Kalau saja tidak berjumpa dengan penghuni rumah Irama, kemungkinan besar saya tidak akan tahu kalau bangunan modern di depan rumah Irama dahulunya merupakan rumah yang punya cerita sejarah.
Lokasi rumah tinggal Mashudi bersama kakaknya di Gang Siti Munigar. Bentuk bangunan sudah berubah total. Foto: Komunitas Aleut
Siang itu matahari cukup terik, namun saya dan kawan-kawan yang sedang Ngaleut Siti Munigar cukup beruntung diperbolehkan berteduh sebentar sambil ngobrol bersama salah satu penghuni rumah yang gaya bangunannya terlihat cukup antik. Kami sebut sebagai Rumah Irama, karena di bagian atas tembok depan rumahnya ada relief tulisan “IRAMA”.
Penghuni rumah yang saya maksud adalah Pak Atep. Ternyata ia juga cukup tertarik pada cerita-cerita seputar sejarah Bandung, jadi lumayanlah isi obrolannya, bisa menambah wawasan. Tulisan yang lebih spesifik mengulas tentang rumah Irama bisa dibaca melalui tautan ini.
Di tengah penceritaan telunjuk Pak Atep mengarah ke rumah bertingkat uang terletak di seberang jalan. Sebuah bangunan dua lantai yang kini difungsikan sebagai kos-kosan. Menurut penuturannya dahulu bangunan itu merupakan kediaman dari Mashudi, Gubernur Jawa Barat yang menjabat selama periode 1960-1970.
Foto Mashudi yang saya dapat dari Wikipedia
Wujud asli bangunannya sudah berubah total, berganti menjadi bangunan modern yang menurut Pak Atep baru dilakukan dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini. Benar saja, saat saya mencoba memeriksa menggunakan google street view, terlihat bentuk bangunan yang sama sekali berbeda pada tahun 2019. Itu pun masih agak meragukan, sepertinya juga bukan bangunan asli dari masa kolonial, karena katanya Mashudi sudah tinggal di rumah itu sejak masa ia kuliah di THS (sekarang ITB).
Di sebrang Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jalan Ibu Inggit Garnasih No.8, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, ada sebuah jalan kecil yang mungkin lebih cocok disebut gang, namanya Jalan Siti Munigar. Jalan ini berujung di sebelah utara dan bertemu dengan jalan besar Pasirkoja. Panjangnya sekitar 400-500 meter saja.
Gang Siti Munigar dilihat dari sisi selatan, sebelum dan sesudah program perbaikan kampung. Foto: KITLV 157039 & 157040, antara 1929-1930.
Rumah Irama. Foto: Google Maps.
Beberapa hari lalu, dalam perjalanan pulang dari Makam Pandu ke Pasirluyu, kami sengaja melewati jalan kecil ini untuk melihat beberapa hal yang mungkin selama ini terlewatkan. Tak jauh setelah masuk Jalan Siti Munigar dari arah Pasirkoja, ada sebuah rumah yang terlihat sangat unik, bangunannya masih memperlihatkan gaya kolonial dan di beberapa bagian temboknya, ada relief simbol-simbol musik serta tulisan “IRAMA”. Menurut beberapa informasi lisan, rumah ini dulu pernah difungsikan sebagai hotel atau penginapan, tapi dari pencarian dalam buku-buku baheula belum ketemu ada nama hotel Irama.
Lebih ke dalam, kami melihat ada sebuah kompleks permakaman dengan tulisan pada pintunya “Makam Ahli Waris H. St. Chapsah Durasid”. Dari arsip kami, Komunitas Aleut sudah mengunjungi kompleks makam ini beberapa kali sejak 2009. Disebutkan bahwa makam ini milik keluarga pedagang Pasar Baru, sama seperti beberapa kompleks makam Keluarga Pasar lainnya yang keberadaannya di tengah Kota Bandung.
Nama jalan Siti Munigar ini cukup unik dan jarang ditemukan sebagai nama orang, selain nama ibunda tokoh tari, R. Tjetje Somantri seperti yang tertulis dalam buku karya Endang Caturwati, R. Tjetje Somantri (1892-1963); Tokoh Pembaharu Tari Sunda (Tarawang, Yogyakarta, 2000).
