Raden Rangga Martayuda, Jalan Pedati, dan Kademangan Batusirap

Tim ADP 2023

Ini tulisan loncat-loncat, alurnya seingetnya saja.

Dalam beberapa perjalanan Komunitas Aleut melalui daerah Bukanagara, kami selalu mampir ke sebuah tugu “Jalan Pedati’ yang terletak di sisi lapangan di sebrang Pabrik Teh Bukanagara. Begitu juga dengan momotoran pada hari Jumat, 22 Desember 2023 lalu, walaupun jaraknya hanya selisih dua minggu dengan kunjungan sebelumnya, tetap saja kami mampirkan sebentar untuk melihat-lihat lagi.

Tugu ini penting karena menyimpan informasi yang berhubungan dengan pembukaan kawasan Bukanagara untuk dijadikan perkebunan oleh P&T Lands atau Pamanoekan & Tjiasem Landen, dan terutama berhubungan dengan pembukaan jalur jalan yang disebut Jalan Pedati antara Bukanagara dan Cisalak. Berikut ini salinan tulisan pada dua sisi tugu tersebut:

Sisi pertama:

1847

Pembuatan Djalan Pedati

Bukanagara

Oleh

Raden Rangga Martayuda

Tuan Tanah

T. B. Hofland

P&T Lands

Subang

Sisi kedua:

1963

Dibawah Pengawasan Pemerintah

Daerah Tingkat I Djabar

Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Djawa Barat

No. 376/BI/PEM/SEK ‘63

9 September 1963

Ketua Letkol Sammy Rahardjo, S.H.

Manager Estate R. E. Kosasih

Tulisan pada tugu di sebrang Pabrik Teh Bukanagara. Foto: Komunitas Aleut

Nama T. B. Hofland atau Thomas Benjamin Hofland (1799-1858) yang disebut di atas adalah kakak dari P. W. Hofland atau Pieter Willem Hofland (1802-1872), pengusaha gula dari Pasuruan yang mencoba merambah ke wilayah barat Jawa. Pada tahun 1840, Thomas dan Pieter Hofland mengambil alih hak sewa tanah yang luas yang sebelumnya dikelola oleh J. Sharpnell dan Ph. Skelton dengan mendirikan perusahaan perkebunan Pamanoekan and Tjiasem (P&T) Landen pada tahun 1813. Sharpnell meninggal pada 1815, dan Skelton menyusul pada 1821. Sepeninggal Sharpnell dan Skelton, hak sewa tanah P&T Lands masih dilanjutkan oleh orang-orang Inggris sampai tahun 1839, dan baru pada tahun berikutnya beralih kepada keluarga Hofland.

Pada 1845, T. B. Hofland menjual sahamnya kepada P. W. Hofland yang selanjutnya menjadi pengelola tunggal dengan nama perusahaan menjadi Maatschappij tot Exploitatie van de Pamanoekan en Tjiasem. Luas wilayah yang berada di bawah perusahaan ini adalah 212,900 hektar, lebih luas dibanding wilayah Kabupaten Subang yang hanya 205,166 hektar pada 2007.

Wilayah P&T Lands terbagi ke dalam delapan distrik atau kademangan, masing-masing Kademangan Batusirap di Cisalak, Kademangan Sagalaherang, Kademangan Ciherang, Kademangan Pagaden, Kademangan Pamanukan, Kademangan Ciasem, Kademangan Malang di Purwadadi, dan Kademangan Kalijati.

Seluruh kademangan tersebut dipimpin oleh Demang Ciherang (= Demang Subang) yang berstatus juga sebagai Hoofd Demang karena kedudukannya yang berada di pusat P&T Lands. Lalu, setiap kademangan dipimpin oleh seorang Demang. Setiap Demang dibantu oleh Asisten Demang, Patih, Mantri, Upesir, Umbul, Upas, dan Jaksa. Semua Demang diangkat secara resmi melalui Surat Keputusan dari Gubernur Jendral.

Kademangan Batusirap yang sudah disebut di atas meliputi wilayah Bukanagara, Kasomalang, Sarireja, Ciater, dan Jagernaek. Pada masa pembukaan wilayah Bukanagara itu yang menjadi demang adalah Raden Rangga Martayuda, dan karena itulah ia terlibat dalam pembukaan jalur jalan Bukanagara-Cisalak bersama dengan Thomas Hofland. Demikianlah latarnya sehingga namanya tercantum pada tugu Jalan Pedati. Oh ya, memang nama T. B. Hofland itulah yang tertulis pada tugu, jadi bukanlah P. W. Hofland yang membuka jalur Jalan Pedati ini.

Kaart der Preanger Regentschappen en Crawang gecoppieerd naar die van den Heer Beetjes door J. T. Bik (c1818?)

