Ngobrol Santai bareng Junghuhn dan Alfred Cup di Cinyiruan

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh Rieky Nurhartanto

Sangat senang rasanya bisa kembali menulis walaupun beberapa tulisan yang lain belum selesai wkwkwk. Pengalaman yang sangat berharga, bisa mengenal lebih jauh tokoh luar biasa dan pohon kinanya. Perjalanan ini memang bukan yang pertama bagi saya, karena sebelumnya saya sudah pernah mengunjungi kawasan tersebut. Semakin berharga lagi sehari sebelum perjalanan ini adalah hari yang sangat spesial bagi saya.

Di sini saya menulis petualangan bersama Komunitas Aleut, tapi dengan sedikit perbedaan, karena kali ini hampir semua pesertanya adalah kawan-kawan baru. Oh iya, belakangan ini Komunitas Aleut mengadakan sebuah kegiatan pelatihan untuk umum, yaitu Aleut Program Development (APD). Dalam kegiatan ini Aleut menyelenggarakan berbagai kegiatan secara intensif dengan tujuan pembelajaran dalam berbagai bidang umum yang ditujukan untuk angkatan atau generasi muda. Saya pribadi sih sangat senang sekali dengan program tersebut karena bisa belajar, sambil bertemu, dan mempunyai sahabat-sahabat baru.

Kegiatan momotoran ke Pangalengan ini sebenarnya merupakan sambungan dari hari Kamis sebelumnya, yaitu Kelas Menulis. Kata Bang Ridwan, pada hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2020, kami (para peserta APD 20) akan Ngaleut Momotoran ke wilayah Pangalengan-Ciwidey dengan masing-masing peserta mendapatkan tugas penulisan dengan tema yang berbeda-beda. Saya langsung merasa sangat senang sekali karena bisa kembali ke daerah favorit tempat saya niis, yaitu Pangalengan hehehe.

Oh iya, sebenernya pada hari Jumat-nya saya sudah merencanakan ingin membawa motor sendiri ke Pangalengan nanti, karena bagi saya lebih baik membonceng daripada dibonceng hahahahah. Biasanya kalo dibonceng lama-lama akan pegal pantat dan pegal pinggang juga, apalagi kalo dibonceng pake motor Beat wkwkwk. Saya sudah merencanakan akan membawa motor sepupu saya, karena saat ini kondisi motor saya kurang baik, kapas gandanya harus diganti dan akan terlalu riskan kalo tetap memaksakan memakainya. Tapi ternyata motor ternyata sepupu akan dipakai juga besok hari untuk bepergian bersama teman-temannya, tidak jadi deh membawa motor sepupu saya.

Saya segera saja memberitahu teman-teman di grup whatsapp bahwa besok saya tidak jadi membawa motor sendiri.  Agak sedikit sedih sih sebenarnya, tapi ya mau bagaimana lagi, untung saja dalam daftar pembawa motor besok ternyata masih cukup untuk membawa saya walaupun harus dibonceng.

Pada hari Sabtu, kami yang akan mengikuti Ngaleut Momotoran ke Pangalengan-Ciwidey diharuskan datang tepat waktu ke Rumah Aleut di Pasirluyu Hilir, yaitu pukul 07.00  teng. Saya bangun pukul setengah 6 pagi. Sebelum mandi, saya mempersiapkan dulu air panas yang akan dibawa dalam termos untuk bekal di perjalanan. Lumayan bisa untuk bikin kopi nanti di perjalanan. Bekal makanan saya persiapkan juga untuk makan siang nanti.

Setelah semuanya siap, kami diberi brefing singkat oleh Bang Ridwan dan Teh Rani tentang hal-hal teknis yang harus diperhatikan selama perjalanan nanti. Oh iya, sebenarnya ada dua kawan lain yang tidak ikut berkumpul di Rumah Aleut pagi itu, yaitu Reza dan Annisa, karena tempat tinggalnya masing-masing di Cilampeni dan di Ciwidey. Bang Ridwan menyuruh mereka untuk menunggu saja di kawasan Alun-Alun Banjaran.

Setelah semuanya siap, saya berpamitan kepada Ibu dan berangkat ke Rumah Aleut. Ternyata sudah ada beberapa kawan yang duduk-duduk di depan teras, di antaranya Adit dan Farly, sedangkan di dalam sudah ada Teh Rani dan Inas sedang sarapan, Oh iya seperti yang sudah saya sebutkan dalam tulisan saya yang pertama, Teh Rani ini adalah salah satu koordinator Aleut, sama seperti kang Ervan, yang kebetulan hari ini tidak bisa ikut momotoran. Bosan kali ya? Karena seminggu sebelumnya pun Komunitas Aleut baru saja mengadakan perjalanan ke Pangalengan hahahah.

Pukul 07.30 kami berangkat. Saya dibonceng oleh Adit. Tadinya saya kira Adit akan membawa motor Vespanya, ternyata tidak, dia malah membawa motor besar Nmax. Dalam hati saya sumringah, sebab kemungkinan besar kalo dibonceng pakai motor ini tidak akan merasakan sakit pantat dan pegal pinggang seperti yang saya rasakan waktu terakhir kali dibonceng oleh teman saya ketika Ngaleut Momotoran ke  Ciletuh. Benar saja, terbukti selama saya dibonceng oleh Adit, saya tidak merasakan pegal pantat atau pegal pinggang hahahah.

Saat rombongan APD 20 tiba di Alun-alun Banjaran. Foto: Aleut.

35 menit kemudian, kami sudah tiba di Alun-alun Banjaran dan bertemu dengan Reza dan Annisa. Langsung saja kami melanjutkan perjalanan ke arah Cimaung.