Tjetje lahir di Wanayasa tahun 1892. Nama aslinya adalah R. Rusdi Somantri Kusumah, ayahnya adalah Patih Purwakarta, R. Somantri Kusumah yang wafat ketika Tjetje masih dalam kandungan ibunya, Nyi R. Siti Munigar. Dari sumber lain ada keterangan bahwa Siti Munigar adalah orang Bandung, namun tidak dijelaskan dari daerah mana persisnya. Tidak ada keterangan lain dalam buku itu tentang Tjetje Somantri atau ibunya yang mungkin berhubungan dengan nama jalan Siti Munigar di Bandung. Di bawah ini kami coba sampaikan beberapa cerita Siti Munigar sebagai nama tokoh dan nama jalan. Dari semua cerita ini, sebenarnya belum ada kejelasan dari mana asal nama Siti Munigar yang digunakan sebagai nama jalan (atau gang) yang terletak di Astanaanyar (Kelurahan Nyengseret) ini. Ya paling tidak sekadar menyediakan bahan bacaan yang berhubungan dengan nama jalan itu.
SITI MOENIGAR SEORANG PEREMPUAN INDO
Tadi malam, 7 Januari 2024, 20:30, di laman facebook Salakanagara terbaca lagi tulisan lama Aan Merdeka Permana dalam bahasa Sunda dengan judul Riwayat Ngaran Jalan Siti Munigar yang dipost tanggal 31 Juli 2013. Di sini, Siti Munigar adalah nama tokoh utama yang diceritakan. Ringkasannya dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini:
Siti Munigar adalah nama putri Reindent van Hos’t Munigar’eun, seorang Belanda, yang sering memberikan teori kemiliteran kepada para nonoman Bandung pada masa antara 1920-1925. Ibunya bernama Siti Maesonah Munigar dan berasal dari Tasikmalaya. Siti Munigar ngaku, “Naha da masing boga bapa Belanda ogé ari haté mah Sunda, jadi teu kudu anéh mun loba reureujeungan jeung sasama urang Sunda.”
Karena ia melihat banyak orang Sunda yang masih buta huruf, ia mengajari mereka baca tulis, bahkan sampai ke memberikan pelatihan militer pula. Pengetahuan kemiliteran Siti Munigar didapat dari ayahnya yang sering dibawa oleh kakeknya untuk melihat latihan-latihan militer.
Pada usia 26 tahun Siti Munigar menikah dengan Sumardi Angkawijaya, sesama orang Tasikmalaya. Ketika tinggal di Tasikmalaya, pasangan suami istri ini sering mengumpulkan para pemuda untuk diberikan wawasan kebangsaan dan kesadaran tentang tujuan hidup. Sekali waktu kumpulan ini pernah digerebeg oleh pasukan Belanda, sehingga mereka melarikan diri ke Pekanbaru, Riau. Siti Munigar dapat pulang kembali ke Bandung karena ayahnya yang punya pengaruh di dunia militer. Ia mendatangi kantor ayahnya di belakang Alun-alun.
Ayahnya mengurung Siti Munigar di rumah, tidak boleh keluar, sehingga ia hanya bisa berkirim surat saja dengan para pemuda Bandung. Kebetulan salah satu pembantu ayahnya adalah seorang mata-mata pejuang. Keberadaan Siti Munigar di Bandung akhirnya diketahui pihak Belanda sehingga ia dipenjarakan di Banceuy selama dua tahun.
Di dalam penjara, ia bertemu dengan Abah Uyut, seorang jago maenpo Betawi yang dibuang ke Bandung, dan ia belajar ilmu bela diri itu kepadanya. Siti Munigar tidak sempat lama mengasuh kedua anaknya, Radin Angkawijaya dan Sumiati. Ia terpisah dari suaminya di Pekanbaru, bahkan sulit pula bertemu dengan ayahnya.
Saat berusia 39 tahun Siti Munigar mengalami sakit berat setelah mendengar suaminya wafat di pembuangan. Tidak ada keterangan jelas bagaimana suaminya menemui ajal, ada yang bilang ditembak. Setelah setahun, Siti Munigar wafat dan dimakamkan di kampung halaman ibunya di Tasikmalaya sesuai dengan pesannya sebelum wafat. Kata orang, ia dimakamkan di Cintaratu, Tasikmalaya. Nama jalan tempat ia tinggal sedari kecil hingga wafatnya sekarang dinamakan Jalan Siti Munigar.
Kami cukup kesulitan mencari informasi lain yang dapat dijadikan bandingan untuk cerita di atas. Hal ini diakui juga oleh penulisnya, bahwa cerita ini berdasarkan keterangan-keterangan lisan saja yang dikumpulkan dari sana-sini. Tidak ada informasi tertulis.
R. DEWI SITI MUNIGAR DI SUKAPURA
Masih berhubungan dengan daerah Tasikmalaya, kami temukan satu tulisan dengan judul Kisah Heroik Srikandi Sukapura, R. A. Dewi Siti Munigar yang diunggah di sini. Dikisahkan betapa minimnya informasi tentang tokoh ini padahal beliau meiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan sejarah awal Sukapura. Ringkasannya, semoga tidak meleset, kira-kira seperti ini:
Pada masa pembentukan Kabupatian Sukapura yang dipimpin oleh R. Wirawangsa (atau Wiradadaha I atau Dalem Baganjing) dalam rentang tahun 1632-1674, terdapat penasihat utama yang bernama R. Dewi Siti Munigar yang memiliki beberapa nama lain, di antaranya Nyi Raden Katibun Mantri, Katibun Rajamantri, Balung Tunggal, dan Nyi Rambut Kasih. Di masa itu Dewi Siti Munigar adalah satu-satunya perempuan yang memiliki ilmu sangat tinggi, ia juga seorang yang arif dan bijaksana, dan karena itu sering dimintai pendapat oleh R. Wirawangsa bila negerinya mengalami keadaan genting.
Salah satu keturunan Dewi Siti Munigar, Encang Supriatna yang saat itu (2018) menjabat sebagai Kepala Desa Leuwibudah, menyebutkan bahwa banyak petilasan yang berhubungan dengan Sang Srikandi, di antaranya di Harjawinangun (Manonjaya), Desa Leuwibudah, dan di Makam Baganjing. Selain itu beliau juga membangun parit di Leuwibitung dan persawahan di Babakan Cimanggu yang sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Konon pada masa itu Dewi Siti Munigar tinggal di Babakan Cimanggu yang terletak di sisi sungai Cimawate dan merupakan kampung tertua di kawasan itu.
Tentang kesaktiannya, dikisahkan pada saat Kabupatian Sukapura pindah ke Empang (Sukaraja), diadakan kegiatan munday – menangkap ikan dengan tangan yang dilakukan beramai-ramai – di Sungai Ciwulan. Dewi Siti Munigar membendung sungai itu hanya dengan menggunakan sehelai rambut panjangnya (dalam mitos lain disebutkan rambut larangan-nya). Selanjutnya disebutkan bahwa Dewi Siti Munigar pun berjasa dalam memenangkan pertempuran antara Sukapura dengan Sumedang. Namanya mengharum dan menyebar sampai ke Bandung, sehingga diabadikan pada sebuah jalan protokol di Nyengseret, Astanaanyar, Bandung.
Ya begitulah kira-kira isi ceritanya… (diakses 09-01-2024, 14:11)
AMIR HAMZAH DALAM EPISODE BUKIT PARJI DAN KENDIT BIRAYUNG
nama Siti Munigar kami temukan lagi dalam buku Ensiklopedi Sastra Sunda yang disusun oleh tim terdiri dari Yus Rusyana, Iskandarwassid, dan Wahyu Wibisana (Depdikbud, Jakarta, 1997). Dalam buku ini ada dua lema yang menyebut nama Siti Munigar, pertama dalam Bukit Parji dan kedua dalam Kendit Birayung. Kedua lema adalah judul dua naskah Sunda yang berhubungan dengan cerita yang sama, yaitu tentang Amir Hamzah
Bukit Parji: Dalam naskah ini diceritakan Raja Nursewan, yang memerintah Puser Bumi, meninggalkan kerajaannya bersama dengan Patih Bastak. La melarikan diri karena takut pembalasan dari Raja Amir Hamzah, menantunya. Raja Nursewan telah membunuh anaknya sendiri, istri Amir Hamzah yang bernama Siti Munigar, dengan racun. Ia amat marah karena anaknya itu masuk Islam mengikuti agama yang dianut suaminya.
Kendit Birayung: Raja Malang Sumirat bermimpi melihat sepasang cahaya dan banjir besar melanda negerinya. Oleh Patih Tangulun mimpi tersebut ditafsirkan sebagai pertanda akan datangnya bahaya. Untuk menghadapi bahaya itu, raja segera memerintahkan semua pembesar negeri agar selalu waspada.
Tiba-tiba datanglah tiga orang tamu, yaitu Raja Nursewan dari Kerajaan Medayin, Patih Bastak, dan Patih Nirman. Mereka bermaksud meminta pertolongan karena akan menyerang negara Arab. Raja Nursewan berjanji bahwa apabila permohonannya dikabulkan, ia akan menyerahkan putrinya yang bernama Siti Munigar. Janji Patih Bastak ialah jika musuhnya yang bernama Umarmaya, menantunya, dapat ditumpas, ia bersedia mengabdi kepada Sang Raja.
Selain yang sudah disebutkan di atas, mungkin masih ada Siti Munigar lainnya yang berupa nama diri, tapi belum kami temukan keberadaannya di jagad internet, jadi sementara itu saja dulu.
NAMA ALAMAT
Sebagai nama alamat, dapat ditemukan lebih banyak informasi, apalagi usia ruas jalan ini sepertinya jauh lebih panjang ketimbang yang disebutkan dalam cerita Aan Merdeka Permana. Tulisannya memang tidak menyebutkan angka tahun, tapi penyebutan para pemuda dan pejuang menyiratkan kurun waktu pada masa revolusi kemerdekaan juga.
Ruas jalan Siti Munigar dalam peta Kaart van de Hoofdplaats Bandoeng en Omstreken buatan Dinas Topographische Bureau v/d Generalenstaf, Batavia, 1882, dari natinaalarchief.nl. Peta ini tidak mencantumkan nama-nama jalan, hanya nama daerah.
Peta Kaart van Bandoeng yang dicetak oleh G. Kolff en Co. Weltevreden dengan keterangan tahun 1926 mencantumkan nama Gang Sitimoenigar.
Dari potongan dua buah peta di atas terlihat bahwa ruas jalan yang akan menjadi Jalan Siti Munigar sudah ada dalam peta produksi tahun 1882. Jalan itu juga terpetakan pada tahun-tahun berikutnya namun umumnya tanpa keterangan nama jalan, baru pada tahun 1926 tercantum keterangan nama jalan Gang Sitimoenigar. Tentu ini tidak lantas berarti bahwa sebelum 1926 belum ada nama jalan Siti Munigar, yang pasti mah kami belum menemukan peta-peta lain yang dibuat sebelum tahun 1926 yang mencantumkan keterangan nama jalan Siti Munigar.
BANDUNG BAHEULA – R. MOECH. AFFANDIE
Cerita lain yang sepertinya pernah cukup populer di Bandung baheula, kami dapatkan dari buku legend berjudul Bandung Baheula, karangan R. Moech. Affandie Jilid 2 (Guna Utama Bandung, 1969). Cerita yang menyinggung nama jalan Siti Munigar dalam buku ada dalam tulisan berjudul Teu Njana Jen Ririwana:
Kisah ini terjadi pada zaman kolonial, tentang seorang pemuda bernama Ijaji yang terpikat oleh seorang dara keturunan saudagar Palembang yang kaya raya, bernama Nyayu Patimah,. Ijaji yang merasa tidak sepadan dengan keluarga dara tersebut hanya bisa memendam perasaan tanpa pernah mengutarakan isi hatinya pada sang dara. Ijaji memutuskan mencoba mencari peruntungan dengan merantau ke Tasikmalaya.
Setelah sekian lama tinggal di Tasikmalaya, Ijaji kembali ke Bandung dengan niatan untuk menonton satu pergelaran yang sedang berlangsung di Jaarbeurs. Malam itu nasib baik sedang berpihak pada Ijaji, pulang dari gelaran tersebut Ijaji bertemu dengan dara pujaan hatinya. Sang dara bercerita bahwa dia sekarang tinggal sendirian di satu rumah baru. Merasa khawatir dengan sang dara, Ijaji menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Ijaji merasa keberuntungannya belum berakhir karena setelah sampai rumah, sang dara malah menawarinya untuk menginap saja.
Ijaji yang sedang dimabuk asmara merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena akan menghabiskan sisa malam dengan dara pujaan hatinya selama ini. Singkat cerita, Ijaji berbaring terlebih dahulu, masih sempat dia saksikan sang dara menyelimutinya sampai akhirnya tertidur. Entah berapa lama Ijaji tertidur. Ijaji mulai setengah terjaga saat rasa dingin menghinggapi tubuhnya. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya mencoba mencari selimut. Namun yang didapatinya adalah tanah basah dan lunak. Ijaji sontak membuka mata dan mendapati dirinya dalam keadaan tak berpakaian serta berada di atas sebuah kuburan.
Dengan tak mempedulikan keadaan sekitar, Ijaji kemudian berlari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Untunglah saat itu gelap dan sepi, tak ada yang memperhatikan Ijaji berlari telanjang. Setiba di rumahnya di daerah Cibadak, hari sudah menjelang subuh. Ijaji langsung mengetuk pintu rumahnya yang dibukakan oleh ayahnya. Melihat keadaan anaknya yang tak biasa, ayahnya menanyai Ijaji. Mendengar cerita anaknya, terkejutlah seisi rumah.
Ayah Ijaji bercerita bahwa Nyanyu Patimah, pujaan Ijaji itu, sudah meninggal beberapa waktu lalu. Nyayu Patimah dinikahkan dengan pria pilihan keluarganya. Konon Patimah tak merasa bahagia dengan pernikahannya. Tak lama setelah pernikahannya, Nyayu Patimah meninggal secara tiba-tiba dan dimakamkan di permakaman keluarga di Siti Munigar.
Pagi harinya Ijaji mendatangi komplek makam keluarga keturunan Palembang di Siti Munigar. Ijaji mendapati pakaiannya teronggok di sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama Nyayu Patimah.
Ceritanya lumayan bikin muringkak bulu punuk walaupun tidak jelas apakah kisah ini benar terjadi atau hanya rekaan penulisnya, atau mungkin juga berdasar pada dongengan yang memang hidup dalam masyarakat baheula. Yang pasti memang ada kompleks makam keluarga di dalam jalan kecil Siti Munigar seperti yang sudah ditulis di atas. Mengenai keberadaa saudagar keturunan Palembang itu kami dapatkan juga dari sebuah artikel dalam Majalah Risalah edisi bulan Oktober 2021 berjudul Kiagus H. Anang Thajib; Tokoh Penting Persis yang Terlupakan yang ditulis oleh Pepen Irfan Fauzan. Disebutkan di situ bahwa Kiagus H. Anang Thajib menghibahkan tanah dan bangunan miliknya di Gang Siti Munigar kepada ustaz Abdurrahman. Belakangan, setelah dipugar bangunan itu dijadikan kantor Majalah Risalah.
Makam Keluarga di Jalan Siti Munigar Bandung. Foto: Komunitas Aleut, 2013.
Gang Kuburan di Siti Munigar, sesudah dan sebelum program perbaikan kampung (kampong-verbetering). Foto: KITLV 157038 & 157037, antara 1929-1930.
MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN
Nama Jalan Siti Munigar beberapa kali disebutkan dalam buku biografi Mashudi; Memandu Sepanjang Masa (Yayasan Universitas Siliwangi, 1998) karena kakaknya, Bandi, memiliki rumah di sana. Rumah ini sempat berfungsi sebagai markas para pemuda pejuang pada masa revolusi kemerdekaan.
Lulus AMS tahun 1941, Mashudi melanjutkan pendidikan tingginya di THS (ITB) Bandung. Ia tinggal bersama kakaknya, Bandi, yang sudah punya rumah sendiri di Jalan Siti Munigar. Kakaknya adalah seorang aanemer yang hidupnya sudah berkecukupan. Ia yang memborong pembangunan rumah-rumah di daerah Ciahurgeulis. Kang Udi, kakaknya satu lagi yang juga tinggal bersama, adalah pegawai Dinas Koperasi Bandung.
Mashudi membuka warung JOP di Jalan Pungkur sambil membuat sabun untuk dijual di rumah Jalan Siti Munigar. Rekan-rekan lainnya ada yang berjualan buku dan membuat rokok dengan merek Gayanti. Usaha di Kebon Cau kemudian memanfaatkan peluang berjualan kayu bakar dengan mengelola para pengusaha kayu bakar yang ada. Saat itu kebutuhan kayu bakar cukup tinggi, misalnya untuk kebutuhan di kamp interniran di Cihapit yang menampung 20-30 ribu orang, atau untuk pembakaran kapur dan bata.
Pada masa revolusi, saat situasi di kota Bandung berkembang menjadi intense, pasukan-pasukan BKR bersembunyi di sana-sini, sementara rakyat membantu dengan menyediakan dapur-dapur umum, termasuk di rumah kakak Mashudi di Siti Munigar. Kakak tertuanya, Ceu Apipah, mengatur kelompok puteri untuk memasak makanan dan kemudian dibagikan ke anggota pasukan perjuangan yang tersebar di sektarnya, seperti di markas Kebon Cau atau di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika).
Cerita lain datang dari Achmad Wiranatakusumah yang setelah berhasil lolos dari tawanan Jepang datang ke Jalan Siti Munigar. Achmad menyebut di sana ada tempat berkumpulnya Pemuda Republik Indonesia (PRI – yang kemudian menjadi Pesindo – Pemuda Sosialis Indonesia). Mashudi, pemimpin PRI menyarankan agar Achmad keluar kota menyusun kekuatan. Achmad membongkar tempat penyembunyian senjatanya di waktu lalu dan mengumpulkannya di Jalan Kepatihan No.9. Achmad mengumpulkan beberapa anggota eks Padjadjaran Jeugd Troep yang ketika itu sudah banyak bergabung dengan Polisi Tentara di Pajagalan di bawah pimpinan Harjo. Baca https://komunitasaleut.com/2023/04/05/sekitar-bandung-lautan-api-achmad-wiranatakusumah-bagian-1/
Mengenai rumah yang sama, dikisahkan juga oleh Tatang Endan dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Sunda, Bandung Lautan Api: Puncakna Perjoangan Rakyat Bandung Ngalawan Sekutu (2005). Kami kutipkan dua paragraf yang menyebutkan nama jalan itu:
Anu ngurus ompreng pasukan kuring harita teh Tjeu Apip Alm_.(rakana Pak Mashudi) di JI. Siti Munigar. Tapi dasar hanta mah enya-enya kuring sabatur-batur teh bolon meureun, kilangbara milu mikir sakumaha capena jeung beuratna tanggung-jawab nyadiakeun ompreng unggal poe keur ratusan parapajoang di Bandung.
Di kota Bandung harita aya sababaraha “dapur umum” anu diurus ku para pajuang wanita, diantarana “dapur umum’ di Jalan Siti Munigar anu dipingpin ku Ceu Apip, (rakana Letjen Purn. DR. H .. Mashudi Alm.) dibantuan ku para pajuang putri, maha siswi jeung siswi sakola lanjutan di Bandung. Sapopoena nyadiakeun teu kurang ti 400 ompreng pikeun para pajuang. Sok sanajan ari menuna mah saaya-aya, aya endog jeung endog, aya buncis jeung angeun buncis, sakapeung-kapeungeun jeung daging sanajan, ngan saukur daging kuda.
BABAD SUMEDANG
Dalam buku Empat Sastrawan Sunda Lama yang ditulis oleh sebuah tim beranggotakan Edi S. Ekadjati,A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, Aam Masduki, dan Rosyadi (Depdikbud,Jakarta, 1994/95), ada nama Munigar, tapi tanpa Siti. Nama ini muncul satu kali saja dalam bahasan tentang Babad Sumedang. Berikut ini salinan satu paragraf utuh:
Tahun 1833 Bupati Sumedang Dalem Kusumayuda meninggal. Ia kemudian disebut Dalem Ageung, karena postur tubuhnya besar. Putranya 8 orang, 3 laki-laki (Raden Somanagara, Raden Perwirakusumah, dan Raden Mustopa) dan 5 perempuan (Raden Kusumahnagara, Raden Kusumahningrum, Raden Munigar, Raden Rajaningrum, dan Raden Yoga). Oleh karena semua putra Dalem Kusumahyuda masih kecil, kecuali Raden Somanagara sudah berusia 17 tahun, Bupati Garut merasa khawatir jabatan bupati Sumedang jatuh kepada keturunan lain. Ia mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal melalui residen Priangan. Pertama, ia mohon dipindahkan menjadi bupati Sumedang. Kedua, bila permohonan pertama diterima, menantunya, Raden Wiranagara, patih di Garut, mohon diangkat menjadi bupati Garut. Gubernur Jenderal menyetujui permohonan tersebut. Bupati Garut pindah ke Sumedang. Setelah menjadi bupati Sumedang, ia ganti nama menjadi Kusumadinata dengan pangkat adipati. Patih Garut Raden Wiranagara, putra bupati Cianjur, diangkat menjadi bupati Garut dan berganti nama menjadi Aria Wira Tanudatar.
Sampai di sini kami belum menemukan cerita tambahan lain yang dapat menambahkan informasi masa lalu ruas Jalan Siti Munigar. Lain waktu akan kami lanjutkan. Nuhunnn ***
Masjid Besar Cipaganti di tahun 1933-1934 (Locale Techniek)
Siapa sih Bandoenger yang tidak mengenal Jaarbeurs? Jaarbeurs alias Pameran Dagang Tahunan di Kota Bandung itu, pada tahun 1933, sudah menginjak edisi ke-14. Kegiatan pameran dagang ini sudah sangat kasohor sejak pertama diselenggarakan pada tahun 1920.
Sudah menjadi kebiasaan, panitia Jaarbeurs akan mengundang seluruh awak media untuk mengikuti sebuah tur sebagai bagian dari kegiatan ini. Tur ini dimaksudkan untuk melihat stan-stan yang dihadirkan di Jaarbeurs. Tur ini dipandu dengan cara menyenangkan oleh Bapak H. Ph. Chr. Hoetjer, Ketua Dewan Pengawas Jaarbeurs.
Tur dimulai dari gedung utama. Di sana terlihat pameran hadiah-hadiah yang ditujukan untuk para pemenang lotre Jaarbeurs, di antaranya ada dua buah mobil yang bagus, sepeda motor, dan beberapa kulkas.
Ruang-ruang di Jaarbeurs tahun ini diisi juga oleh stan Technical Handelmij. Sementara stan lainnya oleh De Rooy, lalu ada produsen produk-produk terbaru dalam bidang sanitasi, lampu, perlengkapan listrik, dan peralatan rumah tangga.
Sementara itu, ada sebuah stan dengan judul De Inheemsche Nijverheid atau Industri Pribumi. Stan ini mengambil tempat yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu memasuki stan ini di Gedung C, perhatian langsung tertuju pada fasad masjid baru di Cipaganti yang layak untuk diperhatikan secara mendetail.
Kesan umum para awak media setelah mengikuti tur mengatakan bahwa Dewan Direksi Jaarbeurs berhasil membuat area-area di Jaarbeurs terlihat lebih ceria dan menarik, meskipun dengan catatan masih banyaknya tempat yang kosong. Hiasan untuk berbagai fasilitas hiburan menawarkan aspek yang sangat istimewa, akan sangat berkontribusi pada jumlah kunjungan yang lebih sering dan menciptakan suasana yang intim.
Peresmian Masjid
Hari Sabtu, 27 Januari 1934 pada pukul 10 pagi, dilaksanakan peresmian masjid baru di Cipaganti. Peresmian ini dilakukan oleh Kepala Penghulu R. H. Abdul Kadir. Pembangunan masjid dimulai pada bulan November 1932 dan desainnya telah dipamerkan pada Pameran Tahunan Jaarbeurs tahun 1933. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid ini adalah sekitar 11 ribu gulden.
Di antara para tamu yang hadir, terlihat: Residen Bandoeng, Bapak M. F. Tydeman; Wali Kota Bandoeng, Ir. J. E. A. von Wolzogen Kühr; Asisten-residen Sonnevelt dan Velthuizen; Bapak E. Gobee, Penasehat Urusan Pribumi; Patih Bandoeng; Kepala Penyelidik Politik H. H. Albreghs; perancang masjid Prof. C. P. Wolff Schoemaker; para wali kota, Ir. H. Biezeveld, Tjen Djin Tjong, dan Ating Atma di Nata; Kolonel H. P. Chr. Hoetjer; Ir. Coumans; dan Bapak Anggabrata, sebagai pembangun Masjid.
Setelah semua hadirin duduk di pendopo yang disiapkan di sebelah Masjid, patih mengambil kesempatan untuk menyambut semua tamu. Kemudian diserahkan kepada Bapak Anggbarata, yang menjelaskan tentang pembangunan tempat ibadah ini, lalu menyerahkannya kepada Kepala Penghulu.
Dalam bagian “Pedagang Indonesia” pada daftar alamat di Bandung tahun 1941 tertera nama Anggabrata sebagai Bouw en Grondbejrif dengan alamat Gr. Lengkong 64 (Delpher)
Selanjutnya, Kepala Penghulu, R. H. Abdul Kadir, menyambut semua tamu. Beliau berbicara tentang pembangunan Masjid. Sejumlah orang Eropa dan berbagai perusahaan Eropa telah berkontribusi pada pembangunan tempat ibadah ini. Dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan bantuan untuk menyelesaikan rumah sakral yang berharga bagi umat Islam ini.
Kemudian Prof. Wolff Schoemaker, sebagai perancang masjid berbicara kepada para hadirin dalam bahasa Sunda dan memberikan penjelasan singkat tentang proses pembangunannya.
Setelah pidato-pidato ini selesai, dibuka kesempatan bagi para tamu untuk mengunjungi masjid, para tamu Eropa diminta oleh kepala penghulu untuk melepas sepatu mereka. Hampir semua tamu memanfaatkan kesempatan tersebut.
Masjid Cipaganti
Masjid Baru Cipaganti di Nijlandweg Bandung saat itu dipandang sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga cantik. Masjid ini didesain oleh seorang arsitek yang sudah sangat dikenal namanya, terutama di Kota Bandung, yaitu Prof. C. P. Kemal Wolff Schoemaker, dengan Anggabrata sebagai kontraktornya. Pendirian masjid dilakukan dengan keterbatasan dan persediaan biaya yang sangat sedikit. Dengan pertolongan Bupati Bandung saat itu, dipergunakanlah banyak hasil karya seni pribumi. Terlebih yang menarik perhatian adalah hiasan dari ubin berbahan tanah yang dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung. Selain itu ada juga hiasan berbahan besi, sementara semua bagian kayunya dibuat oleh murid-murid pribumi dari Gemeentelijke Ambachtsschool.
Kiri: Lampu utama masjid buatan Laboratorium Keramik di Bandung. Kanan: Mihrab menghadap kiblat, tempat Imam memimpin shalat.
Terlihat mihrab tempat Imam shalat (Locale Techniek)
Terlihat arah luar masjid dari gapura pintu masuk (Locale Techniek)
Jika kita masuk lebih dalam ke ruangan masjid, akan terlihat sebuah lampu berukuran besar. Lampu ini tergantung di bagian tengah masjid dengan rancangan Islam. Mangkuk di bagian bawah lampu mempunyai bagian yang tengah-tengahnya terbuat dari albash dengan hiasan berupa huruf-huruf kaligrafi Arab. Lampu ini juga memiliki 25 titik penerangan terhias dengan plat-plat berbahan kuningan, dengan tulisan beberapa lafal Al-Quran. Lampu ini dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung.
Dasar plengkung masjid berbentuk bangunan persegi dengan hiasan pita yang lurus. Semuanya ini mendapatkan lapisan dari ubin glasuur berwarna hijau, memberikan rupa yang cantik, terutama karena warna ubin glasuur hijau mendekati warna tembaga. Di pinggirannya tertulis lafal Al-Quran.
Sinar matahari dapat masuk dari arah selatan melalui rangkaian jendela yang memiliki kaca berwarna. Di kanan kiri masjid terdapat dua tempat untuk mengambil wudhu. Tempat wudhu ini berbentuk bangun pojok segi delapan dengan lapisan tegel glasuur.
Tujuh buah pancuran dipasang sekeliling tempat wudhu. Pancuran di sebelah barat sengaja tidak dipasang, hal ini bertujuan agar orang yang mengambil wudhu jangan sampai menyingkur arah kiblat.
Tempat berwudhu (Locale Techniek)
Tampak depan masjid (Locale Techniek)
Itulah gambaran singkat kondisi Masjid Cipaganti pada saat awal pembukaannya. Saat ini jika rekan-rekan berkunjung ke Masjid Cipaganti, masih dapat merasakan keaslian pada bagian utama masjid yang belum banyak berubah. Lampu utama masih seperti aslinya dan beberapa hiasan yang menempel juga rasanya masih sesuai aslinya buatan Laboratorium Keramik di Bandung.
Pada tahun 1932, Bataviaasch Nieuwsblaad mengeluarkan satu laporan penuh tentang aktivitas N.V. Faroka di Hindia Belanda. Dalam laporan itu diketahui pula bahwa Faroka memenangkan medali emas saat mengikuti acara tahunan di Bandung. Dan perlu diketahui bahwa penghargaan itu didapatkan Faroka hanya setahun setelah N.V. Faroka berdiri.
Tapi siapa sih N.V. Faroka?
Pabrik yang bernama lengkap Naamloose Vennotschap tot Exploitate van Ciggarettenfabrieken Faroka didirikan pada 13 Juni 1931 oleh perusahaan Belgia NV Tobacofina di Malang. Berdirinya pabrik Faroka adalah bentuk pengembangan jaringan internasional NV Tobacofina yang sudah mendirikan pabrik di Belanda, Zaire, dan Swiss.Continue reading
Repost
Para peminat sejarah kolonialisme di Hindia Belanda dan terutama Bandung, tentunya tak asing dengan nama Wolff Schoemaker. Beliau adalah arsitek yang banyak merancang gedung-gedung monumental di Bandung. Dapat disebutkan beberapa karyanya yang terkemuka seperti Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Peneropongan Bintang Bosscha, Bioskop Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, Mesjid Raya Cipaganti, dan banyak lagi yang lainnya. Demikian banyak karyanya diBandungsehingga seorang pakar arsitektur dari Belanda, H.P. Berlage, pernah mengatakan bahwa Bandung adalah “kotanya Schoemaker bersaudara”. Ya, Wolff Schoemaker memang memiliki seorang kakak yang juga terpandang dalam dunia arsitektur masa kolonial, yaitu Richard Schoemaker.