Tentang nama Batusirap, sepertinya sudah cukup lama menjadi samar dan sepanjang yang sudah diperiksa, tidak disebut lagi pada peta-peta produksi setelah tahun 1900. Pada peta masa sekarang, yang kami temukan hanya nama Desa Sirap yang terletak di kota Kecamatan Tanjungsiang sekarang.

Beberapa peta sebelum periode 1900 masih mencantumkan nama Batusirap, termasuk peta buatan F. Junghuhn tahun 1855. Pada tahun yang sama pula KITLV menerbitkan jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië Jilid 4 dan di dalamnya termuat karya tulis Dr. Sal Muller yang membicarakan peninggalan-peninggalan kuno di Jawa dan Sumatra, Over Eenige Oudheden van Java en Sumatra.

Sal Muller mengunjungi daerah di kaki sebelah barat Gunung Cagak yang disebut Nagara Wangun Paku Haji. Letaknya tidak jauh di sebelah utara kampung Mayang. Di sini ia melihat formasi tanah serupa punden berundak dan terdapat dua arca yang oleh warga sekitar disebut sebagai candi. Arca pertama disebut Aki Sadhu dan yang kedua Demang Peret.

Dari warga sekitar juga didapat keterangan tentang beberapa peninggalan kuno di punggungan utara Gunung Cagak, yaitu di Nagara Bukit Cula dan Nagara Dhaja Luhur. Dalam catatan kakinya, kata dhaja diterangkan sebagai pohon beringin atau pohon besar secara umum. Penduduk biasanya datang ke tempat-tempat ini dengan membawa persembahan. Di daerah hilir Batusirap bahkan dapat ditemukan jejak-jejak desa yang sudah hilang. Selain itu, Rangga (Demang) Batusirap juga menyebutkan beberapa nama tempat lain, seperti Nagara Dhomas, Nagara Jati Nanggor, Nagara Tanjung Singa, dan Nagara Pariyu. Dari daftar terakhir ini, hanya Nagara Dhomas saja yang sempat dikunjungi karena jaraknya tidak jauh di sebelah selatan Cisalak.

Kaart van het Eiland Java door Dr. F. Junghuhn, 1855
Kaart van het Eiland Java door W. M. van de Velde, 1845

Kembali lagi ke nama Raden Rangga Martayuda. Pada salinan silsilah yang terpasang di tembok makamnya di Astana Gede Gomati, Cisalak, terlihat bahwa ia keturunan dari Panembahan Rangga Aria Madamadia (R. Ngabehi Madamadia / Rangga Sagalaherang). Ia menikah dengan Nji Mas Alkamah dan berputra Raden Madiakusumah (Eyang Rangga II) yang namanya akan disebutkan dalam kutipan di bawah nanti. Sementara itu, dalam jurnal berjudul Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer in 1857 yang ditulis oleh inisial S. K. (KITLV 1863) ada disebut nama Dalem Marta Joeda sebagai salah satu putra Bupati Cianjur, Aria Wira Tanu Datar (Dalem Cikundul). Ayah Dalem Cikundul adalah Raden Aria Wangsa Goparana yang berasal dari Sagalaherang, Subang. namun tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah nama itu dari tokoh yang sama?

Silsilah Raden Rangga Martayuda direpro dari dinding makam di Astana Gede Gomati, Cisalak. Foto: Komunitas Aleut.

Dari hanya sedikit keterangan tentang tokoh ini, ada catatan dari Jan Ten Brink yang juga berkunjung ke wilayah Subang pada akhir abad 19. Catatan yang berjudul Drie Reisschetsen itu diterbitkan tahun 1894. Ia tidak bertemu langsung dengan Rangga Martayuda, melainkan dengan putranya yang bernama Demang Raden Madia Kusumah.

Setelah dari Tenger-Agong yang disebutnya sebagai tempat paling penting bagi sejarah Pamanoekan en Tjiasem Landen, ia mendatangi distrik atau Kademandan Batusirap di sebelah tenggara. Di sini ia disambut oleh Demang Raden Madia Kusumah yang didampingi oleh para pengawal yang berjubah ungu. Raden Madia Kusumah mengenakan pakaian resmi kademangan,jas putih, dasi putih gaya Eropa, sarung mewah berwarna coklat, dan celana satin biru. Menurutnya, Raden Madia Kusumah tidak seperti kebanyakan pribumi lainnya, wajahnya seperti orang Eropa, dan terlihat anggun serta megah dalam setiap gerakannya.