Tak berapa lama, rombongan berhenti di dekat sebuah jembatan. Ternyata kami diminta untuk mengamati kawasan pergunungan yang terlihat di sisi kiri dan kanan jalan, yaitu kompleks Gunung Tilu di sebelah kanan, dan kompleks Gunung Malabar di sebelah kiri.

Dari situ kami baru berhenti lagi di sebuah pertigaan yang ada plang dengan tulisan Perkebunan Teh Kertamanah. Lalu mengambil jalan sebelah kiri yang lebih kecil dibanding jalan utama dan tampak becek juga bekas hujan.

Di sini saya terkenang satu perjalanan lain bersama Komunitas Aleut juga, yaitu Ngaleut Momotoran ke Situ Malabar. Saya merasa waas pisan hehehe, jadi kangen juga dengan kawan seperjalanan waktu itu, Teh Yasna, kang Akay, Mangir, dll, hehehehe.

Plang yang bikin waas pisan di Kertamanah. Foto: Aleut.

Tidak sampai 15 menitan rombongan motor berbelok ke sebelah kiri memasuki sebuah lapangan kosong. Di belakang lapangan ini ada sebuah tugu, yaitu Tugu Peringatan 100 Tahun Kina yang penanamannya dipelopori oleh Franz Wihelm Junghun, seorang dokter berdarah Jerman. Dahulu, lokasi keberadaan tugu kina ini tidak bernama Kertamanah, melainkan Cinyiruan. Setelah masa kemerdekaan, wilayah kebun Cinyiruan dibagi-bagi ke dalam beberapa perkebunan yang berdekatan dengan kebun lainnya, di antaranya Kertamanah, Malabar, dan Pasirmalang. Menurut Mang Alex, dulu di sekitaran Tugu Kina tersebut memang terhampar luas perkebunan kina, tapi belakangan ini sudah tidak ada lagi kina di sini. Kata Mang Alex, kalau mau mencari mungkin masih ada jejak-jejak pohon kina di kawasan perbukitan tak jauh dari sini, di antaranya di sekitaran makam Alfred Cup.

Tugu kina dan Lapangan Cinyiruan. Foto: Aleut.

Tentang Franz Wihelm Junghuhn yang lahir pada tanggal 26 Oktober 1809 dan wafat pada 24 April 1864 di Lembang, Mang Alex cerita bahwa makamnya masih ada dan cukup terawat di kawasan Jayagiri, Lembang. Konon bagi Junghuhn, hutan-hutan di Hindia Belanda ini seperti surga saja baginya. Selain merintis penanaman kina, Junghuhn juga memiliki beberapa keahlian lain yang dikembangnya sendiri, di antaranya sebagai seorang botanikus, geolog, fotografer, penulis, pelukis, dan lain-lain.

Tanaman kina yang dikembangkan oleh Junghuhn ditanam pula di banyak tempat di Priangan, seperti di Cibodas, Bukittunggul, di gunung-gunung sebelah utara Bandung, dan lain-lain. Bahkan pada satu waktu, produksinya sampai menyuplai 90% kebutuhan kina di dunia. Cinyiruan ada pula didaerah Bukit Unggul, Cibodas Maribaya Bandung Utara, disaat itu produksi Kina Priangan bisa menyuplai 90% kebutuhan Kina dunia.

Tadi sudah disebutkan ada nama Alfred Cup, atau lengkapnya, Gerarld Alfred Cup, yang makamnya ada di atas bukit sana. Saya mencoba informasi lebih banyak tentang tokoh ini, namun sepertinya sedikit sekali info tersedia di internet. Kebanyakan hanya info-info mistis saja. Kata Mang Alex, Alfred Cup atau sering dipanggil Tuan Kap, datang ke Hindia Belanda di awal tahun 1900-an dan sempat mengelola Perkebunan Kina Cinyiruan.

Lain kali bila saya berkesempatan kembali lagi ke daerah Cinyiruan mungkin saya akan mengunjungi makam tesebut dan sepuh-sepuh lokal yang masih dapat ditemui untuk mendapatkan cerita lebih banyak tentang Tuan Kap dan perannya di Perkebunan Kina Cinyiruan.

Di seberang area tugu kina masih dapat dilihat berjejer rumah-rumah bedeng, yang dulu ditempati oleh para pekerja perkebunan kina. Para peserta APD 20 diberi waktu sekitar 10 menit untuk eksplorasi kawasan ini. Kawan-kawan menyebar ke berbagai arah yang berbeda walaupun umumnya tidak terpencar terlalu berjauhan. Kami harus selalu dalam keadaan siap bila rombongan tiba-tiba akan berangkat lagi melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat lainnya.

Rumah-rumah pegawai perkebunan di seberang Tugu Kina Cinyiruan. Foto: Aleut.
Kiri: Gapura Cinyiruan. Kanan: Para peserta APD 20 saat melakukan pengamatan lapangan. Foto: Aleut.

Setelah dirasa cukup mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan serta membuat beberapa dokumentasi, baik foto atau video untuk tugas penulisan nanti, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi berikutnya yang juga masih berhubungan dengan sejarah penanaman kina di Pangalengan. Tapi sebelumnya, kami berhenti sebentar di depan Rumah Pengabdi Setan yang sebetulnya tidak seseram seperti digambarkan dalam film itu. Di sini ternyata bukan cerita tentang hantu-hantu yang kami dapatkan, melainkan beberapa cerita tentang rangkaian gunung yang ada di depan kami, Windu-Wayang-Bedil, serta tentang sumber panas bumi Wayang-Windu yang asap tebalnya selalu terlihat sepanjang perjalanan di Kertamanah ini.

Sementara ini saja yang dapat saya tuliskan, semoga akan bersambung dengan tulisan lainnya tentang kawasan Cinyiruan/Kertamanah, Tugu Kina Junghuhn, dan Tuan Kap.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *