Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh Agnia Prilika Riyanto

Apa yang terlintas dibenak teman-teman ketika pertama kali mendengar kata momotoran?

Mungkin kata momotoran yang satu ini bisa merujuk pada kata touring, yaitu ketika kita melakukan perjalanan bersama secara beriringan, menjelajah, dan menyusuri kota yang relatif cukup jauh menggunakan kendaraan beroda dua (sepeda motor). Bagi sebagian orang, aktivitas momotoran ini bisa menimbulkan beragam persepsi dan imajinasi, baik itu dari segi kebermanfaatan, keselamatan, dan atau hanya untuk sekadar bersenang-senang.

Bagaimana denganku? Mengapa aku sangat tertarik mendengar kata momotoran yang akan diadakan oleh komunitas Aleut?

Bukanlah yang pertama bagi komunitas Aleut mengadakan kegiatan momotoran, namun ini menjadi kali pertama bagiku dan teman-teman tim APD (Aleut Program Development) angkatan 2020 untuk melaksanakan kegiatan lapangan pertama bersama dengan menjelajahi kawasan Pangalengan – Ciwidey.

Sabtu, 24 Oktober 2020, akhirnya aku bisa menghabiskan waktuku bersama teman-teman baru, menikmati dunia luar dan merasakan sensasi momotoran ala Komunitas Aleut. Sebenarnya kegiatan ini tidak jauh berbeda dengan definisi momotoran pada umumnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Hanya saja momotoran ala komunitas Aleut ini memiliki ciri khas tersendiri serta selalu meninggalkan kesan dan pesan berharga bagi siapapun yang mengikutinya. Jika kamu penasaran ayo bergabung bersama Komunitas Aleut 😀

Dua hari sebelum hari keberangkatan, aku meminta izin dan meyakinkan kedua orang tuaku, bahkan bisa dibilang ke hampir seluruh anggota keluarga. Wajar saja, aku hanyalah anak rumahan yang jarang bermain jauh, sekalipun bermain jauh itu adalah kegiatan darmawisata sekolah ataupun acara-acara tertentu. Hfftt membosankan sekali. Tapi apa daya.., aku juga tak bisa memaksakan diri dan menyalahkan keadaan serta sikap orang tuaku yang kadang seakan-akan terlihat mengekang/protektif, namun sebenarnya tidak sama sekali. Aku sangat paham betul mengapa mereka begitu. Merupakan hal yang wajar bagi orang tua apabila timbul rasa khawatir dan cemas pada anaknya, apalagi jika anaknya perempuan dan sudah beranjak dewasa. Ditambah kondisi saat itu yang mungkin menurut mereka tidak memungkinkan untuk aku tetap pergi adalah karena sedang musim hujan, pandemi Covid-19, dan melihat aktivitas keseharianku yang selalu begadang.

Setelah aku menjelaskan kegiatan momotoran Aleut ini secara detail dan mencurahkan segala isi hati dan perasaan menggebu serta keinginan kuat untuk mengikuti Ngaleut, akhirnya aku mendapatkan izin dan doa restu dari kedua orang tua dan keluargaku dengan segala pertimbangan yang ada. Hehe. Berhubung tempat ngaleut momotorannya juga tidak terlalu jauh dan masih berada di satu kota tempat kelahiranku. Yups! ngaleut momotoran kali ini masih berada di sekitaran wilayah Bandung, lebih tepatnya di kawasan Pangalengan – Ciwidey. Sekitar pukul 07.00 pagi aku sudah berada di Sekretariat Aleut, begitupun teman-teman APD lainnya. Adapun 2 teman kami yang berasal dari Ciwidey dan Cilampeni (Reza dan teh Annisa) diinstruksikan untuk menunggu di Kamasan, dekat Alun-Alun Banjaran agar tidak mutar balik lagi.  Setelah semua anggota berkumpul di sekretariat, kami sempat mengadakan briefing terlebih dahulu sebelum keberangkatan untuk mengecek kembali barang-barang apa saja yang dibutuhkan, menentukan partner naik motor, dan urutan momotoran ketika di perjalanan. Terhitung ada 8 motor dengan total 14 orang yang siap berangkat menuju tempat yang dituju.

Di depan Sekretariat Aleut, sesaat sebelum berangkat. Foto: Aleut.

Berangkat tepat pukul 07.30 WIB. Aku dibonceng Pahepi dan berada di urutan paling belakang dalam rombongan ini. Kami menuju Kamasan, Alun-Alun Banjaran. Di Jl. Soekarno Hatta, kami sempat melipir ke pom bensin terlebih dahulu. Setelah itu lanjut ke Batununggal melewati bunderan yang terdapat patung batu besar di sana. Lalu keluar ke Moh. Toha, belok kanan ke Dayeuhkolot melewati Jembatan Citarum, Baleendah, hingga sampai ke Alun-Alun Banjaran. Sesampainya di sana aku turun dan pindah tumpangan ke motor teh Annisa, begitu juga Madiha yang awalnya bersama pa Alex menjadi bersama Reza. Hal ini juga bertujuan untuk membantu melatih komunikasi antar anggota. Sejauh ini jalanan tidak terlalu padat dan ramai, hanya saja karena lebar jalan yang tidak terlalu besar, banyak mobil besar yang menghalangi. Perjalanan pun berlanjut, aku dan teh Annisa mengobrol berbagai hal sepanjang perjalanan. Teh Annisa memang sudah terbiasa mengendarai sepeda motor dan melakukan perjalanan jauh sendiri.

Di tengah perjalanan, aku dan teman-teman Aleut sempat berhenti di tepian jalan tepatnya di dekat Jembatan Cikalong. Dari lokasi di kaki Gunung Malabar itu kita bisa melihat Gunung Tilu di sebelah kanan dan Gunung Malabar di sebelah kiri. Adakah yang penasaran mengapa gunung tersebut dinamakan Gunung Tilu? Jika dalam bahasa sunda Tilu berarti tiga maka dapat dipastikan alasannya, dinamakan Gunung Tilu karena memang ada tiga puncakan. Sisi sebelah kiri masuk wilayah perkebunan Riung Gunung, bagian lainnya dekat ke Gambung dan Pasirjambu, sedangkan wilayah di belakangnya adalah kawasan Ciwidey.

Di balik gunung Malabar adalah wilayah Ciparay, Pacet, hingga ke Garut. Sambil menjelaskan itu, Bang Ridwan juga menjelaskan ke arah mana kita berjalan. Jika dari Bandung, kita berjalan ke arah Selatan untuk sampai di Pangalengan-Ciwidey. Sementara untuk ke Lembang, Maribaya dan Subang itu pasti ke arah Utara. Begitu pun ke arah Timur dan Barat. Sebuah pengetahuan baru bagiku yang memang sering kesulitan menghapal arah jalan. Terlihat juga antusiasme teman-teman Aleut di tempat pemberhentian pertama ini seakan mereka siap untuk menjelajah selanjutnya ke arah berlawanan di kemudian hari. Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan. Tampak di depan motor ada pa Alex dan sesekali aku juga menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa rekan yang lain ada.

Tugu 100 Tahun Penanaman Kina. Foto: Aleut

Tempat tujuan pertama adalah Tugu Perkebunan Kina Cinyiruan di kawasan Perkebunan Kertamanah. Di tempat ini pa Alex membagikan cerita. Beliau mengatakan bahwa secara garis besar masyarakat mengenal wilayah ini sebagai Perkebunan Kertamanah, namun tempat kami berdiri ini dulunya adalah bagian dari Perkebunan Kina Cinyiruan. Ketika usia perkebunan kina ini sudah 100 tahun, dibuatlah tugu peringatan ini (1855-1955). Bang Ridwan menambahkan bahwa dulunya Cinyiruan dan Kertamanah itu terpisah dan bisa dikatakan Cinyiruan lebih luas dari Kertamanah. Kata manah itu berarti hati dan jiwa sementara kata nyiruan itu artinya lebah dalam bahasa sunda.

Pa Alex dan ketika rombongan menyimak cerita kina di Cinyiruan. Foto: Aleut.

Pa Alex kemudian melanjutkan dengan membahas sedikit toponimi Pangalengan. Menurutnya, Pangalengan berasal dari kata pengalengan yang mengacu pada tempat untuk mengalengkan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Franz Wilhelm Junghuhn, tokoh yang yang melakukan penelitian dan pembudidayaan kina khususnya di Bandung dan Priangan, yang kemudian disebarluaskan ke Hindia Belanda. Pangalengan dan Lembang menjadi salah satu tempat utama penanaman Kina. Selain menanam kina, Junghuhn juga menanam kopi dan mengemasnya ke dalam kaleng-kaleng. Tempat pengemasan kopi ke dalam kaleng itulah yang kemudian menjadi Pangalengan.

Junghuhn yang berasal dari Jerman bukan hanya dikenal sebagai perintis perkembangan kina di Indonesia, melainkan juga ahli dalam berbagai bidang keilmuan lain, seperti kedokteran, geografi, geologi, fotografi, pelukis, dll. Ia senang menjelajah alam, sampai-sampai ada yang bilang bahwa ia sudah menginjak setiap sentimeter tanah di Pulau Jawa ini.

Salah satu cerita yang sering dikutip tentang Junghuhn adalah kisah burung-burung yang mati saat melintas di atas Gunung Patuha. Junghuhn yang menjelaskan sebabnya, yaitu  karena ada kandungan belerang yang tinggi di kawah gunung itu. Bang Ridwan menyambung berbagai kisah yang menjadi latar semangat Junghuhn, yaitu zaman romantik, ketika banyak oang-orang Eropa yang menjelajahi alam dan membuat penelitian-penelitian mandiri, bahkan secara otodidak. Saya menangkap sebuah kalimat, “back to nature itu selalu hadir pada masa romantik” dan bahwa masa ini sudah mengalami pengulangan juga dalam sejarah kehidupan manusia.

Junghuhn ini sangatlah mencintai alam, dan dengan dasar itu ia banyak berkarya sehingga termasuk ke dalam deretan nama-nama besar di dunia ilmu alam dan hayati, seperti Wallace atau Rumphius. Makam Junghuhn masih dapat dilihat di Lembang, sedangkan rumahnya sudah tidak berbekas sama sekali.

Setelah diberi pemaparan materi, kami diberi waktu untuk observasi lingkungan sekitar. Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan melalui jalan permukiman warga di kawasan Kertamanah menuju Balai Penelitian Teh & Kina Gambung, Chincona, di Desa Cibeureum. Sebelumnya, kami sempat berhenti sebentar di depan lokasi Rumah Ibu yang ngehits itu di Kampung Rancamanyar, Desa Marga Mulya, Kecamatan Pangalengan. Ternyata di sini kami bukan mau mampir ke Rumah Ibu, malah mendapatkan cerita tentang geothermal Wayang-Windu dan beberapa sumber air panas tak jauh dari tempat kami berhenti.

Warga setempat menyebut tempat ini sebagai Chincona sesuai tulisan pada tugunya. Foto: Aleut.

Pada bagian perjalanan berikutnya kami menyusuri gang-gang kecil dan jalanan yang padat dengan rumah warga sembari melihat beragam tingkah laku dan aktivitas warga. Ada anak yang manjat pohon untuk mengambil jambu, anak yang bermain sepeda dan lain-lain. Di tengah perjalanan kami juga sempat berhenti untuk mengamati rangkaian Gunung Wayang, Gunung Windu, dan Gunung Bedil dari kejauhan. Sesampainya di Balai Penelitian Teh & Kina Gambung, Chinchona, kami mendapat cerita dan berkesempatan untuk observasi kawasan sebentar sebelum bergegas melanjutkan perjalanan.

Di lokasi makam KAR Bosscha. Foto: Aleut.

Tak terasa waktu sudah memasuki tengah hari. Kami melipir sebentar ke warung Rehan yang berada tak jauh dari Gapura Pintu Masuk Perkebunan Malabar untuk membeli bekal makan siang. Pemilik warung ini terlihat seperti orang blasteran Indonesia-Arab dan beliau mengatakan sudah 10 tahun menjalankan warung tersebut. Makanan yang dijual pun beragam, ada masakan Sunda dan masakan Padang, namun sepertinya yang kurang itu sambal.

Singkat cerita kami sampai di Perkebunan Teh Malabar. Orang-Orang mungkin sudah tidak asing lagi dengan perkebunan yang satu ini. Bisa dikatakan ini merupakan perkebunan penghasil teh terbesar di dunia pada zamannya. Tentunya ada tokoh yang berjasa di balik kesuksesan perkebunan ini. Dia adalah Karel Albert Rudolf Bosscha atau biasa dipanggil Ru Bosscha. Namanya sudah melegenda karena ia seorang perintis sekaligus administratur Perkebunan Teh Malabar yang punya banyak peran dan jasa dalam perkembangan Kota Bandung.

Sebelum makan bersama dalam kondisi darurat sambil kehujanan. Foto: Aleut.
Gedung SDN Malabar 04 yang menggantikan bangunan lama di sebelahnya. Foto: Aleut.

Dari makam, kami melanjutkan perjalanan ke sekolah Bosscha. Jalanan yang dituju sudah mulai bebatuan, cuaca pun berkabut dan seperti akan turun hujan. Di tengah perjalanan, aku dan teh Annisa hampir terjatuh karena tidak seimbang. Akhirnya kami tiba di depan bangunan kayu berdinding bilik bekas sekolah tua. Dalam bangunan rapuh ini terdapat tiga ruang kelas dan di belakangnya adalah bangunan baru sekolah pengganti, yaitu SDN 04 Malabar.

Di depan bangunan ini kami beristirahat sejenak sambil makan bersama, kebetulan hujan pun mulai turun. Ponco milik Rieky digelar sebagai alas kami duduk. Kami makan bersama ditemani banyak lalat. Ini merupakan hal wajar karena di sana banyak ladang yang menggunakan pupuk hewani, sahut bang Ridwan. Selain itu kami juga berdiskusi dan berbincang-bincang tentang kesan dan pesan yang didapat dalam perjalanan yang sudah dilalui. Hal ini juga bertujuan agar tim APD semakin dekat dan komunikatif. Memang seru sekali rasanya. Kali pertama aku bermain jauh, touring gratis bersama teman-teman ditambah banyak mendapat pengetahuan baru.

Bagian dalam dan teras samping rumah Bosscha. Foto: Aleut.

Setelah selesai makan, kami berpencar melihat sekitar. Langit perlahan semakin dipenuhi kabut dan cuacanya juga mulai terasa dingin. Tak lama kami segera melanjutkan perjalanan selanjutnya dengan menggunakan jas hujan karena cuaca sudah tidak menentu dan diperkirakan hujan akan berlangsung terus. Tujuan selanjutnya adalah rumah Bosscha. Di sini kami eksplorasi keadaan sekitar rumah Bosscha dan membuat cukup banyak foto.

Walaupun hujan semakin deras, kami harus segera menuju tujuan berikutnya, Situ Cileunca. Di tengah perjalanan kami mampir ke Pabrik The Pasir Malang. Dalam hujan yang deras kami melewati kawasan hutan, perkebunan, dan permukiman, sampai akhirnya tiba di Situ Cileunca. Kami beristirahat di sebuah warung sambil menikmati pemandangan dan makan baso untuk sekedar menghangatkan badan. Merasa belum cukup, kami memutuskan untuk memilih jalan pulang yang lebih jauh yakni melalui Ciwidey. Bukanlah Komunitas Aleut jika hanya mengambil jalan biasa 😀

Dari sebuah warung kami menikmati hujan dan pemandangan Situ Cileunca. Foto: Aleut.

Ketika hujan mulai reda, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama dari itu, terjadi insiden kecil. Salah satu ban motor dari rombongan Aleut bocor. Kami menunggu cukup lama di depan tambal ban di Kampung Pulo. Meskipun begitu, kami setia menunggu sambil berdiskusi, bercanda ria dan berfoto bersama buat kenangan sambil menunggu hujan reda dan tambal ban selesai. Setelah tambal ban selesai, kami bergegas melanjutkan perjalanan karena hari sudah semakin gelap dan hujan tak kunjung reda.

Saat menunggu salah satu motor yang sedang dalam perawatan di bengkel di Kampung Pulo. Foto: Aleut.

Ditengah perjalanan, aku dan teh Annisa harus berpisah karena kondisinya tidak memungkinkan jika teh Annisa terus mengendarai sepeda motor dan memboncengku. Akhirnya aku turun dan pindah naik motor bersama Adit. Kami pulang melewati hutan Gunung Tilu yang saat itu dipenuhi kabut pekat. Banyak pohon besar, jalanan di depan tidak terlalu jelas bentuknya karena sangat gelap, hanya lampu-lampu motor di depan yang dapat kulihat. Kadang motor-motor terpaksa berjalan sangat pelan karena jalanan di depan yang tidak jelas itu ternyata banyak genangan airnya. Bagian perjalanan ini terasa sangat ekstrem bagiku, tapi sekaligus juga sangat meninggalkan kesan.

Sebelum hari menjadi gelap, hujan lagi, kabut lagi, dan tak ada lagi yang dapat difoto. Foto: Aleut.

***