Raden Madia Kusumah adalah putra Raden Rangga Martayuda, yang menjadi Demang Batusirap selama empat puluh tahun, hingga wafatnya lima tahun yang lalu. Raden Rangga Martayuda dikenal sebagai pemimpin yang luar biasa, ia banyak berjasa untuk kemakmuran wilayahnya. Selain pembuatan jalur jalan Bukanagara-Cisalak, ia juga membuka jalur-jalur jalan lainnya, serta sangat memperhatikan saluran air, terutama untuk kepentingan pertanian. Pembangunan jalan-jalan membuat kawasan pertanian menjadi mudah diakses dengan kendaraan sederhana.

Menjelang Cisalak, pemandangan menjadi agak tertutup oleh peopohonan besar, dan Raden Madia Kusumah mengambil jalan kecil ke arah kanan menuju lapangan rumput yang luas yang bagian tengahnya meninggi membentuk bukit kecil. Rombongan turun dari kudanya masing-masing dan mulai jalan mendaki ketinggian. Ternyata mereka akan mengunjungi makam Raden Rangga Martayuda yang berada di puncak.

Makam ini sekaligus merupakan monumen penghargaan dari tuan tanah P&T Lands bagi Rangga Martayuda, walaupun bentuk sederhana, namun dirancang dengan sangat baik. Ia memilih sendiri bukit Cisalak ini untuk tempat peristirahatan terakhirnya, dan sebagai rasa terima kasih, penduduk pun menjadikan tempat itu suci (keramat).

“Sebuah teras kecil yang terbuat dari batu bata putih yang dirawat dengan baik, dengan sebuah meja marmer yang ditinggikan dengan tulisan dalam huruf Jawa dan Arab yang emas, menjadi seluruh monumen itu. Namun, angin pagi berdesir dengan sangat serius di sana, dan ada keheningan yang suci di sekelilingnya, seolah-olah atapnya yang terbuat dari atap rumbia adalah kubah gothik yang megah, seolah-olah nada organ yang merdu memainkan rekuiem sedih di atas batu nisan bangsawan Sunda yang luar biasa. Hal itu juga dipengaruhi oleh pemandangan yang indah yang mengelilingi bukit kuburan ini dari segala penjuru.”

“Pemandangan dari puncak bukit ini memang sangat indah. Cakrawala ditutupi oleh dinding pegunungan yang lembut dari segala arah, dengan warna ametis yang halus yang menyatu perlahan dengan biru langit yang murni. Di barat yang paling jauh, kini muncul puncak Tangkoeban Prahoe yang agak pipih. Dari kawahnya, awan asap yang tidak bergerak naik dengan warna putih yang cerah, yang membuat sayap burung camar yang cepat bergerak bersinar ketika ia bergerak gelisah di langit yang kelam mendung. Tidak jauh dari bukit kuburan, hutan kelapa yang lebat, pohon beringin yang sepi, dan palem areca yang anggun mulai muncul, yang menyelimuti desa Tjisalak dengan bayangan yang hangat.”

“Ada dua hal terutama yang menarik minat saya ketika saya berada di makam Rahden Ranga. Saya mencari arti dari tulisan di batu nisan, yang menunjukkan penghargaan dari tuan tanah, dan bertanya tentang tujuan dari berbagai jenis persembahan, seperti keranjang buah-buahan dan hidangan lainnya, yang diletakkan dengan penuh rasa hormat di tangga-tangga teras. Melalui upaya baik dari Tuan J. T. HOFLAND, saya kemudian menerima salinan teks yang diukir dalam huruf Jawa dan Arab pada batu nisan marmer, yang reproduksi yang terlampir memberikan salinan yang setepat mungkin.”

Lebih kurang isinya adalah: Mengenang Radhen Martaijoedah yang menjabat sebagai Demang Batu-Sirap selama 40 tahun, demi kemajuan Pamanoekan en Tjiasem Landen. Wafat pada hari Jumat 13 Juni 1856, atau menurut Hijriyah 1272, lalu ditutup dengan doa. ***

Salinan dari buku Drie Reisschetsen karya Jan Ten Brink, 1894.

You may also like...

