Mashudi dan Siti Munigar
Oleh: Irfan Pradana Putra
Kalau saja tidak berjumpa dengan penghuni rumah Irama, kemungkinan besar saya tidak akan tahu kalau bangunan modern di depan rumah Irama dahulunya merupakan rumah yang punya cerita sejarah.

Siang itu matahari cukup terik, namun saya dan kawan-kawan yang sedang Ngaleut Siti Munigar cukup beruntung diperbolehkan berteduh sebentar sambil ngobrol bersama salah satu penghuni rumah yang gaya bangunannya terlihat cukup antik. Kami sebut sebagai Rumah Irama, karena di bagian atas tembok depan rumahnya ada relief tulisan “IRAMA”.
Penghuni rumah yang saya maksud adalah Pak Atep. Ternyata ia juga cukup tertarik pada cerita-cerita seputar sejarah Bandung, jadi lumayanlah isi obrolannya, bisa menambah wawasan. Tulisan yang lebih spesifik mengulas tentang rumah Irama bisa dibaca melalui tautan ini.
Di tengah penceritaan telunjuk Pak Atep mengarah ke rumah bertingkat uang terletak di seberang jalan. Sebuah bangunan dua lantai yang kini difungsikan sebagai kos-kosan. Menurut penuturannya dahulu bangunan itu merupakan kediaman dari Mashudi, Gubernur Jawa Barat yang menjabat selama periode 1960-1970.

Wujud asli bangunannya sudah berubah total, berganti menjadi bangunan modern yang menurut Pak Atep baru dilakukan dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini. Benar saja, saat saya mencoba memeriksa menggunakan google street view, terlihat bentuk bangunan yang sama sekali berbeda pada tahun 2019. Itu pun masih agak meragukan, sepertinya juga bukan bangunan asli dari masa kolonial, karena katanya Mashudi sudah tinggal di rumah itu sejak masa ia kuliah di THS (sekarang ITB).

Berdasarkan artikel Sekitar Bandung Lautan Api: Mashudi , Ternyata Mashudi bukan asli warga daerah Siti Munigar. Dari sebuah tulisan yang baru saja dipublikasi di website Komunitas Aleut itu disebutkan bahwa Mashudi dilahirkan di Cibatu tahun 1919, namun keluarganya yang pedagang datang dari Tasikmalaya. Lebih ke belakang lagi, ternyata berasal dari keluarga pengusaha batik dari Pekalongan.
Setelah lulus pendidikan menengah yang ditempuh di Yogyakarta, Mashudi ke Bandung untuk kuliah di THS (ITB) dan tinggal bersama kakaknya, Bandi, seorang kontraktor yang sudah memiliki rumah di Gang Siti Munigar.
Mashudi gemar dan aktif berorganisasi, salah satunya, mengikuti Jeugd Organisatie Paseondan, yang di dalamnya juga ada Oto Iskandardinata. Selain berorganisasi, Mashudi juga menyukasi kegiatan olah raga, terutama bola keranjang. Semula saya kira yang dimaksud adalah sepak takraw, tapi setelah browsing tentang istilah bola keranjang yang populer pada masa itu, ternyata ketemu istilah korfball.


Kegiatan lain yang menjadi kesukaan Mashudi adalah berenang dan menari Sunda. Untuk kegiatan yang terakhir ini bahkan sempat beberapa kali tampil di Societeit Concordia dan dalam kegiatan pameran tahunan Jaarbeurs.
Saat Jepang datang menduduki wilayah Indonesia, kondisi keuangan keluarga Mashudi saat itu mengalami kesulitan, sehingga ia harus berhenti dari kuliahnya di THS. Untuk bertahan hidup, ia membuka sebuah warung di Keboncau I, dekat Pasar Kosambi. Di Siti Munigar, ia membuat sabun dengan bahan merang dan kaustic soda, lalu titip jual di warung-warung sekitar tempat tinggalnya.

Bakat dagang keluarga turun juga ke Mashudi, ia melihat peluang untuk menjual kayu bakar di Bandung karena saat itu kebutuhannya cukup tinggi. Kamp-kamp interniran Jepang membutuhkan banyak kayu bakar untuk kebutuhan memasak. Mashudi mulai mengkoordinasikan para pengusaha kayu bakar, mulai dari yang terdekat dengan Bandung, sampai ke Bogor dan Banjar. Kayu yang dicarinya dari pohon teh dan karet, atau kayu gunung lainnya. Permintaan pengadaan kayu juga bertambah dari para pengusaha kapur dan batu bata. Setiap harinya Mashudi bisa mengangkut antara 10 sampai 15 gerbong kayu bakar.
Stadion Siliwangi dan TMP Cikutra
Setelah kekuasaan Jepang runtuh dan berlanjut dengan masa peperangan revolusi kemerdekaan, Mashudi juga aktif bergerak bersama para pemuda pejuang lainnya. Ikut bergerilya di pedalaman Priangan sampai bergabung dengan Divisi Siliwangi di bawah kepemimpinan A. H. Nasution.
Setelah masa peperangan, Mashudi bertugas sebagai Asisten Logistik Kodam III Siliwangi. Pada tahun 1953, Mashudi meminta kepada seluruh pasukan Siliwangi untuk menyisihkan sebagian upah mereka yang nantinya akan digunakan untuk membangun Stadion Siliwangi.
Mashudi juga meminta insinyur lulusan THS, Suhamir, untuk merancang kompleks Taman Makam Pahlawan Cikutra. Hasil gambarnya ditunjukkan kepada Presiden Sukarno ketika sedang berkunjung ke Bandung. Sukarno berpesan agar kompleks itu ditanami oleh pohon beringin dari Bali. Pemimpin pembangunan TMP dijabat oleh Ir. Djie dengan Sofyan sebagai Ketua Pelaksana.
Setelah masa peperangan itu, Mashudi tidak lagi tinggal di Siti Munigar. Mula-mula ini mendapatkan rumah di Ciumbuleuit, kemudian pindah ke Jalan Karangsari No.21. Rumah yang terakhir dirasakan oleh Mashudi membawa kesialan, sehingga memutuskan untuk pindah lagi, kali ini ke Jalan Westhoff.
Mashudi kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat melalui penunjukan langsung oleh Presiden RI pada tahun 1960, dengan Wakil Gubernur Astrawinata dari Partai Komunis Indonesia. Mashudi menjalankan jabatannya selama dua periode hingga digantikan oleh Solihin GP pada tahun 1970. ***