Pendirian Lembaga untuk Orang Buta di Bandung (Het Blinden-Instituut/Wyata Guna)
Oleh: Aditya Wijaya
Tulisan ini untuk melengkapi apa yang sudah pernah ditulis oleh rekan-rekan saya terdahulu di Komunitas Aleut. Dapat dibaca di sini dan di sini.

Vereeniging tot verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Koloniën
Jauh sebelum tahun 1900 di Amsterdam, Belanda, sudah ada sebuah perkumpulan yang hirau pada keadaan orang buta, namanya Vereeniging tot verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Koloniën (Perkumpulan untuk memperbaiki nasib orang buta di Belanda dan Jajahannya). Hingga saat itu, kegiatan perkumpulan ini hanya terbatas di negeri Belanda saja.
Pada tahun 1900, Bapak Lenderink, Direktur Institut Pendidikan Tunanetra di Amsterdam, menerbitkan sebuah brosur yang menyatakan dengan data-data bahwa jumlah tunanetra di Hindia sangat besar, namun tidak ada tindakan apa pun bagi mereka yang malang ini, dan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan buruk ini adalah dengan mendirikan suatu lembaga, yang pertama-tama, memberikan pendidikan kepada anak-anak Eropa yang buta atau yang statusnya disamakan dengan mereka, dan kedua, sebagai sekolah keterampilan bagi masyarakat pribumi.
Lenderink kemudian mengajukan permohonan kepada Menteri Koloni saat itu, J.F. Cremer, yang segera membentuk sebuah komisi di Hindia yang terdiri dari para pejabat tinggi dan warga sipil untuk menyelidiki apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki nasib orang buta di tanah jajahan ini. Namun komisi ini tidak pernah mengadakan pertemuan dan juga tidak menyusun laporan apa pun.
Pada bulan Juni di tahun yang sama, Dr. Westhoff, yang pantas disebut sebagai “sahabat para tunanetra”, mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal dengan permohonan agar pemerintah mempertimbangkan secara serius pendirian sebuah institut untuk orang buta di Bandung.
Saat itu, Residen Priangan belum memberikan rekomendasi yang mendukung pendirian tersebut, dan mengemukakan alasan-alasan yang kelak terbukti keliru. Ia menyatakan bahwa inisiatif pendirian institut lebih cocok dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan amal. Petisi ini pun akhirnya tidak dipenuhi.
Vereeniging tot verbetering van het lot der Blinden in Nederlands Indië
Sementara itu, perkumpulan di negeri Belanda menyediakan dana sebesar 10.000 gulden untuk memulai lembaga ini dalam skala kecil. Dr. Westhoff menerima tawaran pembentukan sebuah komite; ia pun berdiskusi dengan Residen Priangan, Jhr. Van Benthem van den Bergh, dan Pendeta Van Lingen, yang keduanya menyatakan kesediaan untuk membantu.
Setelah itu, dicari dukungan dan ditemukan dari orang-orang cukup berpengaruh, sehingga pada Mei 1901 dapat diadakan rapat yang kemudian mewujudkan pendirian Vereeniging tot verbetering van het lot der Blinden in Nederl. Indië (Perkumpulan untuk memperbaiki nasib orang buta di Hindia Belanda) mulai 1 Juli 1901 untuk jangka waktu 29 tahun. Bandung ditetapkan sebagai tempat kedudukan perkumpulan ini. Dalam kepengurusan ini, Jhr. Th. Van Bentehem van den Bergh menjabat sebagai ketua dan Dr. Westhoff terpilih sebagai wakil ketua. Lalu ada E.H. Carpentier Alting, seorang notaris, sebagai bendahara.
Para anggota perkumpulan tercatat nama-nama berikut: Raden Adipati Soeria Atmadja (Bupati Sumedang), J. Bouwens (Kepala Divisi II Staatsspoorwegen), C. Den Hamer (Inspektur Pendidikan Pribumi), A.K. Kerkhoven (pemilik perkebunan), dan Dr. W. van Lingen (pendeta, dan menjabat sebagai sekretaris).
Para pengurus juga memandang lebih baik untuk membentuk sebuah perkumpulan yang mandiri, daripada menjadi cabang dari perkumpulan induk di Belanda, dan meskipun kemandirian ini tidak sepenuhnya disukai oleh pengurus di Belanda, mereka tetap menyediakan sejumlah dana untuk mendirikan Institut Tunanetra tersebut.
Jalan Cicendo dan Braga sebagai Awal
Melalui keputusan pemerintah, anggaran dasar disahkan dan Perkumpulan pun diakui sebagai badan hukum. Dengan cara yang sangat sederhana, pada 16 September 1901 di Bandung, sebuah institusi dibuka di sebuah rumah di Jalan Tjitjendo, tempat di mana guru yang dikirim oleh Perkumpulan di negeri Belanda, Tuan J.W. van der Zanden, menerima murid pertamanya: Johanna Evendina Schutter, yang tak lama kemudian diikuti oleh Albert Borgerhof van den Bergh.
Karena jumlah tunanetra yang diterima meningkat hingga menjadi lima orang, maka pada Mei 1902 dirasa perlu untuk pindah ke rumah yang lebih luas di Jalan Braga. Di tempat baru ini lembaga tersebut beroperasi hingga 11 Juli 1903, yaitu ketika Institut Tunanetra yang sekarang diresmikan secara meriah dan juga diberkati. Tempat baru ini berdiri di atas tanah seluas 2 ¾ hektar, dan sudahlengkap dengan bengkel kerjanya.
Dimulai dengan 2 orang tunanetra di Cicendo, kini lembaga di Bandung, beserta bengkel kerjanya, telah memiliki 310 peserta didik yang tinggal di dalam (internat). Sebagian besar adalah kalangan pribumi yang datang dari berbagai penjuru Nusantara. Kebanyakan dari mereka ini mengalami kebutaan pada usia dewasa.



Menjelang Usia 40 Tahun
Dari sebuah catatan kunjungan ke Blinden-Instituut yang dibukukan dengan judul Een Bezoek aan het Blinden-Instituut te Bandoeng dan diterbitkan tahun 1940 bisa didapatkan gambaran situasi di Blinden-Instituut saat itu: Hacked By Tn.CatOfficial
“Marilah kita mengunjungi Institut Tunanetra di Bandung, yang terletak di Jalan Kerkhof Lama, kira-kira di pusat kota pegunungan ini; kunjungan ke lembaga ini tidak hanya akan sepenuhnya sepadan dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan, tetapi juga dapat memberikan kesan mendalam, yang akan memperkuat dan memperjelas rasa kasih sayang kita terhadap sesama, dan menjadi hukum Tuhan yang hidup dalam diri kita.”
“Institut Tunanetra di Bandung kini telah berusia lebih dari 39 tahun dan dikelola oleh “Perkumpulan untuk Perbaikan Nasib Tunanetra di Hindia Belanda”; lembaga ini didirikan pada tahun 1901atas inisiatif dan dengan bantuan dana dari perkumpulan serupa di Belanda.”
Lembaga ini kini menyediakan rumah tinggal bagi sekitar 600 orang tunanetra dari berbagai latar belakang suku bangsa, baik dewasa maupun anak-anak, laki-laki maupun perempuan, yang berasal dari berbagai daerah di Kepulauan Hindia.




Mereka tinggal di dua bagian lembaga ini, yaitu bagian Eropa dan bagian Pribumi. Bersama dengan rumah tinggal yang berhalaman itu, ada juga sekolah braille lengkap dengan perpustakaan braille, ruang rekreasi, bengkel kerja, dan sebagainya, sehingga membentuk sebuah kompleks yang luas.
Jumlah sekitar 600 tunanetra yang tinggal di dalam institut ini sebenarnya cukup kecil jika dibandingkan dengan ribuan tunanetra yang tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda.
De Indische Courant edisi 12 Maret 1941 membuat rincian jumlah yang disebut di atas, yaitu bahwa sampai tahun 1940 pada Bagian Eropa terdapat 40 pasien orang dewasa. Sedangkan di Bagian Pribumi ada 500 pasien dewasa dan 87 pasien anak-anak yang datang dari berbagai penjuru negeri, yaitu 143 orang dari Jawa Barat, 156 orang dari Jawa Tengah, 187 orang dari Jawa Timur, dan 14 orang dari daerah lainnya.
Koran edisi yang sama itu juga melaporkan kegiatan pertemuaan tahunan Perkumpulan untuk Peningkatan Nasib Tunanetra Hindia Belanda yang dilaksanakan pada hari Minggu sebelumnya. Pertemuan ini berlangsung di bawah pimpinan ketua perkumpulan, J.E. Jasper. Dalam sambutan pembukaannya, Jasper mengingatkan bahwa dalam beberapa bulan ke depan perkumpulan ini akan mencapai usianya yang ke-40. Disampaikan juga jasa para pendirinya, di antaranya disebut mendiang Dr. C.H.A. Westhoff, sang spesialis mata, dan tokoh terpandang di Bandung hingga saat itu, F.J.H. Soesman. Bersamaan dengan itu, Jasper mewakili para pengurus lembaga mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan peringatan yang akan datang dengan menyumbang dana dalam kelipatan 40, misalnya 40 sen, 40 dime, atau 40 gulden, dan kelipatan 40 selanjutnya. Semua sumbangan ini akan dibahas dalam laporan tahunan perkumpulan. ***
Semua foto di atas menggambarkan suasana dan kegiatan di dalam kompleks Het Blinden-Instituut dan diambil dari buku Geschiedenis van de Vereeniging tot Verbetering van het lot der Blinden in Ned Indie 1901-1926 dan Een Bezoek aan het Blinden-Instituut te Bandoeng, 1940.