7 Responses

  1. Raden siti rukiah rahayu says:

    Assalaamualaikum,
    maaf pa, ada yg tdk tepat pa , naskah asli batu nisan yg terlampir di buku Dr.Jan ten brink tahun 1860 , krn Dr.Jan ten brink datang dari belanda bulan Desember 1859, 6 minggu Jan Ten Brink selama mengunjungi 3 kademangan ,
    Saya baca artikel bpk ,,,berarti kunjungan Dr.Jan Ten Brink 2 x ,

    1. Desember Tahun 1859 buku Dr.Jan Ten Brink berjudul Op De Granzen Der Preanger , asli berbahasa belanda ,

    2.tahun 1894 salinan dari buku Drie Reisschetsen,

    Hatur nuhun ,

    Saya , Hj.Raden Siti Rukiah Rahayu binti Rd. Saleh Putra , Cisalak Jl.Sukamenak Subang,

    Wassalam,

    • Walaikumsalam.
      Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan catatan, Bu.
      Ya betul Op de Granzen der Preanger karya Jan Ten Brink pertama kali terbit tahun 1861, tapi kemudian hari buku ini dicetak ulang dan digabungkan dengan dua catatan perjalanan lain dan diterbitkan dengan judul baru “Drie Resisschetsen”. Kebetulan edisi yang jadi referensi kami adalah yang terbitan tahun 1894.
      Hatur nuhun.
      Salam..

  2. Raden siti rukiah rahayu says:

    baik pa , jika diperhatikan ,batu nisan eyang rangga yg asli di curi,,diganti ,diubah oleh orang tdk diketahui sampai saat ini. Batu nisan marmer dan tulisannya di ubah dgn sengaja , saya tahu setelah mengamati buku thn 1860 , buku op de granzen der preanger yg ditulis oleh DR .Jan Ten Brink.

    Saya berencana ingin mengadukan ke pemerintah belanda , kedutaan besar kerajaan belanda.saya duga diubah dan diganti setelah tahun 1930 . htr nhn.

    Sy, hj.raden siti rukiah rahayu,

    • Galuh says:

      Sudah tidak mengapa..itu kehendak yang maha esa…

      pesan dari saya ” jadikan gelar sebagai amanah,karunia dari sang pencipta..karena banyak orang yang tidak kuat membawa gelar yang telah di berikan..sehingga menjadikan dia lalai akan amanah dan membanggakan diri karena sebuah gelar..”

      “Jangan mencintai apa yang telah di berikan..tapi cintailah yang memberikan nikmat…” (Rd,rangga merta yudha).

  3. Raden siti rukiah rahayu says:

    jangan melupakan sejarah ,segala amal tergantung niat nya , sejarah itu penting utk kemajuan sebuah bangsa , bangsa yang berkah pasti tidak melupakan sejarah , berbaktilah kpd orang tua karena perintah sang Maha Kuasa , merawat dan menjaga orang tua sepanjang hidup kita adalah bukti berbakti kpd nya , hj.raden siti rukiah rahayu di cisalak rt2 rw1 desa cisalak kec.cisalak kab.subang west java,

  4. Raden siti rukiah rahayu says:

    Bismillah ,

    1 Muharram 1446H

    Senin ,11 Juli 2024 M

    Assalaamu’alaikum Wr.Wb.

    Saya bernama Hj.Raden Siti Rukiah Rahayu binti Raden Saleh Putra Bin Raden Arya Martadilaga Bin Raden Adiwilaga Bin Raden Adimiarta Adirajakusumah Bin Raden Rangga Martayudha , Beralamat di Rt2 Rw 1 Desa Cisalak Kec. Cisalak Kab.Subang 41283 Jawa Barat Indonesia.

    Saya adalah nazdir wakaf dari Blok Wakaf Pemakaman Raden Rangga Martayudha di Desa Cisalak kec.Cisalak Kab.Subang ,Jawa Barat Indonesia ,

    Mohon doa dan restu dari semua Keluarga Besar Raden Rangga Martayudha untuk kelancaran proses Wakaf seluruh aset lahan PTPN 8 Wilayah Kab.Subang sebagaimana mana diketahui bahwa Tuan Tanah Lahan Pamanukan & Tjiasem Land atau dikenal dgn P&T Land atau dikenal dgn PTPN 8 Kab.Subang adalah Raden Rangga Martayuda ,menurut riwayat tanah bahwa Raden Rangga Martayudha adalah Demang Batu Sirap sampai wafatnya beliau tahun 1856 M, sesuai peta asli Tahun 1812, setelah wafat beliau di lanjutkan oleh Demang Cisalak Selaku Rangga Cisalak II Raden MadiaKusumah bin Raden Rangga Martayuda dan di lanjutkan oleh putra nya Demang Cisalak Raden PersantaKusumah sampai tahun 1948 .

    Semoga Alloh Swt Memudahkan.Aaamiiin.

    Saya ,Hj.Raden Siti Rukiah Rahayu Pengurus Wakaf dan Pengelola Makam Eyang Raden Rangga Martayudha di Cisalak.

    Lokasi : Desa Cisalak Kec.Cisalak Kab .Subang Jawa Barat Indonesia.

    Wassalaam.

  1. February 9, 2024

    […] Baca juga Raden Rangga Martayuda, Jalan Pedati, dan Kademangan Batusirap […]

Leave a Reply to Galuh Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *