut. menarik kalau kita bisa maen kesana. berwisata sejarah.